Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Nyai ontosoroh, tanpa humor

Karya: pramoedya ananta toer jakarta: hasta mitra, 1980. (bk)

30 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UMI MANUSIA Karya: Pramoedya Ananta Toer Penerbit: Hasta Mitra, Jakarta-Amsterdam, 1980. NYAI Ontosoroh yang keras dan tabah itu. dibentuk oleh jalan hidupnya yang pahit. Pada umur ke-14 ia dijual ayahnya kepada Tuan Besar Kuasa Pabrik Gula Tulangan, Sidoarjo --dengan harga sejumlah gulden dan harapan naik pangkat. Patah arang dengan orang tuanya, ia memutuskan mengeduk segala ilmu dan ketrampilan dari Tuan Mellema, si Tuan Besar Kuasa, "suaminya". Dan Pramoedya Ananta Toer, 55 tahun kini, dalam novelnya yang ditulis sewaktu ditahan di Pulau Buru menghadirkan tokoh Nyai itu dalam badainya kehidupan di Hindia-Belanda akhir abad ke-19. Bagaimana ia akhirnya menjadi kepala rumah tangga yang menguasai segala-galanya -- setelah Tuan Mellema mengalami keguncangan jiwa akibat kunjungan anaknya dari istrinya di Belanda yang ternyata belum dicerainya. Dan pada gilirannya, Mellema yang telah memberinya segalanya itu memberinya pula bencana. Mellema kedapatan mati di rumah pelacuran. Kemudian, hal yang sudah dikhawatirkan Nyai Ontosoroh sejak ia tahu Mellema belum menceraikan istri Belandanya, pun terjadi. Datang surat tuntutan perkara hak waris. Tentu saja Nyai Ontosoroh tak terhitung dalam pembagian warisan menurut hukum Belanda: ia tak dikawin. Meski kedua anaknya dari Mellema dapat. Dan dalam surat tuntutan itu, yang paling menyakitkan hati Nyai antosoroh, Annelies (putrinya yang sudah menikah dengan pribumi dengan hukum Islam) tetap dianggap gadis. Pram bercerita lewat 'aku'. Aku ini bernama Minke--bukan nama sebenarnya Dan tokoh Minke ini, agaknya dalam buku --buku selanjutnya (direncanakan akan ada 4 buku: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) akan menjadi tokoh utama. Novel berlatar belakang sejarah periode kebangkitan nasional ini ditulis Pram dengan gaya ringan--tak begitu menggertak seperti novel-novelnya yang lalu. Bahkan secara keseluruhan lebih dekat dengan novel pop masa kini. Bayangkan saja tokoh lelaki yang super--murid HBS Surabaya, satu-satunya pribumi di sekolah itu dan lulus nomor dua untuk HBS seluruh Hindia-Belanda. Tokoh wanita yang cantik, juga super (Nyai Ontosoroh), dan anaknya, Annelies yang juga cantik tapi rapuh mentalnya. Dipertemukan dalam satu kisah cinta yang Fantastis. Hanya saja, yang pop itu hanya plot dan penceritaannya yang ringan Perbedaan pokok dengan novel pop masa kini ia sama sekali tiddak kocak. Semua itu ada sebabnya. Di rumahnya, wartawan TEMPO Bachrun Suwatdi mewawancarai Pram tentang buku pertamanya ini. Dalam akhir Bumi Manusia tertulis Lisan, 1973, Tulisan, 1975 Apa maksudnya? Yah, dulu diceritakan secara lisan. Waktu itu kan tidak boleh nulis. Waktu itu saya dan sekitar 18 orang teman dikucilkan. Kalau malam saya cerita. Dari kelompok kecil itu cerita tersebar ke luar sampai ke seluruh unit-unit di Inrehab Buru. (Dua tahun kemudian baru dituliskan red). Seberapa jauh revisi buku .ini dari naskah pertama yang anda tulis di Pulau Buru? Cerita ini sebelum saya masuk ke Buru telah mau saya tulis. Yaitu di tahun 1961 saya telah mempersiapkan cerita ini. Pada waktu itu saya baca referensi. dan pada waktu menulis tidak ada regerensi. Tidak banyak yang mengalami perbaikan setelah saya keluar. Tapi jangan lupa saya bukan bikin buku sejarah. Saya bikin roman. Artinya menuliskan apa yang ada dalam kepala saya. Lalu mengapa anda mengambil tempat kejadian Surabaya dan Wonokromo? Ya, memang ceritanya sekitar sana. Dan juga Surabaya ketika itu adalah kota dagang terbesar, yang melahirkan ide-ide baru dari seluruh dunia. Cerita ini garis besarnya menceritakan peralihan antara pemikiran tradisional yang tidak rasional ke arah pemikiran rasional. Maka paling tepat yang saya ambil sekitar Surabaya. Kalau Betawi, ketika itu kota priyi. Kenapa anda lebih menokohkan Wanita? Nyai Ontosoroh itu? Yah, karena memang saya pengagum wanita yang berhasil. Dan ini tidak pernah diakui. Sedikit sekali wanita Indonesia jasanya diakui. Itu juga satu himbauan kepada wanita. Juga karena rasa terima kasih saya pada istri yang telah berjuang untuk hidup anak-anak selama saya di 'dalam'. Tapi mula pertama adalah rasa terima kasih kepada ibu saya sendiri, yang telah bersusah payah tanpa ada pengakuan jasa. Dan pada wanita umumnya. Mengapa tokoh 'aku' tak disebutkan nama sebenarnya? Juga nama advokat dari Semarang itu . . .? Ini satu siklus yang tak perlu terburu-buru. Nanti, di akhir cerita akan disebutkan siapa 'aku'. Boleh toh? Dan nama advokat yang tak saya sebutkan, supaya beban cerita jangan terlampau banyak. Supaya tidak terlampau banyak daun dalam batang pohon. Persoalannya semua bersangkutan dengan sejarah. Dan tidak setiap hal saya kuasai. Karena itu beban yang tidak perlu lebih baik saya singkirkan. Gaya bahasa novel ini sepertinya lebih lancar, dibanding novel anda sebelumnya. Dulu gaya anda terasa 'galak'. Tidak ada perubahan gaya bahasa sama saja. Ini hanya soal taktis saja. Saya mau menarik angkatan muda untuk membaca ini Untuk dibawa ke jilid selanjutnya. Ketika di Pulau Buru dikirimkan majalah yang dianggap tidak berbahaya. Majalah hiburan. Saya berpikir, ketika itu, oh angkatan muda sekarang begini gayanya. Merosot. Saya harus pakai ini untuk menggiring mereka ke arah yang lebih serius. Dan memang buku pertama ini agak terlampau manis gayanya. Ini disengaja untuk menarik anak-anak muda. Itu bukan berarti kapitulasi. Saya menggunakan jalan yang mereka tempuh. Kok, dalam novel anda ini agak kurang humor? Padahal kini penulis-penulis muda paling suka humor. Memang karya saya dari dulu sampai sekarang praktis tidak ada humornya. Memang itu latar belakang saya. Pesangon pribadi. Jadi punggung saya yang saya jalani itu tidak bumoristis. Lebih banyak seriusnya. Warna pribadi. Tokoh Nyai mengingatkan pada tokoh novel Gone with the Wind ... Sama sekali saya tidak terpengaruh Margaret Mitchell, penulis buku itu. Saya hanya menghendaki bahwa orang pribumi itu kalau diinjek tidak meletet. Tidak gepeng. Tidak pipih kena injakan. Semakin dia ditindas semakin bangkit. Ya, mungkin ada yang tidak setuju tapi itulah yang saya inginkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus