Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya dan teman-teman mengajak kalian semua untuk menolak lupa akan kasus-kasus yang sampai sekarang belum selesai, seperti pelanggaran HAM," kata Fajar Merah, vokalis band Merah Bercerita, saat mengisi acara penyambutan mahasiswa baru di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta pada 2014. Fajar lalu menyebut nama Marsinah, Munir, dan Wiji Thukul, yang dilenyapkan karena membela hak-hak orang tertindas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bak orator ulung, meski tidak berapi-api, kata-kata yang meluncur dari putra bungsu Wiji Thukul itu seperti mengagitasi. "Sampai sekarang mereka tetap hidup di jiwa kami dan mungkin di jiwa kalian. Percayalah kebenaran itu pasti menang dan kebenaran itu abadi, tak kan pernah bisa dilenyapkan," kata pemuda berambut gondrong yang putus sekolah saat kelas II SMK itu mengawali lagu pertamanya berjudul Kebenaran Akan Terus Hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penampilan Fajar Merah pada masa awal merintis karier di dunia musik itu menjadi pembuka film Nyanyian Akar Rumput yang diputar serentak di bioskop di 13 kota besar di Indonesia mulai Kamis, 16 Januari 2020. Film dokumenter berdurasi 112 menit karya produser dan sutradara Yuda Kurniawan, 37 tahun, itu mengangkat kisah keluarga Wiji Thukul, penyair dan aktivis asal Kota Solo yang hilang diculik menjelang reformasi 1998.
Nyanyian Akar Rumput diambil dari judul buku puisi Wiji Thukul yang terbit pada 2014. Yuda memilih judul itu karena mewakili garis besar cerita filmnya tentang perjuangan Fajar Merah dan Merah Bercerita menggelorakan semangat menolak lupa terhadap kasus penghilangan paksa sejumlah aktivis pada kurun 1997-1998 dengan melagukan beberapa puisi Wiji Thukul.
Fajar Merah lahir pada 22 Desember 1995. Semasa kecil, ia jarang bertemu dengan sang ayah yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah karena aktif dalam berbagai pergerakan melawan rezim Orde Baru. Menurut anak sulung Wiji Thukul, Fitri Nganthi Wani, Fajar awalnya marah jika bakat bermusiknya dikaitkan dengan darah seniman dari Wiji Thukul. Tapi, di sisi lain, Fajar juga penasaran kenapa banyak orang mengelu-elukan bapaknya.
Sejak saat itulah Fajar mulai mempelajari bapaknya lewat buku-buku puisinya. Terpikat pada puisi-puisi ayahnya yang melantangkan suara rakyat kecil dengan gaya bahasa sederhana, Fajar yang hobi bermain gitar ini mencoba menggubahnya menjadi lagu. Pada 2010, Fajar dan teman-temannya semasa bersekolah di SMK Negeri 8 Surakarta membentuk band Merah Bercerita.
Pada 2015, band indie yang digawangi Fajar (vokalis, gitar), Gandhiasta Andarajati (gitar), Yanuar Arifin (bas), dan Lintang Bumi (drum) itu merilis album perdana berjudul sama dengan nama band-nya. Album berformat cakram padat itu mengemas sembilan lagu, empat di antaranya dari puisi Wiji Thukul, yaitu Apa Guna, Derita Sudah Naik Seleher, Kebenaran Akan Terus Hidup, serta Bunga dan Tembok.
Fajar Merah (kanan) dalam film dokumenter Nyanyian Akar Rumput. Foto: Rekam Docs
Selain mengikuti perjalanan Merah Bercerita dari panggung ke panggung hingga masuk ke dapur rekaman, Nyanyian Akar Rumput menampilkan kehidupan Dyah Sajirah alias Sipon, istri Wiji Thukul, yang membuka usaha jahit pakaian di rumah. Saat film itu dibuat, Sipon sudah vakum dari berbagai aksi menuntut penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, terutama penghilangan paksa suaminya dan sejumlah aktivis lain.
Meski sudah tidak turun ke jalan seperti yang dilakoninya pada 2000-2011, Sipon masih merawat harapan agar Wiji Thukul dapat ditemukan, hidup atau mati. Harapan Sipon yang hampir redup karena perjuangannya bersama para aktivis pegiat HAM selalu membentur tembok, kembali bersinar menjelang pemilihan presiden 2014. Sebab, Jokowi mengusung salah satu program prioritas berupa penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. "Mbak Sipon saat itu begitu besar antusiasmenya dalam mendukung Joko Widodo," kata Yuda.
Besarnya antusiasme Sipon tampak dalam adegan dia memamerkan kaus-kaus buatannya yang bersablon siluet wajah Jokowi dan bertuliskan daftar alasan harus memilih Jokowi. "Kaus ini dijual Rp 75 ribu. Kadang kami berikan gratis buat yang enggak mampu beli," kata Sipon. Film itu juga menampilkan potongan dokumentasi kampanye Jokowi pada 2014 dan pernyataan dukungan Sipon. Namun, menurut Fitri Nganthi Wani, semua itu hanya realitas pada masa film tersebut dibuat, bukan cerminan realitas sekarang.
Tak ubahnya film fiksi, Nyanyian Akar Rumput juga terbilang sukses mengaduk-aduk perasaan penonton. Dari celotehan khas Fajar yang humoris hingga momen-momen haru saat penyerahan Yap Thiam Hien Award pada 17 Desember 2012 untuk Wiji Thukul atas komitmennya dalam memperjuangkan HAM. Ibu Wiji Thukul, Sayem Harjo Suwito (meninggal pada 2017), bercucuran air mata saat menerima piagam itu. Sipon menangis hingga jatuh pingsan setelah menjawab pertanyaan wartawan ihwal keberadaan Wiji Thukul.
Yuda mengerjakan film yang memenangi Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2018 kategori dokumenter itu pada 2014-2018. Ia tidak pernah membayangkan film itu bakal diputar di bioskop. "Memenangi Piala Citra 2018 jadi awal yang baik sehingga film ini mulai dikenal secara luas," kata Yuda saat berbincang dengan Tempo pada 15 Desember 2018.
Yuda lalu ingin agar pesan dalam filmnya bisa menjangkau lebih banyak orang dengan pemutaran di bioskop komersial. "Film dokumenter memang belum populer, tapi enggak ada salahnya dicoba," kata Yuda. "Sejak awal 2019 saya mulai mengurus berbagai persyaratan agar film ini bisa diputar di XXI." Ia juga mencari cara agar film itu ditonton Presiden Jokowi. DINDA LEO LISTY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo