JAKARTA yang basah dan bersuasana banjir-banjir, malam Minggu 17
Januari agak necis. Setelah seharian kuyup, -- di langit tampak
bulan samar-samar saja. Tetapi ini cukup menggerakkan pencinta
Koes Plus dan Oma Irama ke pagar besi Istora Senayan. Mencari
akal bagaimana menonton grup kesayangan mereka tanpa membeli
karcis. Maka sebagaimana biasanya para petugas cukup sibuk,
sementara para tukang catut rupanya tak berhasil menjual karcis
VIP yang berharga Rp 3000 -- meski telah dilorotkan harganya
jadi Rp 1000. Bahkan karcis yang harganya Rp 1000 sendiri sudah
sulit ditawarkan dengan harga Rp 750 atau Rp 500, padahal
seperempat jam lagi acara mulai. Malam itu,mengenakan stelan
hitam grup Koes Plus masih tetap menunjukkan dirinya sebagai
grup pujaan. Sejak lagu pertama -- Laguku Sendiri -- yang
disusul kemudian oleh lagu Ayah, Hatimu dan Hatiku, Mawar Bunga,
Maria -- penonton mendengarkannya dengan setia dan senang.
"Terus-terus!" teriak mereka dengan manja, tak peduli Tony yang
menjadi juru bicara kadangkala memperlakukan mereka sebagai
anak-anak. Maklumlah malam musik yang didalangi oleh Metro 77
itu bertema "Malam Dana Pemberantasan Narkotika". Sehingga Tony
kadangkala perlu juga menerangkan betapa berbahayanya morphin
yang disalah gunakan. Untunglah Yon dan Yok malam itu memang
padu, sementara musik mereka berhasil ditampilkan dengan mantap.
Protes Sandal
Yang menderita pertama kali adalah kelompok Andarinyo yang
melompat sesudah -- Koes Plus menyelesaikan tugasnya. Walaupun
petikan gitar dan gempuran tamburnya penuh dengan semangat,
ditambah dengan tampilan kribo Melky Goeslaw yang akhir-akhir
ini namanya menanjak -- toh mereka disoraki: "Turun . . . turun
. . . jelek!" Melky berusaha untuk tenang dan membalikkan
suasana dengan mengajak penonton bergoyang mengikuti
kebolehannya. Tetapi biduan yang berbusana seronok, jas merah
berkembang leher ini tak bisa menahan lebih dari 2 lagu. Suasana
tak bisa lagi dikuasainya. Bahkan rombongan pelawak yang bernama
"Bintang Betawi" pimpinan Hengky yang cukup komersiil tampangnya
itu, tak bisa juga menolong mengembalikan suasana. Mereka
bukannya berhasil mengocok perut penonton, mereka sendirilah
yang kemudian merasa diplonco. Habis lawakannya yang mirip
kuliah bahaya narkotik itu memang lebih bersifat nasehat-nasehat
daripada dagelan. 'Tidak sampai setengah jam masuk, kita
buru-buru turun, ketimbang nanti disuruh turun", kata salah
seorang dari mereka.
Korban berikutnya adalah jago pemetik okulele dari tahun 50-an
Mengenakan kemeja batik seperti Hugeng laiknya -- Tjok de Fretes
yang berusia tua tetapi kukuh mencoba mengingatkan kembali bahwa
dialah generasi pertama Hawaian Combo di Republik ini. Di
sampingnya adalah Wanda, biduanita yang molek seperti Henny
Purwonegoro. Kulitnya kuning langsat, pendeknya siip -- tetapi
penonton rupanya begitu ganas. Mereka abaikan kecantikan Wanda,
mereka sia-siakan okulele Tjok yang tangkas, mereka terlalu
sibuk memprotes dengan teriakan: 'Jelek, jelek, turunnnn!" Tjok
mencoba tidak peduli,sebagaimana layaknya seorang seniman yang
teguh. Iapun mulai menunjukkan giginya. Ia ambil selembar kain,
ia tutupkan itu di matanya dan ia terus memetik okulele dengan
segala kejagoannya. Tetapi malang, bukannya keplok yang dia
terima, tetapi sebuah sandal yang dilemparkan oleh seorang anak
tanggung ke atas panggung. Seorang anak yang lain, yang duduk di
deretan depan, ikut serta mengucapkan protes dengan meluluskan
sepatu olahraganya. Bagaikan tentara yang nekat dia lemparkan
alas kaki itu -- melesat di udara menimpa tubuh aduhai Wanda.
Barulah Tjok sadar dan membuka tutup mata -- lantas cepat-cepat
bergegas turun. Habis mau apa lagi. Ini bukan persoalan mutu
musik, tapi kebutuhan selera yang lain. Padahal kabar-kaburnya
Tjok inilah yang mau ditampilkan -- bersama orkes Melayu Soneta.
Maka malam musik itupun segera menjadi milik Oma Irama --
sekarang ini sudah Haji. Biduan Melayu yang mulai kariernya
sebagai pembawa lagu-lagu Beatles ini, bermula hanya dicanangkan
sebagai memancing publik saja maklum lagu-lagunya menyebar luas
pada masa ini. Tak tahunya justru penampilannya menyebabkan
publik menampik total yang ]ain-lain -- kecuali Koes Plus.
"Seluruh anggota Orkes Melayu Soneta yang seluruhnya muslimin,
mengucapkan Assalamualaikum", ujar Haji Oma sebagai salam buka
--justru tatkala beberapa penonton tua kelihatan meninggalkan
kursinya (protes juga rupanya). Beberapa orang tua lagi
diam-diam menembus pintu ke luar, membunyikan mesin mobilnya,
sementara Oma yang mengenakan jubah putih berkalung untaian
manik, memanaskan panggung dengan lagu yang anehnya berirama
naris "rok". "Begadang! Begadang!" teriak penonton pada biduan
yang kini rambutnya pendek tetapi janggut makin serem itu. Oma
tidak mengecewakan publik. Iapun menyanyikan lagu-lagu larisnya
yang lain yang bernama Penasaran. Tak lama kemudian ia berhasil
menggeser suasana rok itu ke suasana yang sentimentil. Maka
bergunalah petikan mandolin Nazir -- sehingga penonton seperti
diremas-remas. Tentu saja tidak semua. Tapi rata-rata penonton
duduk seperti kena pagut, sampai Oma segera lagi mengganti
suasana cengeng itu dengan berteriak: "One-two-three . . !" Dan
melemparkan lagu Dewa Amor. Lelaki yang mengaku berdakwah lewat
lagu-lagunya ini, ternyata mempunyai akal penampilan yang boleh
juga. Ia mengerti jiwa publik dan mengatur penampilannya
sehingga tidak sampai menjemukan. Apalagi lirik-lirik lagunya
memang lumayan. Belum lagi adanya Rita S. juara lagu pop Jawa
Tengah, yang dikirim ke panggung dengan celana panjang hijau
berkembang-kembang, sepatu tinggi, baju ketat, bibir merah dan
goyang pinggul yang wahai mak. "Jangan pegang dulu kalau belum
kenal . . ", nyanyinya dalam lagu berjudul Jangan Pegang Dulu.
Biduanita ini sedang dibina oleh Oma -- boleh saja disangka
sebagai calon pengganti Elvy Sukaesih yang entah kenapa tak
muncul malam itu. Juga muncul Lia Effendy, hitam kurus dengan
gaun panjang jambon, yang bernasib baik malam itu karena tidak
disuruh turun.
Tak terasa, manakala pertunjukan usai, bis kota sudah tak lewat
lagi. Tapi yang hebat, di samping motor dan mobil yang menunggu
pemiliknya malam itu, terlihat juga ada rombongan penonton yang
membawa bus sendiri. Bayangkan -- seperti kejadian di
pelosok-pelosok Nusantara ini -- di mana orang-orang kampung
datang pada hari-hari tertentu ke kota dengan bus carteran untuk
nonton "gambar hidup".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini