Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Novel p. buru dan resep masakan beb

Sastrawan berdarah belanda-indo, beb vuyk, 77, pernah tinggal di p. buru hingga pecah pd ii, menulis perjuangan-perjuangan bangsa indonesia. (tk)

27 Februari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMPUNG Namlea terdiri dari lima atau enam rumah dan jalanan memju ke kampung tersebut melintas rawa-rawa berbahaya karena penuh buaya. Tidak ada pasaryang tetap. Makanan sehari-hari yang paling biasa pun, seperti beras, pisang dan kelapa tidak dapat diperoleh secara teratur. Ikan harus dikail sendiri dan untuk mendapatkan daging, orang harus memburu rusa dan celeng di bukit-bukit yang panas. Reportase mengenai kampung yang kemudian menjadi kota kecil di Pulau Buru, Maluku, itu ditulis seorang wanita dengan dua anak lelaki yang masih kecil di sebuah pondok beratap rumbia di Desa Batuboi pada 1933. Ditulisselama tiga tahun di atas sebuah meja yang kasar, cerita mengenai kehidupan sepasang suami-istri di tempat terpencil tersebut kemudian terbit di Negeri Belanda dengan judul Het Laatste Huis van de Wereld, 1938. Penulisnya, Beb Vuyk alias Nyonya E. de Willigen-Vuyk, kini berusia 77 tahun, memang pernah menetap di Pulau Buru hingga pecah Perang Dunia II. Novel tersebut--yang sesungguhnya merupakan sebagian dari biografinya--kemudian terbit dalan- Bahasa Indonesia, 1975, diterjemahkan Gadis Rasjid, dengan judul Sebuah Rumah Nun Di Sana. Empat puluhan tahun kemudian sastrawan Indonesia yang berdarah campuran Belanda-Madura itu kembali ke Pulau Buru yang ketika itu sudah menjadi tempat rehabilitasi tahanan politik G30S/PKI golongan B. Di harian Indonesia Raya, 1971, Beb Vuyk menulis: Dataran Sanleko, yang pernab kami kenal sebagai rimba belantara dengan alang-alang setinggi manusia dan penub rawa di mana dahulu suami saya bersama-sama orang-orang Alfuru sering berburu rusa, babi hutan dan buaya, kini telah berubah menjadi sebidang pemandangan seperti d Pulau Jawa. Terdapat sawah-sawah dengan padiyang sudah siap untuk dipanen, kuning merunduk .... Banyak Kemajuan Akhir tahun lalu, November, sekali lagi Beb, yang selama ini menetap di Negeri Belanda, bersama suaminya ke Pulau Buru--bahkan sempat merayakan Hari Natal di Namlea."Saya sempat bertemu dengan beberapa bekas tapol. Wah, mereka sudah makmur," kata nenek tua itu dua pekan lalu di rumah kenalan lamanya di Bandung, tempat ia menginap. "Mereka punya tanaman cengkih dua hektar, sepeda motor dan radio. Malah saya dengar ada yang sering mengirim uang kepada keluarganya di Jawa," katanya lagi. Dibanding 10 tahun lalu ketika ia ke sana, "pulau itu sudah mengalami banyak kemajuan," kata Beb. "Di Namlea misalnya, rumah-rumah penduduk sudah pakai jendela kaca, ada perahu bermotor dan oplet. Dulu saya harus menempuh jalan lewat hutan dengan kuda atau jalan kaki selama berhari-hari. Sekarang dapat dicapai hanya beberapa jam dengan perahu motor atau mobil," tambahnya. Beb menulis pengamatannya itu di beberapa koran di Negeri Belanda antara lain de Volkskrant. "Sebelumnya di mata masyarakat Belanaa gambara tentang pulau itu salah: Pulau Buru gambarkan sebagai 'pulau setan'. Ta setelah saya menyaksikannya sendi kenyataannya jauh dari gambaran itu, katanya. Menurut dia, para tapol bisa berhubungan dengan sesatua rahanan sementara, perlakuan terhadap mereka "lebih baik dibanding pengalaman saya dalam tahanan kenpeitai Jelang selama tiga tahun." Sejak masih di sekolah menengah, di kota kelahirannya Rotterdam, Web sudah menulis cerita anak-anak di sebuah: majalah keluarga. Karena karangan itu Beb jadi terkenal di sekolahnya. Ia iuga waktu itu, sangat gembira menerima imbalan 25 gulden. "Jumlah ir culiup besar, sebab ketika itu setiap minggu saya hanya menerima uang jajan satu ulden," katanya. Tapi ia tak melanjutkan kebolehannya itu, gara-gara dikritik gurunya. Beb kemudian mengikuti kulslls nasak-memasak di Haarlem, sebuah kota kecil di sebelah barat Amsterdam. Anehnya, sejak itu ia malah jadi reproaktif menulis cerita pendek di majalah sastra de Vrij Bladen, tempat berkumpulnya para penulis Belanda Angkatan '20. Ia jadi cepat terkenal karena menulis prosa sementara sastrawan lainnya lebih suka menulis puisi. Apalagi ia satu-satunya wanita ketika itu. Tulisan-tulisan Beb -- laporan perjalanan jurnalistik, cerita pendek dan novel --banyak bercerita mengenai kehidupan di Indonesia. Di zaman Hindia-Belanda ia mengritik kekuasaan penjajah. Dan di zaman republik ia selalu membela perjuangan bangsa Indonesia. Sebagai sastrawan ia sangat terkemuka, terpandang dan berkepribadian, di samping sastrawan Belanda-lndo lainnya seperti Multatuli, Du Perron, Rob Nieuwenhuvs, Courperous,. Walraven auu Maria Dermout. Nyai Kinah Novelnya yang berjudul Het Hout van Bara (Kayu dari Bara) dikerjakannya selama 10 tahun sejak masih di Namlea, 1939, dan selama dalam tahanan Jepang di Bandung, 1942-1945. Bara adalah sebuah pelabuhan kecil dekat Namlea. Diterbitkan 1948, inti ceritanya mengandung kritik tajam terhadap kesewenang-wenangan penguasa Belanda (dalam buku itu diwakili oleh 'ruan Routs, seorang kontrolir perkebunan di Namlea), sehingga penerbit buk itu mendapat peringatan keras dari Pemerintah Kerajaan Belanda. Beb memang nakal. Iengan tubuh rapuh seperti sekarang misalnya, ia masih nekat menghabiskan 40 batang rokok Dunhill sehari. Malah kadang-kadang juga menghirup minuman keras. "Saya tahu maut sudah dekat. Karena itu saya perbuat apa saja yang saya inginkan, walaupun dokter melarangnya," katanya dengan tawa berderai. Dengan leher dililit kerah kaku (guna membantu kepalanya tegak sempurna) dan hidup di atas kursi roda, semangat nenek tua ini masih menyala-nyala. Ia masih terus menulis untuk beberapa koran Belanda. Hampir tiga perempat abad Beb menjalani hidupnya yang penuh semangat pemberontakan. Sebagai gadis belasan tahun, ia dikenal para gurunya sebagai murid yang suka melawan. Kelakuanya yang tidak tertib kerap memancing kemarahan gurunya. Ia juga suka mendebat. "Lebih-lebih, saya suka membolos, jalan-jalan melihat kapal pelabuhan," tuturnya mengenang. Tapi ia selalu jadi juara dalam mata pelajaran bahasa dan mengarang. Bakat ini kemudian mewarnai hidupnya. Padahal di darah kepengarangan sama sekali tak mengalir dalam tubuh kedua orangtuanya. Vuyk, ayahnya, seorang insinyur perkapalan kelahiran Indonesia. Sementara ibunya, Nyonya Rotsheid, wanita Belanda keturunan Hugenot kelahiran Prancis yang menurut Beb sendiri "puritan". Di sekolah, Beb sering diejek sebagai "negro", hanya lantaran kulitnya yang "sedikit hangus" -- tidak seputih teman-temannya. Tapi ia tidak tinggal diam. Ejekan itu selalu dilawannya dengan pukulan-pukulan mistar. Di rumah, gadis yang lebih dekat dengan ayahnya itu ternyata juga tidak cocok dengan ibunya, yang sering mengejek anaknya dengan menyebut-nyebut asal keturunan suaminya sendiri. Vuyk memang bukan Belanda asli. Ia keturunan seorang nyai alias selir pribumi. Klassvuyk, pemilik perkebunan kopi di kawasan Bondowoso, Jawa Timur, nupanya memelihara seorang nyai asal Madura bernama Kinah. Dari perempuan ini lahir tiga anak, (yang semuanya kemudian dikirim ke negeri Belanda) salah seorang di antaranya Vuyk, ayah si Beb. Ejekan-ejekan yang menyakitkan itu justru menggelitik keinginan Beb untuk. melihat tanah leluhurnya. Maka pada i929 gadis berusia 25 tahun itu berlayar dengan kapal Jan Pieterszoon Coen ke Indonesia, yang ketika itu tentu masih disebut Hindia Bdanda. Di Sukabumi, Beb bekerja di sebuah panti asuhan yatim piatu, sebelum dga tahun kemudian ia menikah dengan Fernand de Willigen yang dikenalnya di kapal. Pemuda berdarah Belanda-Ambon itu lahir di Indonesia, pegawai perkebunan di Pagilaran, sebelah selatan Pekalongan, Jawa Tengah. Hindia Bdanda yang dilihatnya ternyata jauh berbeda dari yang dikenalnya lewat pelajaran di sekolah. Sebelumnya ia sering mendengar bahwa penduduk negeri jajahan itu makmur. Tapi Beb menyaksikan bumh-buruh. perkebunan yang miskin. Ibu-ibu menggendong anaknya berjalan berkilo-kilo meter, ditimpa terik matahari atau diguyur hujan lebat, hanya untuk mengambil upah yang tak seberapa di kantor perkebunan teh. Beb mengungkapkan kemiskinan ini -- sebagai kritik terhadap penguasa Belanda--dalam novelnya yang pertama, di majalah de Vrti Bladen, 1930berjudul Duizend Einland en (Ribuan Pulau). Tapi krisis ekonomi dunia, yang ketika itu disebut malaise, mendorong perusahaan perkebunan mengurangi pegawainya. Fernand termasuk yang mendapat pesangon dan dua tiket untuk kemhali ke Nederland. Tapi suami-istri itu memutar haluan: berlayar menuju Pulau Buru Di sana Fernand mewarisi konsesi penebargan kayu dan 90 hektar tanah yang kemudian ditanami padi, sayuran, buah-buahan, kopi, cengkih, kapuk, kelapa dan, terutama kayu putih, berikut instalasi penyulingannya yang sudah lama terlantar. Itu semua warisan mendiang ibu Femand. Mengelap Bung Karno Karya sastra Beb Vuyk cukup banyak. Jumlah artikel yang ditulisnya pun tak diingatnya lagi Karya sastra yang merekam kehidupan di Indonesia berupa tiga novel dan 15 cerpen diterbitkan sebagai kumplan karangan dalam Verzameld Werk (1972). Selama perang kemerdekaan ia masih tinggal di Indonesia, antara lain sebagai wartawan Inzcht, majalah berbahasa Belanda yang pro-RI untuk mengimbangi majalah Uitcht, terompet kolonial. Ia kemudian juga bekerja di majalah sastra Ortentatt'e. Di sinilah pula antara lain dimuat karya sastra Chalril Anwar, Achdiat K. Mihardja, Rivai Apin, Sanusi Pane--tentu setelah diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda Dalam periode ini ia juga mengenal Sutan Sjahrir dan Soedjattnoko. Belakangan Beb juga menjadi redaksi majalah kebudayaan berbahasa Indonesia Konfrontat, yang dipimpin Sutan Takdir Alisjahbana. Beb ternyata juga mengena| Bung Karno. Bersama Heraw (ketika itu wartawati dan kini pengusaha hotel), Beb dan 20 wartawannya diajak Bung Karno ke Maluku yang dari sana, hanya Hera dan Beb diajak berlibur ke Bali. 'Kalau BU Karno berkeringat kami yang mengelap. Zus Hera memegang minyak wangi saya memegang saputangan." kenan Beb sambil tertawa berderai.' Beb, yang berada di Indonesia sampai Maret nanti, sudah banyak bertemu dengan teman-teman lamanya--antar lain H.B. Jassin dan Mochtar Lybis. Du juga menyempatkan menikmati soto Madura, sate usus sapi serta gulai linhasa dengan sedikit cabai dan cengkih. Tak semua masakan itu bisa diperolehnya di Amsterdam. "Di sana usus sapi kan untuk makanan anjing dan kucing," katanya tertawa lagi. Diploma Memasak Tentang masakan Indonesia ada cerita tersendiri. Pulang dan Pulau Buru yang kedua kalinya, 1971, Beb dirawat, Mata dan punggungnya sakit, hingga hampir selama lima tahun ia tidak menulis karangan-karangan kreatif. Tapi dari tempat tidurnya ia mendiktekan seluk-beluk berbagai resep masakan Indonesia. Fernand, suaminya yang kini 82 tahun tapi masih bertubuh kokoh itu, menjadi juru tulisnya. "Jangan lupa, saya punya diploma memasak," katanya. Tulisan itu dimuat di berbagai penerbitan di Nederland. Rcaksi pembaca tak terduga: banyak yang memuat tulisan mengenai masakan khas Indonesia. Kumpulan karangan yang mungkin dianggap tak berarti itu kini sudah terbit pula sebagai buku. "Dan honorariumnya cukup buat membiayai masa pensiun kami berdua," kata Beb. Rupanya buku-itu laku keras. Beb yang memilih kewarga-negaraan RI itu sudah punya empat orang cucu dari seorang anak lelakinya (anak lelaki yang lain meninggal). Ia tinggal di sebuah rumah mungil di tepi Sungai Vecht, di Loenen, sebuah desa 17 km dari Amsterdam. Rumah yang indah itu sudah berumur 200 tahun dan selalu ramai dikunjungi orang Indonesia yang berada di Nederland. "Kalau kebetulan ke Amsterdam, teman-teman biasanya singgah ke rumah," ujar Fernand. Sesungguhnya cukup kuat keinginan Beb menghabiskan sisa hari tua di tanah airnya. "Saya tak bisa melupakan teriknya matahari Indonesia," katanya. Tapi kalau tinggal di sini, ia khawatir tidak bisa menulis sebebas-bebasnya. Karena itu ia terpaksa pulang ke "negeri orang." Katanya: "Pulang ke Amsterdam nanti saja akan tetap menulis. Menulis adalah hidup saya, sampai kapan saja."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus