SEBUAH kota heboh. Tiga makhluk aneh, menakutkan, muncul dari
tumpukan sampah--dan pesiar ke dalam kota.
Maka Teater Tertutup Taman Ismail Marzuki, Selasa malam pekan
lalu, menjadi kota itu. Hiruk-pikuk penduduk kota yang
ketakutan, kesibukan polisi mengejar tiga makhluk itu
tersuguhkan di panggung hanya oleh tiga orang Inggris yang
tergabung dalam Moving Picture Mime Slow (MPMS).
Bagaimana bisa, tiga orang memerankan kesibukan di sebuah kota
besar? Itulah, mungkin, yang disebut keajaiban imajinasi .
Suatu kali tiga makhluk itu masuk sebuah rumah. Sementara
pemilik rumah sedang asyik nonton tv, makhluk itu
memporak-porandakan dapur, dan memakan segala yang menarik untuk
dimakan. (Dalam adegan ini, tentu saja, yang digambarkan hanya
satu makhluk, kemudian seorang anggota MPMS yang lain memerankan
pemilik rumah. Yang satu lagi masuk ke belakang panggung, entah
menyiapkan apa).
Dan makhluk itu pun kemudia tertarik pada suara-suara siaran
tv, lalu ia mencari di mana tempatnya. Ketemu. Maka ia pun ikut
nonton tv. Sejenak kemudian barulah pemilik rumah menyadari
kehadiran tamu yang tak diundang itu. Lha, ia pun terloncat dari
kursi, lintang-pukang.
Teror pun berlanjut. Tapi sejauh ini makhluk aneh menakutkan itu
sebenarnya tak melakukan kejahatan berlebihan. Artinya, mereka
tak membunuh orang.
Hampir semua kegiatan yang mungkin terjadi dalam sebuah kota
dilukiskan MPMS. Dari orang mengail, suasana sebuah pembangunan
gedung sarmpai sebuah pesta. Begitu pula reaksi penduduk kota
ketika suatu saat mereka harus bertatap muka dengan makhluk itu.
Tapi yang menarik adalah bagaimana reaksi polisi. Suatu saat
seorang di dalam mobil ketakutan melihat makhluk itu. Mobil
macet tak bisa distater, karena begitu gugupnya orang itu. Ia
pun lantas membuka pintu, meloncat keluar dan kabur.
Ganti tiga makhluk masuk mobil, utak-atik, dan reeng, mobil pun
melaju. Yang duduk di belakang stir, memutar kemudi habis ke
kiri. Maka ketiga anggota MPMS itu berputar-putar dalam radius
pendek. Itulah mobil yang berputar-putar.
Yang seru, setelah kemudi diluruskan, mobil melaju ke depan dan
berlari bagaikan angin. Seorang polisi yang berjaga di pinggir
jalan, terkesima. Lantas ia pun meloncat ke sepeda motornya,
pasang kacamata, dan wuuung, mengejar.
Naik Ke Langit
Polisi itu berhasil menyalib mobil dan memberi isyarat kepada
mobil untuk berhenti menepi. Tapi, yah, sejak kapan makhluk aneh
itu belajar peraturan lalu-lintas? Maka terus saja mobil itu
berlari, dan terus saja bung polisi berusaha menghentikannya. Ia
pun mendekati jendela pengemudi, dan mengetuk kaca. Kaca lantas
dibukakan. Dan bertatap-mukalah mereka. Woo, polisi terkejut
bukan main menyaksikan siapa pengemudi itu. Ia pun terjungkal
dari motornya. Dan, tentu saja,penonton yang penuh di Teater
Tertutup tak bisa menahan tawa.
Akhirnya makhluk itu memang dibantai. Dengan sepasukan penembak
tepat. Hiruk-pikuk pun usai. Dan tiga orang MPMS itu berjajar,
menggapai-gapai udara. Arwah tiga makhluk itu naik ke langit.
Lampu mati. Tepuk tangan pun berderai.
Di panggung itu sendiri sebetulnya hanya ada tiga orang Inggris
itu. Tanpa properti sama sekali. Pun kostum, hanya kaus untuk
pemain pantomim biasa. Juga mereka tanpa rias--tak seperti
lazimnya pantomim tradisional, yang merias wajahnya dengan bedak
putih. Hanya sewaktu adegan orang asyik nonton tv, diperlukan
sebuah kursi.
Bagaimana bisa mereka memerankan makhluk aneh, penduduk kota dan
polisi? Dengan cara berganti-ganti tentu saja. Dan pergantian
itu tak usah repot-repot. Misalnya, ketika kejar mengejar
makhluk aneh dengan polisi, cukup si pemain menunjuk ke
belakang, kemudian ia beralih tempat, lantas dari polisi jadilah
ia makhluk aneh. Dan tak usah cari akal yang aneh-aneh, bila
harus ditampilkan makhluk aneh dan polisi sekaligus: satu
makhluk aneh akan keluar dari kelompok, lantas menjadi polisi.
Gambar Porno
Memang, tak seperti pantomim tradisional, MPMS memerlukan pula
bantuan ilustrasi musik dan efek suara. Adapun cara mereka
melukiskan ketika sedang berperan sebagai polisi misalnya,
adalah dengan gambaran ada pistol di pinggang, topi di kepala
dan ada bintang di dada. Semua dengan mudah dapat ditangkap.
Toby Sedwick, Paul Pioipiak dan David Gannes, membentuk MPMS
1977. Mereka bertemu di sebuah sekolah pantomim di Paris. Tiga
tahun lalu kelompok ini juga pernah main di Jakarta. Dan katanya
waktu itu: "Kami selalu mengamati situasi atau kejadian dan
mengambil unsurnya yang lucu dan sederhana."
Malam itu mereka hanya menampilkan dua nomor. Nomor kedua,
melukiskan dua orang tua yang telah pikun, diasuh seorang
perawat. Ada adegan mereka bermain kartu, berebut kursi dan
salah satu orang tua itu menunjukkan gambar-gambar, yang mungkin
gambar porno.
Nomor ini berakhir dengan kematian salah satu orang tua itu.
Kematian yang penuh kemenangan, karena berdua mereka berhasil
menegakkan rumah-rumahan dari kartun, sementara jururawat
mencari-cari kartun catatannya. Caranya? Yang satu memasang
kartun-kartun itu, yang satu mencoba berulah mengalihkan
perhatian si jururawat.
Tapi apakah pantomim itu? MPMS memang khas. Mereka tak hanya
menyuguhkan sebuah suasana atau adegan. Mereka bertiga
menyuguhkan cerita lengkap, penuh kelucuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini