Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Satu Baris

16 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yusi Avianto Pareanom
  • Penulis

    Para caleg semestinya belajar dari seniman grafiti truk. Yang disebut belakangan ini pintar memanfaatkan ruang terbatas untuk membuat slogan yang renyah. Walau norak dan kadang absurd, apa yang mereka tuliskan di bak truk lucu dan menghibur: Dian Sastro, lolos gadismu, jangan harap jandamu; tilas tapi raos (bekas orang tapi masih sedap juga), pra-one new-sony (perawan menyusui), dan masih banyak lagi.

    Slogan para caleg? Nyaris semuanya seragam dan membosankan. Jika lambang partai dihilangkan dari pos­ter-poster itu, orang tak bakal bisa mem­bedakan si A atau si B berasal dari partai mana. Selain menderetkan gelar akademis dan memuji diri sendiri sebagai sosok jujur, bersih, lagi tepercaya, caleg biasanya juga mengaku sebagai penyambung lidah­ rakyat. Sedikit perbedaan, caleg mu­da meminta diberi kesempatan, sementara caleg senior menyatakan diri sudah berpengalaman. Ada juga yang merasa belum mantap bila belum mencantumkan frasa ini, ”mohon doa restu”. Mirip pengantin ­sunat.

    Membuat pernyataan satu baris, baik itu berupa slogan, tag line, atau one-liner memang tak gampang. Agar bisa nendang, satu baris mesti gampang diingat, terlihat secara tegas keunggulannya (bila jualan produk), bunyinya terdengar enak, tak terduga-duga, dan syukur-syukur lucu. Di sinilah tantangannya.

    Bagi para pekerja kreatif, pernyataan satu baris adalah makanan sehari-hari. Tak mengherankan bila beberapa karya mereka membekas di benak dan bahkan menjadi idiom percakapan sehari-hari. Contohnya, iklan sebuah organ yang berbunyi ”gengsinya dong”, atau iklan kursi ”kalau sudah duduk lupa berdiri”. Tag line film juga banyak yang menjadi populer, semisal ”The truth is out there” dari The X-Files.

    Penulis Oscar Wilde membuat pernyataan satu baris yang dahsyat saat tiba di Amerika Serikat untuk pertama kalinya pada 1822. Di depan petugas pabean, ia berkata, ”I have nothing to declare except my genius.” Para aktor komedi juga jago untuk urusan ini. Rodney Dangerfield, misalnya, pernah bilang begini, ”If sex is pain in the ass, then you’re doing it wrong.”

    Di panggung politik, pernyataan satu baris yang berupa slogan sering menanggung beban. Si po­li­tikus takut ci­tranya turun ji­ka tidak mema­kai kata-kata gagah. Ini tak terbatas di Indonesia. Di Amerika Se­ri­kat, misalnya, slogan kam­panye acap kali biasa saja: Yes We Can! (Obama)—meski slogan ini berhasil menggerak­kan masyarakat Amerika; Country First (John McCain), atau Compas­sionate Conservatism (George W. Bush). Namun, tidak selalu demikian kasusnya. Ketika petani kacang Jimmy Carter maju mencalonkan diri, ia memilih slogan Not Just Peanuts, sementara Ross Perot dengan yakin memakai kata-kata berirama Ross for Boss.

    Menurut saya, slogan kampanye yang lumayan segar di Indonesia dibuat oleh tim Fauzi Bowo saat pemilihan Gubernur DKI beberapa waktu yang lalu: ”Serahkan (ke)pada Ahlinya” dan ”Coblos Kumisnya”. Slogan pertama sangat tegas mengatakan bahwa produk atau jago yang dijual benar-benar ahli. Slogan kedua lebih ciamik lagi. Kumis yang lazimnya diasosiasikan dengan wibawa atau keangkeran, dengan enak dipersilakan dicoblos. Apakah si Kumis betul-betul ahli atau tidak, itu persoalan lain. Tetapi dua slogan itu menancap di ingatan dan jauh lebih nonjok ketimbang milik lawannya, ”Benahi Jakarta”.

    Hanya, saya curiga keberhasilan slogan Fauzi Bowo adalah kebetulan belaka. Bukti­nya bisa kita lihat sendiri dari ribuan poster dan spanduk yang sekarang bikin perih mata. Saya berani bertaruh, slogan para caleg itu tak ada yang mengundang selera. Kata-kata yang dipilih selalu saja standar. Padahal, banyak cara lain untuk mengatakan ”bersih”, misalnya. Ambil saja, ”takut korupsi”, ”tidak berbakat koruptor”, atau ”korupsi sudah basi”.

    Saya akan sangat senang sekira­nya mempunyai pemimpin yang pintar ber-satu baris. Untuk tahun ini memang tak bisa diharapkan. Setidaknya saya punya kelegaan tersendiri dengan makin mendekatnya hari pemilihan. Polusi slogan asal bunyi bakal berhenti. Hore.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus