KAMPUNG Namlea terdiri dari lima atau enam rumah dan jalanan
memju ke kampung tersebut melintas rawa-rawa berbahaya karena
penuh buaya. Tidak ada pasaryang tetap. Makanan sehari-hari yang
paling biasa pun, seperti beras, pisang dan kelapa tidak dapat
diperoleh secara teratur. Ikan harus dikail sendiri dan untuk
mendapatkan daging, orang harus memburu rusa dan celeng di
bukit-bukit yang panas.
Reportase mengenai kampung yang kemudian menjadi kota kecil di
Pulau Buru, Maluku, itu ditulis seorang wanita dengan dua anak
lelaki yang masih kecil di sebuah pondok beratap rumbia di Desa
Batuboi pada 1933. Ditulisselama tiga tahun di atas sebuah meja
yang kasar, cerita mengenai kehidupan sepasang suami-istri di
tempat terpencil tersebut kemudian terbit di Negeri Belanda
dengan judul Het Laatste Huis van de Wereld, 1938.
Penulisnya, Beb Vuyk alias Nyonya E. de Willigen-Vuyk, kini
berusia 77 tahun, memang pernah menetap di Pulau Buru hingga
pecah Perang Dunia II. Novel tersebut--yang sesungguhnya
merupakan sebagian dari biografinya--kemudian terbit dalan-
Bahasa Indonesia, 1975, diterjemahkan Gadis Rasjid, dengan judul
Sebuah Rumah Nun Di Sana. Empat puluhan tahun kemudian sastrawan
Indonesia yang berdarah campuran Belanda-Madura itu kembali ke
Pulau Buru yang ketika itu sudah menjadi tempat rehabilitasi
tahanan politik G30S/PKI golongan B.
Di harian Indonesia Raya, 1971, Beb Vuyk menulis: Dataran
Sanleko, yang pernab kami kenal sebagai rimba belantara dengan
alang-alang setinggi manusia dan penub rawa di mana dahulu suami
saya bersama-sama orang-orang Alfuru sering berburu rusa, babi
hutan dan buaya, kini telah berubah menjadi sebidang pemandangan
seperti d Pulau Jawa. Terdapat sawah-sawah dengan padiyang
sudah siap untuk dipanen, kuning merunduk ....
Banyak Kemajuan
Akhir tahun lalu, November, sekali lagi Beb, yang selama ini
menetap di Negeri Belanda, bersama suaminya ke Pulau
Buru--bahkan sempat merayakan Hari Natal di Namlea."Saya sempat
bertemu dengan beberapa bekas tapol. Wah, mereka sudah makmur,"
kata nenek tua itu dua pekan lalu di rumah kenalan lamanya di
Bandung, tempat ia menginap. "Mereka punya tanaman cengkih dua
hektar, sepeda motor dan radio. Malah saya dengar ada yang
sering mengirim uang kepada keluarganya di Jawa," katanya lagi.
Dibanding 10 tahun lalu ketika ia ke sana, "pulau itu sudah
mengalami banyak kemajuan," kata Beb. "Di Namlea misalnya,
rumah-rumah penduduk sudah pakai jendela kaca, ada perahu
bermotor dan oplet. Dulu saya harus menempuh jalan lewat hutan
dengan kuda atau jalan kaki selama berhari-hari. Sekarang dapat
dicapai hanya beberapa jam dengan perahu motor atau mobil,"
tambahnya.
Beb menulis pengamatannya itu di beberapa koran di Negeri
Belanda antara lain de Volkskrant. "Sebelumnya di mata
masyarakat Belanaa gambara tentang pulau itu salah: Pulau Buru
gambarkan sebagai 'pulau setan'. Ta setelah saya menyaksikannya
sendi kenyataannya jauh dari gambaran itu, katanya. Menurut
dia, para tapol bisa berhubungan dengan sesatua rahanan
sementara, perlakuan terhadap mereka "lebih baik dibanding
pengalaman saya dalam tahanan kenpeitai Jelang selama tiga
tahun."
Sejak masih di sekolah menengah, di kota kelahirannya Rotterdam,
Web sudah menulis cerita anak-anak di sebuah: majalah keluarga.
Karena karangan itu Beb jadi terkenal di sekolahnya. Ia iuga
waktu itu, sangat gembira menerima imbalan 25 gulden. "Jumlah ir
culiup besar, sebab ketika itu setiap minggu saya hanya
menerima uang jajan satu ulden," katanya. Tapi ia tak
melanjutkan kebolehannya itu, gara-gara dikritik gurunya.
Beb kemudian mengikuti kulslls nasak-memasak di Haarlem, sebuah
kota kecil di sebelah barat Amsterdam. Anehnya, sejak itu ia
malah jadi reproaktif menulis cerita pendek di majalah sastra
de Vrij Bladen, tempat berkumpulnya para penulis Belanda
Angkatan '20. Ia jadi cepat terkenal karena menulis prosa
sementara sastrawan lainnya lebih suka menulis puisi. Apalagi ia
satu-satunya wanita ketika itu.
Tulisan-tulisan Beb -- laporan perjalanan jurnalistik, cerita
pendek dan novel --banyak bercerita mengenai kehidupan di
Indonesia. Di zaman Hindia-Belanda ia mengritik kekuasaan
penjajah. Dan di zaman republik ia selalu membela perjuangan
bangsa Indonesia. Sebagai sastrawan ia sangat terkemuka,
terpandang dan berkepribadian, di samping sastrawan Belanda-lndo
lainnya seperti Multatuli, Du Perron, Rob Nieuwenhuvs,
Courperous,. Walraven auu Maria Dermout.
Nyai Kinah
Novelnya yang berjudul Het Hout van Bara (Kayu dari Bara)
dikerjakannya selama 10 tahun sejak masih di Namlea, 1939, dan
selama dalam tahanan Jepang di Bandung, 1942-1945. Bara adalah
sebuah pelabuhan kecil dekat Namlea. Diterbitkan 1948, inti
ceritanya mengandung kritik tajam terhadap kesewenang-wenangan
penguasa Belanda (dalam buku itu diwakili oleh 'ruan Routs,
seorang kontrolir perkebunan di Namlea), sehingga penerbit buk
itu mendapat peringatan keras dari Pemerintah Kerajaan Belanda.
Beb memang nakal. Iengan tubuh rapuh seperti sekarang misalnya,
ia masih nekat menghabiskan 40 batang rokok Dunhill sehari.
Malah kadang-kadang juga menghirup minuman keras. "Saya tahu
maut sudah dekat. Karena itu saya perbuat apa saja yang saya
inginkan, walaupun dokter melarangnya," katanya dengan tawa
berderai. Dengan leher dililit kerah kaku (guna membantu
kepalanya tegak sempurna) dan hidup di atas kursi roda, semangat
nenek tua ini masih menyala-nyala. Ia masih terus menulis untuk
beberapa koran Belanda.
Hampir tiga perempat abad Beb menjalani hidupnya yang penuh
semangat pemberontakan. Sebagai gadis belasan tahun, ia dikenal
para gurunya sebagai murid yang suka melawan. Kelakuanya yang
tidak tertib kerap memancing kemarahan gurunya. Ia juga suka
mendebat. "Lebih-lebih, saya suka membolos, jalan-jalan
melihat kapal pelabuhan," tuturnya mengenang.
Tapi ia selalu jadi juara dalam mata pelajaran bahasa dan
mengarang. Bakat ini kemudian mewarnai hidupnya. Padahal di
darah kepengarangan sama sekali tak mengalir dalam tubuh kedua
orangtuanya. Vuyk, ayahnya, seorang insinyur perkapalan
kelahiran Indonesia. Sementara ibunya, Nyonya Rotsheid, wanita
Belanda keturunan Hugenot kelahiran Prancis yang menurut Beb
sendiri "puritan".
Di sekolah, Beb sering diejek sebagai "negro", hanya lantaran
kulitnya yang "sedikit hangus" -- tidak seputih teman-temannya.
Tapi ia tidak tinggal diam. Ejekan itu selalu dilawannya dengan
pukulan-pukulan mistar. Di rumah, gadis yang lebih dekat dengan
ayahnya itu ternyata juga tidak cocok dengan ibunya, yang sering
mengejek anaknya dengan menyebut-nyebut asal keturunan suaminya
sendiri. Vuyk memang bukan Belanda asli. Ia keturunan seorang
nyai alias selir pribumi.
Klassvuyk, pemilik perkebunan kopi di kawasan Bondowoso, Jawa
Timur, nupanya memelihara seorang nyai asal Madura bernama
Kinah. Dari perempuan ini lahir tiga anak, (yang semuanya
kemudian dikirim ke negeri Belanda) salah seorang di antaranya
Vuyk, ayah si Beb. Ejekan-ejekan yang menyakitkan itu justru
menggelitik keinginan Beb untuk. melihat tanah leluhurnya. Maka
pada i929 gadis berusia 25 tahun itu berlayar dengan kapal Jan
Pieterszoon Coen ke Indonesia, yang ketika itu tentu masih
disebut Hindia Bdanda.
Di Sukabumi, Beb bekerja di sebuah panti asuhan yatim piatu,
sebelum dga tahun kemudian ia menikah dengan Fernand de Willigen
yang dikenalnya di kapal. Pemuda berdarah Belanda-Ambon itu
lahir di Indonesia, pegawai perkebunan di Pagilaran, sebelah
selatan Pekalongan, Jawa Tengah.
Hindia Bdanda yang dilihatnya ternyata jauh berbeda dari yang
dikenalnya lewat pelajaran di sekolah. Sebelumnya ia sering
mendengar bahwa penduduk negeri jajahan itu makmur. Tapi Beb
menyaksikan bumh-buruh. perkebunan yang miskin. Ibu-ibu
menggendong anaknya berjalan berkilo-kilo meter, ditimpa terik
matahari atau diguyur hujan lebat, hanya untuk mengambil upah
yang tak seberapa di kantor perkebunan teh. Beb mengungkapkan
kemiskinan ini -- sebagai kritik terhadap penguasa
Belanda--dalam novelnya yang pertama, di majalah de Vrti Bladen,
1930berjudul Duizend Einland en (Ribuan Pulau).
Tapi krisis ekonomi dunia, yang ketika itu disebut malaise,
mendorong perusahaan perkebunan mengurangi pegawainya. Fernand
termasuk yang mendapat pesangon dan dua tiket untuk kemhali ke
Nederland. Tapi suami-istri itu memutar haluan: berlayar menuju
Pulau Buru Di sana Fernand mewarisi konsesi penebargan kayu
dan 90 hektar tanah yang kemudian ditanami padi, sayuran,
buah-buahan, kopi, cengkih, kapuk, kelapa dan, terutama kayu
putih, berikut instalasi penyulingannya yang sudah lama
terlantar. Itu semua warisan mendiang ibu Femand.
Mengelap Bung Karno
Karya sastra Beb Vuyk cukup banyak. Jumlah artikel yang
ditulisnya pun tak diingatnya lagi Karya sastra yang merekam
kehidupan di Indonesia berupa tiga novel dan 15 cerpen
diterbitkan sebagai kumplan karangan dalam Verzameld Werk
(1972). Selama perang kemerdekaan ia masih tinggal di Indonesia,
antara lain sebagai wartawan Inzcht, majalah berbahasa Belanda
yang pro-RI untuk mengimbangi majalah Uitcht, terompet
kolonial.
Ia kemudian juga bekerja di majalah sastra Ortentatt'e. Di
sinilah pula antara lain dimuat karya sastra Chalril Anwar,
Achdiat K. Mihardja, Rivai Apin, Sanusi Pane--tentu setelah
diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda Dalam periode ini ia juga
mengenal Sutan Sjahrir dan Soedjattnoko. Belakangan Beb juga
menjadi redaksi majalah kebudayaan berbahasa Indonesia
Konfrontat, yang dipimpin Sutan Takdir Alisjahbana.
Beb ternyata juga mengena| Bung Karno. Bersama Heraw (ketika
itu wartawati dan kini pengusaha hotel), Beb dan 20
wartawannya diajak Bung Karno ke Maluku yang dari sana, hanya
Hera dan Beb diajak berlibur ke Bali. 'Kalau BU Karno
berkeringat kami yang mengelap. Zus Hera memegang minyak wangi
saya memegang saputangan." kenan Beb sambil tertawa berderai.'
Beb, yang berada di Indonesia sampai Maret nanti, sudah banyak
bertemu dengan teman-teman lamanya--antar lain H.B. Jassin
dan Mochtar Lybis. Du juga menyempatkan menikmati soto Madura,
sate usus sapi serta gulai linhasa dengan sedikit cabai dan
cengkih. Tak semua masakan itu bisa diperolehnya di Amsterdam.
"Di sana usus sapi kan untuk makanan anjing dan kucing," katanya
tertawa lagi.
Diploma Memasak
Tentang masakan Indonesia ada cerita tersendiri. Pulang dan
Pulau Buru yang kedua kalinya, 1971, Beb dirawat, Mata dan
punggungnya sakit, hingga hampir selama lima tahun ia tidak
menulis karangan-karangan kreatif. Tapi dari tempat tidurnya ia
mendiktekan seluk-beluk berbagai resep masakan Indonesia.
Fernand, suaminya yang kini 82 tahun tapi masih bertubuh kokoh
itu, menjadi juru tulisnya.
"Jangan lupa, saya punya diploma memasak," katanya. Tulisan itu
dimuat di berbagai penerbitan di Nederland. Rcaksi pembaca tak
terduga: banyak yang memuat tulisan mengenai masakan khas
Indonesia. Kumpulan karangan yang mungkin dianggap tak berarti
itu kini sudah terbit pula sebagai buku. "Dan honorariumnya
cukup buat membiayai masa pensiun kami berdua," kata Beb.
Rupanya buku-itu laku keras.
Beb yang memilih kewarga-negaraan RI itu sudah punya empat
orang cucu dari seorang anak lelakinya (anak lelaki yang lain
meninggal). Ia tinggal di sebuah rumah mungil di tepi Sungai
Vecht, di Loenen, sebuah desa 17 km dari Amsterdam. Rumah yang
indah itu sudah berumur 200 tahun dan selalu ramai dikunjungi
orang Indonesia yang berada di Nederland. "Kalau kebetulan ke
Amsterdam, teman-teman biasanya singgah ke rumah," ujar Fernand.
Sesungguhnya cukup kuat keinginan Beb menghabiskan sisa hari tua
di tanah airnya. "Saya tak bisa melupakan teriknya matahari
Indonesia," katanya. Tapi kalau tinggal di sini, ia khawatir
tidak bisa menulis sebebas-bebasnya. Karena itu ia terpaksa
pulang ke "negeri orang." Katanya: "Pulang ke Amsterdam nanti
saja akan tetap menulis. Menulis adalah hidup saya, sampai
kapan saja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini