Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Emmy Hafild berperan dalam mendorong perubahan mendasar organisasi dan struktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.
WALHI memandang kerusakan lingkungan berpangkal pada masalah-masalah struktural seperti tata kelola dan transparansi.
NURUL Almy Hafild, atau lebih akrab dengan panggilan Emmy Hafild, adalah aktivis lingkungan yang dinobatkan oleh majalah Time sebagai salah satu “Heroes of the Planet” pada 1999.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepergiannya pada Sabtu malam, 3 Juli lalu, karena kanker yang dideritanya tiga tahun terakhir, adalah duka besar bagi teman-temannya dan dunia lembaga swadaya masyarakat tempat Emmy menghabiskan sebagian besar hidupnya, sebelum memasuki dunia politik dengan bergabung ke Partai NasDem.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lahir di Petumbukan, Sumatera Utara, 5 April 1958, Emmy pindah bersama keluarganya ke Jakarta saat ia duduk di sekolah menengah atas dan menyelesaikan kuliahnya di Jurusan Agronomi Institut Pertanian Bogor. Ia adalah penerima beasiswa Fullbright dan mendapatkan gelar master of science dari Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat.
Emmy adalah seorang yang luwes, selalu berbicara blakblakan, dan punya pergaulan luas dengan berbagai kalangan. Perhatiannya terhadap alam telah ia tunjukkan sejak usia dini. Saat kuliah di IPB, ia bergabung dengan perkumpulan mahasiswa pencinta alam Lawalata.
Keberaniannya mengajukan protes ia tunjukkan sejak masa kuliah. Ia pernah memprotes panitia penerimaan anggota Lawalata yang nyaris membuatnya tenggelam di sungai pada saat pelatihan. “Saya dipanggil oleh teman-teman untuk meredakan kemarahan Emmy kepada para senior,” ujar Suryo Adiwibowo, tokoh Lawalata yang kini menjadi penasihat senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam sebuah testimoni.
Emmy seorang aktivis dengan visi besar dan kepemimpinan terasah. Ia berperan dalam mendorong perubahan mendasar organisasi dan struktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sehingga berkembang menjadi jaringan organisasi lingkungan hidup terbesar di Indonesia. Anggota Walhi hampir 500 organisasi dan 190 individu, tersebar di seluruh Indonesia yang diorganisasikan oleh Walhi daerah di 29 provinsi.
Maknyak—panggilan kepadanya dari para aktivis Walhi—punya peran besar terhadap gerakan lingkungan pada saat itu. Iman Masfardi, mantan Deputi Direktur Eksekutif Walhi, mengungkapkan Emmy melakukan konsolidasi yang revolusioner terhadap gerakan lingkungan hidup di Indonesia.
Sikapnya yang terbuka, spontan, dan jujur membuat ia terkesan meledak-ledak. Meskipun dikenal galak, Emmy dicintai teman-temannya. Kepribadian yang kuat membuatnya tidak kenal takut dan berani melabrak banyak hal untuk sesuatu yang ia yakini benar. Pembelaannya dalam masalah pembangunan bendungan di Batang Toru, reklamasi teluk Jakarta, atau penggunaan alat tangkap cantrang, misalnya, membawanya ke dalam perdebatan dengan aktivis Walhi.
Aktivismenya di Walhi bermula pada 1994 sebagai koordinator program khusus. Sebelum berkiprah di Walhi, ia bergabung dengan Yayasan Indonesia Hijau dan Sekretariat Pelestarian Hutan Indonesia. Di Walhi, kiprahnya berkembang cepat sehingga terpilih menjadi Direktur Eksekutif Walhi dua periode, 1996-1999 dan 1999-2020.
Sebagai organisasi advokasi, Walhi memandang kerusakan lingkungan berpangkal pada masalah-masalah struktural, seperti tata kelola dan transparansi. Emmy menyatukan seni advokasi dan kampanye lingkungan dengan berbagai program strategis dan luas yang mencakup isu-isu demokratisasi, hak asasi manusia, hingga penguatan masyarakat sipil. Ini membuat kantor Walhi menjadi rumah besar bagi gerakan lingkungan hidup di Indonesia. Bersama LSM-LSM lain, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan INFID, Walhi menjadi garda depan organisasi masyarakat sipil dan menjadi bagian gerakan prodemokrasi di negeri ini.
Walhi berperan penting dalam mendorong perubahan kerangka kebijakan lingkungan hidup di Indonesia. Organisasi ini meletakkan dasar kampanye untuk isu-isu lingkungan yang penting, seperti kampanye antinuklir, kebakaran hutan dan gambut, moratorium logging, dan masalah tambang.
Pada awal 1998, sebelum Soeharto jatuh, Walhi menjadi simpul penting konsolidasi kekuatan politik alternatif. Waktu itu Emmy mendorong pembentukan Forum Kerja Indonesia sebagai platform untuk mempersatukan kekuatan Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Untuk menjalankan proses konsolidasi tiga kekuatan ini, Forum Kerja Indonesia dijalankan oleh satuan tugas yang terdiri atas orang-orang yang disetujui oleh pemimpin tiga organisasi tersebut, di antaranya Sony Keraf, Bondan Gunawan, dan Arbi Sanit. Dari kantor Walhi, mereka merumuskan proses konsolidasi politik yang menjadi bagian penting mendorong jatuhnya kekuasaan Orde Baru.
Bersama para pemimpin LSM dan organisasi masyarakat, Emmy mendirikan Aksi Kemanusiaan untuk Reformasi (AKUR), jaringan terbuka yang memobilisasi dukungan masyarakat bagi reformasi. AKUR mendirikan dapur-dapur umum, memobilisasi logistik bagi gerakan mahasiswa yang membesar, hingga menduduki gedung Dewan Perwakilan Rakyat sampai akhirnya kekuasaan Soeharto runtuh.
Setelah Orde Baru runtuh, bersama koalisi LSM, Emmy membawa Walhi memimpin organisasi masyarakat sipil melakukan perubahan kebijakan, di antaranya memasukkan hak atas lingkungan dalam amendemen Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 28H ayat 1) dan terbitnya Ketetapan MPR Nomor IX Tahun 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang menjadi dasar kebijakan pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam hingga saat ini.
Walhi juga turut melakukan proses pendidikan demokrasi melalui program civic education secara masif di seluruh Indonesia. Ada ratusan pelatihan dan lokakarya edukasi yang diorganisasikan Walhi bagi para calon pemilih dan pemilih baru.
Energinya yang besar serta kepeduliannya terhadap ketidakadilan membuat Emmy tidak berhenti hanya pada gerakan lingkungan. Ia mendirikan Transparency International Indonesia dan menjadi sekretaris jenderal pada 2003-2005. Emmy juga memimpin salah satu kluster program di Kemitraan, organisasi yang memusatkan perhatian pada reformasi tata kelola lembaga publik.
Ia juga pernah menjadi Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara dan menjadi bagian penting dalam pendirian Greenpeace Indonesia pada 2006. Kiprahnya di tingkat global juga dilakoninya melalui Friends of the Earth International, jaringan organisasi akar rumput terbesar di dunia dan Walhi menjadi salah satu anggotanya.
Sejak awal, Emmy peduli terhadap kekuatan masyarakat sipil. “Kekuatan masyarakat sipil merupakan fondasi bagi demokrasi,” tuturnya dalam peringatan ulang tahun Walhi ke-40. Hal ini dibenarkan oleh Emil Salim, mantan Menteri Lingkungan Hidup, yang dekat dengannya. Emil bercerita di depan James Wolfensohn, Presiden Bank Dunia, Emmy memprotes kebijakan lembaga itu yang terlalu memperhatikan sektor swasta dan mengabaikan perhatian pada masyarakat sipil.
Lalu Emmy memasuki dunia politik praktis. Ia bergabung dengan Partai NasDem pada 2017 dan menjadi salah satu ketua dewan pimpinan pusat yang membawahkan bidang pertanian dan maritim. Melalui NasDem, ia mempersoalkan insiden tumpahnya minyak yang kerap terjadi di bawah operasi Pertamina.
Aktivisme Emmy sangat lengkap dan sulit mencari padanannya. Karena itu, meskipun telah tiada, Emmy Hafild akan dikenang sebagai pejuang lingkungan dan pembangun gerakan masyarakat sipil yang tidak mengenal rasa takut. “A fearless fighter,” demikian teman-temannya menjuluki dia.
LONGGENA GINTING (DIREKTUR EKSEKUTIF WALHI 2002-2005, KEPALA GREENPEACE INDONESIA 2012-2016)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo