UMI MANUSIA
Karya: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Hasta Mitra, Jakarta-Amsterdam, 1980.
NYAI Ontosoroh yang keras dan tabah itu. dibentuk oleh jalan
hidupnya yang pahit.
Pada umur ke-14 ia dijual ayahnya kepada Tuan Besar Kuasa Pabrik
Gula Tulangan, Sidoarjo --dengan harga sejumlah gulden dan
harapan naik pangkat. Patah arang dengan orang tuanya, ia
memutuskan mengeduk segala ilmu dan ketrampilan dari Tuan
Mellema, si Tuan Besar Kuasa, "suaminya".
Dan Pramoedya Ananta Toer, 55 tahun kini, dalam novelnya yang
ditulis sewaktu ditahan di Pulau Buru menghadirkan tokoh Nyai
itu dalam badainya kehidupan di Hindia-Belanda akhir abad ke-19.
Bagaimana ia akhirnya menjadi kepala rumah tangga yang menguasai
segala-galanya -- setelah Tuan Mellema mengalami keguncangan
jiwa akibat kunjungan anaknya dari istrinya di Belanda yang
ternyata belum dicerainya.
Dan pada gilirannya, Mellema yang telah memberinya segalanya itu
memberinya pula bencana.
Mellema kedapatan mati di rumah pelacuran. Kemudian, hal yang
sudah dikhawatirkan Nyai Ontosoroh sejak ia tahu Mellema belum
menceraikan istri Belandanya, pun terjadi. Datang surat
tuntutan perkara hak waris. Tentu saja Nyai Ontosoroh tak
terhitung dalam pembagian warisan menurut hukum Belanda: ia tak
dikawin. Meski kedua anaknya dari Mellema dapat. Dan dalam surat
tuntutan itu, yang paling menyakitkan hati Nyai antosoroh,
Annelies (putrinya yang sudah menikah dengan pribumi dengan
hukum Islam) tetap dianggap gadis.
Pram bercerita lewat 'aku'. Aku ini bernama Minke--bukan nama
sebenarnya Dan tokoh Minke ini, agaknya dalam buku --buku
selanjutnya (direncanakan akan ada 4 buku: Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) akan menjadi tokoh
utama.
Novel berlatar belakang sejarah periode kebangkitan nasional ini
ditulis Pram dengan gaya ringan--tak begitu menggertak seperti
novel-novelnya yang lalu. Bahkan secara keseluruhan lebih dekat
dengan novel pop masa kini.
Bayangkan saja tokoh lelaki yang super--murid HBS Surabaya,
satu-satunya pribumi di sekolah itu dan lulus nomor dua untuk
HBS seluruh Hindia-Belanda. Tokoh wanita yang cantik, juga super
(Nyai Ontosoroh), dan anaknya, Annelies yang juga cantik tapi
rapuh mentalnya. Dipertemukan dalam satu kisah cinta yang
Fantastis. Hanya saja, yang pop itu hanya plot dan
penceritaannya yang ringan Perbedaan pokok dengan novel pop masa
kini ia sama sekali tiddak kocak.
Semua itu ada sebabnya. Di rumahnya, wartawan TEMPO Bachrun
Suwatdi mewawancarai Pram tentang buku pertamanya ini.
Dalam akhir Bumi Manusia tertulis Lisan, 1973, Tulisan, 1975 Apa
maksudnya?
Yah, dulu diceritakan secara lisan. Waktu itu kan tidak boleh
nulis. Waktu itu saya dan sekitar 18 orang teman dikucilkan.
Kalau malam saya cerita. Dari kelompok kecil itu cerita tersebar
ke luar sampai ke seluruh unit-unit di Inrehab Buru. (Dua tahun
kemudian baru dituliskan red).
Seberapa jauh revisi buku .ini dari naskah pertama yang anda
tulis di Pulau Buru?
Cerita ini sebelum saya masuk ke Buru telah mau saya tulis.
Yaitu di tahun 1961 saya telah mempersiapkan cerita ini. Pada
waktu itu saya baca referensi. dan pada waktu menulis tidak ada
regerensi. Tidak banyak yang mengalami perbaikan setelah saya
keluar. Tapi jangan lupa saya bukan bikin buku sejarah. Saya
bikin roman. Artinya menuliskan apa yang ada dalam kepala saya.
Lalu mengapa anda mengambil tempat kejadian Surabaya dan
Wonokromo?
Ya, memang ceritanya sekitar sana. Dan juga Surabaya ketika itu
adalah kota dagang terbesar, yang melahirkan ide-ide baru dari
seluruh dunia. Cerita ini garis besarnya menceritakan peralihan
antara pemikiran tradisional yang tidak rasional ke arah
pemikiran rasional. Maka paling tepat yang saya ambil sekitar
Surabaya. Kalau Betawi, ketika itu kota priyi.
Kenapa anda lebih menokohkan Wanita? Nyai Ontosoroh itu?
Yah, karena memang saya pengagum wanita yang berhasil. Dan ini
tidak pernah diakui. Sedikit sekali wanita Indonesia jasanya
diakui. Itu juga satu himbauan kepada wanita.
Juga karena rasa terima kasih saya pada istri yang telah
berjuang untuk hidup anak-anak selama saya di 'dalam'. Tapi mula
pertama adalah rasa terima kasih kepada ibu saya sendiri, yang
telah bersusah payah tanpa ada pengakuan jasa. Dan pada wanita
umumnya.
Mengapa tokoh 'aku' tak disebutkan nama sebenarnya? Juga nama
advokat dari Semarang itu . . .?
Ini satu siklus yang tak perlu terburu-buru. Nanti, di akhir
cerita akan disebutkan siapa 'aku'. Boleh toh? Dan nama advokat
yang tak saya sebutkan, supaya beban cerita jangan terlampau
banyak. Supaya tidak terlampau banyak daun dalam batang pohon.
Persoalannya semua bersangkutan dengan sejarah. Dan tidak setiap
hal saya kuasai. Karena itu beban yang tidak perlu lebih baik
saya singkirkan.
Gaya bahasa novel ini sepertinya lebih lancar, dibanding novel
anda sebelumnya. Dulu gaya anda terasa 'galak'. Tidak ada
perubahan gaya bahasa sama saja. Ini hanya soal taktis saja.
Saya mau menarik angkatan muda untuk membaca ini Untuk dibawa ke
jilid selanjutnya.
Ketika di Pulau Buru dikirimkan majalah yang dianggap tidak
berbahaya. Majalah hiburan. Saya berpikir, ketika itu, oh
angkatan muda sekarang begini gayanya. Merosot. Saya harus pakai
ini untuk menggiring mereka ke arah yang lebih serius. Dan
memang buku pertama ini agak terlampau manis gayanya. Ini
disengaja untuk menarik anak-anak muda. Itu bukan berarti
kapitulasi. Saya menggunakan jalan yang mereka tempuh.
Kok, dalam novel anda ini agak kurang humor? Padahal kini
penulis-penulis muda paling suka humor.
Memang karya saya dari dulu sampai sekarang praktis tidak ada
humornya. Memang itu latar belakang saya. Pesangon pribadi. Jadi
punggung saya yang saya jalani itu tidak bumoristis. Lebih
banyak seriusnya. Warna pribadi.
Tokoh Nyai mengingatkan pada tokoh novel Gone with the Wind ...
Sama sekali saya tidak terpengaruh Margaret Mitchell, penulis
buku itu. Saya hanya menghendaki bahwa orang pribumi itu kalau
diinjek tidak meletet. Tidak gepeng. Tidak pipih kena injakan.
Semakin dia ditindas semakin bangkit. Ya, mungkin ada yang tidak
setuju tapi itulah yang saya inginkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini