Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Panas Menjelang Pertamina Datang

Kelompok masyarakat sipil menggugat PT Chevron Pacific Indonesia dan pemerintah atas pencemaran lingkungan di Blok Rokan, Riau. Menambah masalah yang masih menggunung di masa transisi operator ke PT Pertamina.

10 Juli 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Fasilitas Blok Rokan di Duri, Riau. (Dok. PT Chevron Pacific Indonesia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Isu pencemaran lingkungan memanas menjelang alih kelola Blok Rokan,

  • Janji pemulihan belum sepenuhnya terealisasi.

  • Seabrek pekerjaan rumah di masa transisi tak kunjung kelar..

GENANGAN air bercampur minyak berserak di beberapa titik di kebun sawit milik Armi Hasyim, warga Desa Menggala Sakti, Kecamatan Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Di lokasi lain yang tidak terendam, tanahnya berkelir hitam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Armi merekam video dan foto kondisi lahannya yang dekat dengan terminal penampungan (gathering station) minyak Blok Rokan itu pada akhir Juni lalu. Dia menduga minyak dari fasilitas produksi PT Chevron Pacific Indonesia, operator Blok Rokan, merembes dan mencemari tanah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Walhasil, tanaman sawit di kebun seluas 2,5 hektare milik Armi tak produktif. Buah yang dihasilkan bungkik alias kerdil, masak sebelum waktunya. Setiap sepuluh hari, Armi hanya bisa memanen tandan buah segar rata-rata 150 kilogram. “Paling banyak 200 kilogram sekali panen,” kata Armi kepada Tempo melalui sambungan telepon, Jumat, 9 Juli lalu.

Menurut Armi, rembesan dan genangan minyak juga dapat dijumpai di kebun lain di Desa Menggala Sakti. Misner Damanik, petani sawit lain, membenarkan. Menurut Misner, banyak lumpur minyak hitam pekat di kebunnya. “Sungai pun tercemar,” ujarnya.

Permasalahan di kebun Armi dan Misner itulah yang turut mendorong Lembaga Pengawas Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) menggugat Chevron Pacific Indonesia. Pada Selasa, 6 Juli lalu, mereka mendaftarkan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Pekanbaru. Selain kepada Chevron, gugatan tersebut ditujukan kepada Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) sebagai pengawas kontraktor pengelola wilayah kerja migas. Adapun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, juga Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau, turut digugat sebagai pemberi izin lingkungan.

Foto udara fasilitas minyak di Blok Rokan, Riau. Foto: indonesia.chevron.com

Mereka dituding telah lalai sehingga terjadi pencemaran lingkungan di sekitar Blok Rokan yang dampaknya sangat merugikan masyarakat. “Mereka tidak menjalankan kewenangan yang seharusnya dapat mencegah, dan memulihkan pencemaran di area yang dioperasikan Chevron Pacific Indonesia,” ucap ketua tim kuasa hukum LPPHI, Yosua Hutahuruk, Kamis, 8 Juli lalu.

Selama ini, menurut Yosua, ada setidaknya 297 aduan masyarakat di sejumlah kabupaten di Riau tentang dugaan pencemaran limbah minyak mentah Blok Rokan. Wilayah kerja Rokan, yang pernah menjadi penghasil minyak terbesar di Indonesia, memang superluas, sekitar 626 ribu hektare, sepuluh kali luas wilayah DKI Jakarta. Areanya membentang dari Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Kampar, Kabupaten Siak, Kabupaten Bengkalis, Kota Dumai, hingga Kota Pekanbaru.

Pencemaran minyak mentah disinyalir membuat tandan buah segar sawit milik masyarakat tak bisa tumbuh optimal. Hasil panen kebun Armi contohnya, jika dirata-rata, hanya 2,1 ton per hektare. Angka ini jauh lebih rendah dibanding produktivitas tanaman sawit nasional yang mencapai 3,95 ton per hektare, merujuk pada data 2021 Kementerian Pertanian.

Hasil rendah itu sebenarnya sudah lebih baik. Sebelumnya, menurut Armi, tanaman sawitnya selalu mati. Ketua Pemuda Desa Menggala Sakti ini mulai menanam sawit pada 2003. Gagal dalam penanaman pertama, Armi berusaha lagi pada 2008. Hasilnya sama saja: nihil. Upayanya mulai membuahkan hasil ketika pada 2011 penanaman disertai dengan penambahan volume pupuk. Toh, meski berhasil tumbuh, sawit itu tak pernah memberikan hasil yang diharapkan.

•••

GUGATAN perdata dugaan pencemaran limbah di Blok Rokan masuk ke pengadilan hanya sebulan sebelum Chevron Pacific Indonesia angkat kaki dari ladang minyak raksasa tersebut. Pada Juli 2018, pemerintah menolak proposal perpanjangan kontrak Chevron. Pemerintah mengalihkan pengoperasian Rokan kepada PT Pertamina (Persero), perusahaan minyak milik negara. Pengalihan ini akan berlaku efektif mulai 8 Agustus nanti.

Tapi sengkarut rehabilitasi lingkungan ini sebenarnya telah lama menjadi pergunjingan di lingkup internal Pertamina. Juru bicara Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, Marcellus Hakeng Jayawibawa, mengatakan serikatnya telah menyampaikan peringatan kepada manajemen tentang dampak pencemaran lingkungan ini dua tahun lalu.

Misner Damanik menunjukkan tanah terkontaminasi di lahan sawit miliknya, di sekitar wilayah kerja Blok Rokan, Riau, pada Maret 2021. Foto: Istimewa

Serikat pekerja ketar-ketir mendengar kabar yang berembus di awal masa transisi operator Rokan, sekitar akhir 2019. Kala itu, menurut Marcellus, beredar informasi tentang adanya penawaran khusus dari Chevron kepada Pertamina. Salah satu tawaran yang menggiurkan adalah Pertamina bisa masuk ke Blok Rokan lebih cepat dari jadwal seharusnya dengan syarat seluruh kewajiban Chevron dilimpahkan kepada Pertamina, termasuk urusan lingkungan. “Ketika kami mengingatkan, (manajemen) tidak melanjutkan langkah, yang patut diduga kalau diteruskan akan merugikan perusahaan negara dan masyarakat,” kata Marcellus kepada Tempo, Kamis, 8 Juli lalu.

Tahun lalu, masalah lingkungan di Blok Rokan juga dipersoalkan oleh Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat, yang membidangi sektor energi. Dalam rapat dengar pendapat dengan sepuluh kontraktor kontrak kerja sama minyak dan gas bumi, 20 Januari 2020, Chevron dicecar pertanyaan tentang komitmen mereka dalam mengatasi dampak lingkungan. "Ada puluhan ribu tanah terkontaminasi minyak, khususnya di Riau, yang merupakan daerah pemilihan saya,” ucap anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Abdul Wahid.

Dalam rapat yang sama, anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Demokrat, Zulfikar Hamonangan, juga mempertanyakan tanggung jawab Chevron atas dugaan bocornya pipa-pipa minyak yang menyebabkan pencemaran. “Persoalan ini terjadi sejak 2010 dan menjadi isu yang terus bergulir, tanpa ada penyelesaian,” tutur Zulfikar.

Menanggapi pertanyaan Dewan tersebut, Albert Simanjuntak, Presiden Direktur Chevron Pacific Indonesia saat itu, menegaskan komitmen perusahaannya menyelesaikan semua persoalan, termasuk pencemaran lingkungan. Ia mengatakan pemulihan tanah yang terkontaminasi masih menunggu izin dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta persetujuan SKK Migas.

Saat itu Albert juga mengungkapkan bahwa Chevron telah mengajukan anggaran dan rencana kerja untuk memulihkan tanah yang terkontaminasi. Tapi, menurut dia, dari sejumlah lokasi yang terverifikasi, tidak semua disetujui SKK Migas.

Juru bicara Chevron Pacific Indonesia, Sonitha Poernomo, mengatakan, sebagai kontraktor dari pemerintah Indonesia, perusahaannya melaksanakan program pemulihan tanah yang terpapar minyak bumi di Blok Rokan sesuai dengan arahan dan persetujuan pemerintah. Program ini dijalankan hingga berakhirnya kontrak Rokan pada Agustus 2021.

Sonitha menjelaskan, program pemulihan lahan mengacu pada aturan pengelolaan limbah secara spesifik. Selanjutnya, Chevron melaporkan perkembangan pekerjaan pemulihan ini kepada SKK Migas dan Kementerian Lingkungan Hidup. Laporan disampaikan pula kepada pemerintah daerah melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau serta dinas lingkungan hidup dan kehutanan tingkat kota dan kabupaten, juga Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Riau. “Dalam menjalankan operasi, PT Chevron Pacific Indonesia selalu mematuhi peraturan dan undang-undang yang berlaku,” ujarnya, Jumat, 9 Juli lalu.

Ia memastikan Chevron akan bekerja sama dengan SKK Migas untuk mendukung kelancaran proses transisi alih kelola semua operasi di Blok Rokan, termasuk pekerjaan pemulihan yang tersisa. Ihwal gugatan di pengadilan, Sonitha menegaskan bahwa perusahaannya menghormati hak setiap warga negara dan kelompok masyarakat dalam mengekspresikan pendapat dan menyampaikan aspirasi. “Sepanjang dilakukan secara tertib dan damai serta menghargai hak orang lain sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,” katanya.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menjelaskan, berdasarkan rencana pemulihan fungsi lingkungan hidup, lembaganya mencatat, hingga Rabu, 7 Juli lalu, program telah berjalan di 47 lokasi area yang terkontaminasi. Pemulihan di 45 titik tengah menunggu deklarasi atau pernyataan bersih dari Kementerian Lingkungan Hidup. Adapun di dua titik sisanya pembersihan sedang berjalan, meski ada kendala akses dari pemilik lahan.

Di luar itu, SKK Migas mencatat, terdapat 33 lokasi yang kini tengah menunggu surat status penyelesaian lahan terkontaminasi (SSPLT). Sedangkan 77 lokasi telah mendapat surat tersebut.

Sejumlah pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memilih tidak memberikan penjelasan tentang permasalahan tersebut. Kementerian ini sebenarnya telah menggelar audit lingkungan di Blok Rokan pada Juli 2020. Namun hasil audit itu tidak pernah dibuka kepada publik. “Lebih tepat pertanyaan ditujukan ke humas KLHK saja,” Direktur Pengendalian Pencemaran Air Kementerian Lingkungan Hidup Luckmi Purwandari memberikan jawaban singkat pada Sabtu, 10 Juli lalu.

Namun Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup Nunu Anugrah bungkam. Begitu pula Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya Rosa Vivien Ratnawati, yang tidak merespons pertanyaan Tempo. Per 23 Juni lalu, Rosa Vivien resmi diangkat menjadi komisaris PT Pertamina Hulu Rokan.

Direktur Utama PT Pertamina Hulu Rokan Jaffee A. Suardin menyerahkan persoalan ini kepada peraturan. “Telah ada kesepakatan penyelesaian antara operator sebelumnya dan SKK Migas untuk penyelesaian penanganan tanah terkontaminasi tersebut,” tutur Jaffee kepada Tempo, Jumat, 9 Juli lalu. Jaffee menjamin, di masa mendatang, Pertamina Hulu Rokan bakal lebih memperhatikan aspek lingkungan dalam mengoperasikan Blok Rokan.

•••

MASALAH pemulihan dampak lingkungan hanya satu dari seabrek pekerjaan rumah yang kudu dituntaskan menjelang pengalihan penuh operasi Blok Rokan, 8 Agustus nanti. Yang sudah mulai menemukan titik terang adalah urusan pasokan listrik.

Bersamaan dengan masuknya berkas gugatan perdata Lembaga Pengawas Perusak Hutan Indonesia ke Pengadilan Negeri Pekanbaru, Selasa, 6 Juli lalu, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) meneken perjanjian jual-beli saham dengan Chevron Standard Limited, sister company Chevron Pacific Indonesia. Perjanjian ini menandai akuisisi PLN terhadap PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara, anak usaha Chevron yang selama ini mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap North Duri Cogeneration.

Sebelumnya, pasokan listrik menjadi persoalan di masa transisi alih kelola Blok Rokan lantaran North Duri Cogeneration dibangun dalam entitas dan skema bisnis terpisah dengan Chevron Pacific Indonesia, yang beroperasi dengan mekanisme cost recovery. Walhasil, habisnya kontrak Chevron tak otomatis mengembalikan pembangkit berkapasitas 3 x 100 megawatt itu kepada negara. Pembangkit ini cukup krusial lantaran menjadi pemasok utama setrum dan uap untuk sumur-sumur produksi Blok Rokan.

PLN masih merahasiakan nilai transaksi akuisisi Mandau Cipta. Yang jelas, tugas PLN belum selesai sampai di sini. Perusahaan setrum milik negara ini juga harus membangun jaringan transmisi agar fasilitas produksi Blok Rokan tersambung dengan sistem kelistrikan Sumatera, kelak pada 2024. Adapun North Duri Cogeneration hanya akan dimanfaatkan tiga tahun, 2021-2023.

Urusan lain juga menunggu PLN. Perseroan masih harus bernegosiasi dengan Pertamina Hulu Rokan untuk menyepakati harga jual listrik. Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril menjelaskan, kesepakatan harga akan mengacu pada surat perjanjian jual-beli tenaga listrik dan uap yang diteken PLN dan Pertamina pada 1 Februari 2021. “Ada satu pasal yang menyatakan akan menyesuaikan harga. Kami sedang berdiskusi tentang itu,” ujar Bob kepada Tempo.

Artinya, harga dalam kontrak yang sedang berjalan antara Mandau Cipta dan Chevron Pacific Indonesia tidak dilanjutkan sebagai harga layanan listrik dari PLN kepada Pertamina. Menurut Bob, pembangkit ini amat spesifik. Hitungan bisnisnya berbeda dengan pembangkit pada umumnya. Pasalnya, bahan baku gas dan uap air berasal dari Blok Rokan. Selama ini, Mandau Cipta hanya bertugas menjalankan pembangkit alias memproduksi setrum. “Kalau harga gasnya, misalnya US$ 6 saja, biaya pokok produksi Cogen Rp 1.100-1.200 per kWh, di atas (pembangkit) batu bara yang bisa mencapai Rp 600 per kWh,” kata Bob.

Pertamina Hulu Rokan juga belum bisa menyebutkan harga listrik yang ideal. Tapi Direktur Utama PT Pertamina Hulu Rokan Jaffee A. Suardin berharap ada efisiensi biaya listrik dan uap untuk mendukung pengembangan sumur-sumur minyak dengan skala keekonomian yang lebih baik.

Beban yang dipikul Jaffee memang tak ringan. Produksi Rokan merosot kencang tiga tahun terakhir. Pertamina ditargetkan bisa menahan laju penurunan produksi Blok Rokan, terutama lewat pengeboran dan pemeliharaan sumur.

Kegiatan pengeboran ini juga masih menjadi tantangan. SKK Migas mencatat, dari target 180 pengeboran sumur di masa transisi, hanya 71 kegiatan yang terealisasi. Capaian buruk ini pun sudah mencakup 11 sumur konversi. Kerja ulang (workover) dan perawatan sumur (well service) juga belum mencapai target. Kondisi ini turut membuat rata-rata produksi Rokan kembali melorot, kini berkisar 160-165 ribu barel per hari.

Untuk mempertahankan produksi Rokan, Pertamina berencana mengebor 84 sumur, meliputi sumur pengembangan dan sumur existing—hasil kerja Chevron. Adapun 270 sumur lain akan disiapkan pada tahun berikutnya. “Ini wilayah kerja dengan investasi jumlah sumur terbanyak,” ucap Jaffee.

Dengan rencana kerja itu, Pertamina harus menyiapkan tambahan 10 rig. Dengan begitu, kelak Pertamina akan mengoperasikan 16 rig pengeboran dan 29 rig untuk kegiatan workover dan well service.

Kalaupun rencana Pertamina tersebut berjalan, masih ada satu ganjalan lain. Masalah bahan kimia untuk program optimasi produksi sumur tua dengan teknologi enhanced oil recovery (EOR) belum sepenuhnya beres. "Data transfer dan model conversion sudah 100 persen. Surfactant chemical masih dalam proses. Plan of development EOR sekitar 55 persen,” ujar Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto. Sedangkan masa transisi Blok Rokan tersisa sebulan.

RETNO SULISTYOWATI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus