Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Obituari Amrus Natalsya: Pelayaran Terakhir

Amrus Natalsya, salah satu seniman Sanggar Bumi Tarung, meninggal. Karyanya yang kritis melegenda. Berkarya hingga sepuh.

4 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Amrus Natalsya meninggal.

  • Seniman Sanggar Bumi Tarung.

  • Berkarya hingga sepuh.

AMRUS Natalsya, yang lahir di Natal, Medan, Sumatera Utara, 21 Oktober 1933, meninggal di Cibinong, Jawa Barat, pada 31 Januari 2024 malam. Maka Amrus pun, seperti pernah ia katakan, pergi jauh bersama kapal besar Cheng Ho. “Aku berlayar dalam keabadian, menuju negeri-negeri surga yang tak pernah kulihat.” Kita tahu, kapal laksamana masyhur era Dinasti Ming itu kerap ia gubah dalam patung kayunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Amrus wafat pada usia 90 tahun. Namun sesungguhnya ia telah sangat siap pergi pada usia 85 tahun. Karena itu, pada usia 83 tahun, ia berusaha menggubah karya-karya yang berobyek patung pahlawan ilmu pengetahuan, dari T’sai Lun, Isaac Newton, sampai Steve Jobs. Karya itu rencananya digelar dalam pameran perpisahan bertajuk “Terimakasih” pada 2018. Namun rencana itu batal sehingga ia bersedih. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam kesedihannya muncul promotor yang menggelar karyanya secara retrospektif di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 2019. Pameran ini pun ia anggap sebagai upacara “tutup mata”. Maka, dalam perhelatan tersebut, Amrus berpamitan kepada banyak orang, dan secara khusus kepada sastrawan dan budayawan Ajip Rosidi, yang hadir di situ, meski ternyata kemudian Ajip wafat lebih dulu.  

Amrus memang selalu bersiap pergi. Karena itu, ketika pada akhir 2023 Bentara Budaya Yogyakarta menggelar karyanya (dan lukisan Misbach Tamrin) dalam pameran “Dua Petarung”, lagi-lagi ia menganggap itu adalah laga terakhir. Dan memang begitulah adanya. 

Amrus adalah pelukis dan pematung spesialis kayu yang tiada duanya di Indonesia. Karyanya yang khas, tema-tema kerakyatannya yang tajam, serta produktivitasnya yang mengesankan membuatnya sangat dihormati publik, juga diganjar berbagai penghargaan. Keuletannya dalam berkarya dibawa dari tempaan berat kehidupannya. 

Di kampung halamannya, Amrus remaja bekerja sambilan di perusahaan reklame. Pekerjaan ini kurang menyenangkan hatinya. Ia pun bertualang ke Yogyakarta dan berencana masuk ke jurusan seni patung di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). “Patung-patung Batak selalu merangsang saya untuk mencipta sepenuh jiwa,” katanya. 

Namun, lantaran jurusan patung sudah penuh, Amrus masuk ke jurusan seni lukis. Di sini ia berjumpa dengan Hendra Gunawan dan Trubus, yang kelak menjadi seniman amat terkenal. Pertemuan dengan para pengajar ini membawa Amrus mendalami seni lukis realis, bahkan sampai realisme sosialis Meksiko dan Uni Soviet. 

Pada suatu ketika, Amrus bertemu dengan pematung Michael Wowor. Amrus pun ikut memahat kayu di studio Wowor di Solo, Jawa Tengah. Kenangan akan patung-patung etnik Batak ia transformasikan ke dalam tatahan kayunya. Maka jadilah patung berjudul Orang Buta yang Terlupakan (1954). Patung ekspresionis primitif itu lalu diboyong dari Solo dan dipajang di kampus ASRI.  

Pada 1955, ASRI mengadakan acara lustrum yang pertama. Presiden Sukarno yang hadir dalam acara itu terpana melihat patung Amrus. “Siapa yang membuat patung ini?” Presiden bertanya kepada R.J. Katamsi, Direktur ASRI. Pertanyaan yang sederhana itu ternyata membuahkan kebanggaan besar. Kebanggaan itu pun makin menggumpal ketika diketahui Presiden Sukarno ternyata membeli patungnya untuk Istana Negara. "Sejak itu, saya merasa harus jadi pematung,” tutur Amrus.  

Patung kayu karya Amrus Natalsya "Kapal Cheng Ho". Agus Dermawan T

Sebagai seniman yang berpikir, ia menginginkan karyanya bermuatan, berfilosofi, dan berideologi. Pada waktu itu, ia tertarik pada dasar-dasar pikiran seni Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Aspirasi Lekra mendorong terciptanya karya seni yang mengacu pada realisme kerakyatan. Menurut dia, realisme jenis ini bermuara pada humanisme. Untuk mendukung pikiran itu, pada 1961 Amrus mendirikan Sanggar Bumi Tarung bersama Misbach Tamrin dan Djoko Pekik. Ia ingin sepenuhnya melibatkan seni rupa humanis sebagai bagian dari nation building.                    

Ia pun giat mencipta. Pada suatu kali, ia melancong ke Jakarta sambil membawa beberapa karyanya untuk dijual. Di Ibu Kota, ia diterima dengan baik oleh sejumlah sahabat. Menatap karya-karya Amrus yang apik, seorang temannya yang merupakan redaktur Harian Rakyat dengan antusias memotret. Beberapa hari kemudian, foto itu termuat di koran tersebut dengan teks “Karya Amrus, anggota Lekra Yogyakarta”. Amrus tentu gembira dan bangga atas publikasi itu. “Anak muda mana yang tidak bangga diangkat oleh koran Ibu Kota?” ucapnya.  

Pada 1965, terjadi kudeta politik Gerakan 30 September atau G-30-S, yang konon didalangi PKI. Pada 1966, ia mendengar Pramoedya Ananta Toer, pemikir Lekra, penolak Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1959, dan penulis buku Hoa Kiau di Indonesia, diringkus. Di situ Amrus menyimpulkan bahwa dirinya, yang juga pelukis-pemikir, bisa pula dicokok. Maka sejak 1966 sampai 1968 ia harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari penangkapan.  

Hidup Amrus dari jam ke jam terancam. Ia ingin sekali menatah kayu, membuat patung. Tapi pekerjaan itu mengandung risiko lantaran menatah kayu menimbulkan suara sehingga gampang menarik perhatian orang. Ia lantas memilih mencipta lukisan, yang bisa diproses secara diam-diam di dalam kamar. 

Dalam lukisan, Amrus memilih tema yang tak jauh-jauh dari situasi yang menggocohnya. Lalu terciptalah lukisan Melepas Dahaga di Padang Tandus. Juga Arjuna Cemas. Pada lukisan ini tertulis inskripsi: “.... ketika saja mengerdjakan karja ini, saja tengah menghadapi saat jang sangat sulit, baik setjara material maupun spiritual. Banjak teman saja jang telah ditangkap. Saja tertekan dan hanja menunggu kapan waktunja tiba. Kasihan sekali anak-anak saja masih ketjil....” Kala itu Amrus memiliki seorang istri dan lima anak.    

Hari nahas itu akhirnya tiba. Pada Desember 1968, ia ditangkap anggota militer yang bergerak dalam komando Operasi Kalong di Jakarta. Ia pun meringkuk di penjara. Amrus bisa memahami alasan ia ditangkap. Tapi ia sangat tidak mengerti, mengapa militer membakar karya-karyanya? Apa salahnya patung-patung yang mengangkat tema humanisme itu? Salah satu karya Amrus yang dibakar adalah patung kayu asam setinggi 5 meter, Orang-orang yang Tersita Haknya pada Senjakala, ciptaan 1955. Untungnya patung ini telah didokumentasikan oleh Claire Holt, juga dimasukkan sebagai adikarya dalam buku Art in Indonesia: Continuities and Change (Ithaca, New York, Amerika Serikat, 1967).                     

Amrus berada di penjara selama lima tahun. Beberapa waktu setelah itu, dengan modal tipis, ia bergabung dengan Pasar Seni Ancol, Jakarta, atas ajakan Ciputra. Di kiosnya yang sederhana ini, ia melihat papan-papan kayu menganggur. Papan kayu itu lantas ia lukis dan tatah. Jadilah lukisan tatah kayu khas Amrus. Pasarnya pun menjulang. Kolektornya tersebar luas di Indonesia, Eropa, sampai Jeddah di Arab Saudi. Kolektor fanatiknya, seperti Etty Mustafa, E.Z. Halim, Ijek Widyakrisnadi, dan Fadli Zon, menyimpan sangat banyak karyanya sebagai harta budaya. 

Kebesaran Amrus Natalsya, anggota Akademi Jakarta, terpacak dalam berbagai buku yang merekam reputasinya. Di antaranya Chinatown Amrus Natalsya (Amir Sidharta, 2004), Amrus Natalsya dan Bumi Tarung (Misbach Tamrin, 2008), Amrus Natalsya: Memory of The Lost Chinese Past (Jean Couteau, 2009), Kayu-kayu Berlagu Amrus Natalsya (Agus Dermawan T., 2010), serta Amrus Natalsya: Mutiara dari Bumi Tarung (E.Z. Halim, 2020).  

Selamat berlayar ke negeri jauh, Pak Amrus.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pelayaran Terakhir Amrus Natalsya"

Agus Dermawan T

Agus Dermawan T

Pengamat seni

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus