Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Oliver Stone dan Komedi Bush

Film sutradara Oliver Stone yang paling santai dan asyik. Tidak penuh teori konspirasi; tidak pedantik.

16 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


W
Sutradara: Oliver Stone
Skenario: Stanley Weiser
Pemain: Josh Brolin, Richard Dreyfuss

Percaya atau tidak, Oliver Stone ternyata bisa melucu. Dan dia bahkan bisa membuat sebuah film tanpa embel-embel konspirasi.

Tentu saja film Stone yang bertema ”non-politis” seperti The Doors (1991) atau Any Given Sunday (1999) dan beberapa film lainnya tidak selalu berbau konspirasi. Tetapi film Oliver Stone yang menampilkan nasib sosok (mantan) Presiden AS seperti JFK (1991) atau Nixon (1995) atau politik AS seperti Born of the Fourth of July (1989) bukan cuma memperlihatkan kemarahan yang berkesudahan, tetapi juga ”imajinasi” yang ke sana-kemari, yang mungkin menghibur bagi penonton; tapi sangat tak mengesankan bagi para sejarawan yang berpegang pada presisi dan akurasi. Yang jelas, setiap kali kita menyaksikan film karya Oliver Stone, kita merasakan ketegangan sang sineas; bukan ketegangan di dalam film. Seolah dosa Amerika yang tak cukup memenuhi neraka itu cuma ditanggung sendirian oleh dia.

Nah, film W ini tampak dibuat dengan sikap dan santai. Bahkan justru karena seluruh dunia seolah bersepakat mencerca Presiden AS yang berprestasi terburuk itu, Oliver Stone malah dengan sedikit simpati memperlihatkan: Saudara-saudara, dia memang tidak cerdas, jadi kalau segalanya jadi brengsek, itu salah yang memilih!

Stone melakukan kilas balik Bush ”masa kini” ketika dia sudah menjadi presiden dan menghadapi kehidupan pasca-9/11 dan periode Bush sebagai mahasiswa Universitas Yale pada 1960-an ketika dia menjadi anak lelaki manja yang segala tingkah laku­nya yang bodoh selalu ditutupi ayahnya, George Bush senior (James Cromwell).

Bolak-balik kedua periode ini berkaitan dan menjelaskan mengapa George muda yang tidak cerdas—yang bahkan masuk Universitas Harvard untuk S2-nya pun harus menggunakan nama besar ayahnya—dan sukar melepas diri dari alkohol itu. Di Texas, George sama saja seperti anak-anak orang kaya lainnya: manja, hidup dari fasilitas orang tuanya, memiliki kemampuan dan otak yang terbatas, dan menghabiskan waktu minum bir dan mengejar perempuan.

Tidak mengherankan bila sang ayah selalu lebih menjagokan anak lelaki satunya, Jeb Bush, untuk mengikuti­ langkah politiknya. Dan sepanjang hidupnya inilah, George Bush yang—karena ”keuntungan”, ”kebetulan”, dan segala dewi lainnya—justru terpilih sebagai presiden terlihat selalu membutuhkan pengakuan sang ayah.

”Keterbatasan” Bush terlihat paling jelas setiap kali dia mengadakan rapat di Oval Office dengan timnya, terutama jika sang Wakil Presiden Dick Cheney (dimainkan dengan cemerlang oleh Richard Dreyfuss). ”Iran is not Iraq, Iraq is not Iran…. I knew that….” kata George Bush dengan sok tahu sembari mengangkat kaki ke atas meja. Kita tak tahu apakah Presiden betulan bertingkah seperti itu, tapi dengan kalimat terkemuka itu, film ini menjadi komedi situasi terbesar tahun ini.

Josh Brolin memerankan Bush dengan luar biasa. Meski secara fisik Brolin agak sukar menyembunyikan ke­tampanan dan tubuhnya yang jauh lebih tinggi daripada Bush asli, toh dia berhasil ”masuk”—bukan hanya meniru—ke tubuh Bush. Bahasa tubuh Bush hingga cara dia berbicara—sembari mengunyah makan siangnya—itu membuat penonton percaya bahwa mereka tengah menyaksikan Bush, bukan Brolin yang sedang memerankan Bush. Apalagi sutradara Stone kini menahan diri untuk tidak menjejali sikapnya yang ekstrem atau kecenderungannya untuk pedantik. Filmnya nyaris seperti sebuah dokumentasi yang bertutur dengan asyik yang diperankan oleh aktor-aktor yang berkelas.

Richard Dreyfuss sebagai Wakil Presiden Dick Cheney yang menjengkelkan dan sok senior itu malah semakin membuat kita ”bersim­pati” pada Bush, bahwa sebetulnya sosok Bush adalah orang yang salah di tempat yang penuh tanggung jawab. Mengapa anak manja yang sama sekali tak cerdas itu bisa menjadi presiden, itu cuma orang Amerika yang tahu, dan yang harus bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Ketika akhirnya Bush merasa buntu tentang persoalan masuknya Amerika ke Irak—dengan alasan WMD yang sebetulnya sama sekali tak terbukti itu—hari-hari akhir Bush sudah terhitung.

Karena Stone tampak santai dan tidak sibuk menjejalkan ide-idenya, mungkin inilah film Stone yang paling enak ditonton dan berhasil menghibur.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus