Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Oma oke, lainnya turun!

Malam dana pemberantasan narkotika yang disponsori metro 77 di istora senayan, menampilkan koes plus, andarinyo, tjok de fretes dan oma irama. penonton menyuruh turun para artis, kecuali koes dan oma. (ms)

31 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA yang basah dan bersuasana banjir-banjir, malam Minggu 17 Januari agak necis. Setelah seharian kuyup, -- di langit tampak bulan samar-samar saja. Tetapi ini cukup menggerakkan pencinta Koes Plus dan Oma Irama ke pagar besi Istora Senayan. Mencari akal bagaimana menonton grup kesayangan mereka tanpa membeli karcis. Maka sebagaimana biasanya para petugas cukup sibuk, sementara para tukang catut rupanya tak berhasil menjual karcis VIP yang berharga Rp 3000 -- meski telah dilorotkan harganya jadi Rp 1000. Bahkan karcis yang harganya Rp 1000 sendiri sudah sulit ditawarkan dengan harga Rp 750 atau Rp 500, padahal seperempat jam lagi acara mulai. Malam itu,mengenakan stelan hitam grup Koes Plus masih tetap menunjukkan dirinya sebagai grup pujaan. Sejak lagu pertama -- Laguku Sendiri -- yang disusul kemudian oleh lagu Ayah, Hatimu dan Hatiku, Mawar Bunga, Maria -- penonton mendengarkannya dengan setia dan senang. "Terus-terus!" teriak mereka dengan manja, tak peduli Tony yang menjadi juru bicara kadangkala memperlakukan mereka sebagai anak-anak. Maklumlah malam musik yang didalangi oleh Metro 77 itu bertema "Malam Dana Pemberantasan Narkotika". Sehingga Tony kadangkala perlu juga menerangkan betapa berbahayanya morphin yang disalah gunakan. Untunglah Yon dan Yok malam itu memang padu, sementara musik mereka berhasil ditampilkan dengan mantap. Protes Sandal Yang menderita pertama kali adalah kelompok Andarinyo yang melompat sesudah -- Koes Plus menyelesaikan tugasnya. Walaupun petikan gitar dan gempuran tamburnya penuh dengan semangat, ditambah dengan tampilan kribo Melky Goeslaw yang akhir-akhir ini namanya menanjak -- toh mereka disoraki: "Turun . . . turun . . . jelek!" Melky berusaha untuk tenang dan membalikkan suasana dengan mengajak penonton bergoyang mengikuti kebolehannya. Tetapi biduan yang berbusana seronok, jas merah berkembang leher ini tak bisa menahan lebih dari 2 lagu. Suasana tak bisa lagi dikuasainya. Bahkan rombongan pelawak yang bernama "Bintang Betawi" pimpinan Hengky yang cukup komersiil tampangnya itu, tak bisa juga menolong mengembalikan suasana. Mereka bukannya berhasil mengocok perut penonton, mereka sendirilah yang kemudian merasa diplonco. Habis lawakannya yang mirip kuliah bahaya narkotik itu memang lebih bersifat nasehat-nasehat daripada dagelan. 'Tidak sampai setengah jam masuk, kita buru-buru turun, ketimbang nanti disuruh turun", kata salah seorang dari mereka. Korban berikutnya adalah jago pemetik okulele dari tahun 50-an Mengenakan kemeja batik seperti Hugeng laiknya -- Tjok de Fretes yang berusia tua tetapi kukuh mencoba mengingatkan kembali bahwa dialah generasi pertama Hawaian Combo di Republik ini. Di sampingnya adalah Wanda, biduanita yang molek seperti Henny Purwonegoro. Kulitnya kuning langsat, pendeknya siip -- tetapi penonton rupanya begitu ganas. Mereka abaikan kecantikan Wanda, mereka sia-siakan okulele Tjok yang tangkas, mereka terlalu sibuk memprotes dengan teriakan: 'Jelek, jelek, turunnnn!" Tjok mencoba tidak peduli,sebagaimana layaknya seorang seniman yang teguh. Iapun mulai menunjukkan giginya. Ia ambil selembar kain, ia tutupkan itu di matanya dan ia terus memetik okulele dengan segala kejagoannya. Tetapi malang, bukannya keplok yang dia terima, tetapi sebuah sandal yang dilemparkan oleh seorang anak tanggung ke atas panggung. Seorang anak yang lain, yang duduk di deretan depan, ikut serta mengucapkan protes dengan meluluskan sepatu olahraganya. Bagaikan tentara yang nekat dia lemparkan alas kaki itu -- melesat di udara menimpa tubuh aduhai Wanda. Barulah Tjok sadar dan membuka tutup mata -- lantas cepat-cepat bergegas turun. Habis mau apa lagi. Ini bukan persoalan mutu musik, tapi kebutuhan selera yang lain. Padahal kabar-kaburnya Tjok inilah yang mau ditampilkan -- bersama orkes Melayu Soneta. Maka malam musik itupun segera menjadi milik Oma Irama -- sekarang ini sudah Haji. Biduan Melayu yang mulai kariernya sebagai pembawa lagu-lagu Beatles ini, bermula hanya dicanangkan sebagai memancing publik saja maklum lagu-lagunya menyebar luas pada masa ini. Tak tahunya justru penampilannya menyebabkan publik menampik total yang ]ain-lain -- kecuali Koes Plus. "Seluruh anggota Orkes Melayu Soneta yang seluruhnya muslimin, mengucapkan Assalamualaikum", ujar Haji Oma sebagai salam buka --justru tatkala beberapa penonton tua kelihatan meninggalkan kursinya (protes juga rupanya). Beberapa orang tua lagi diam-diam menembus pintu ke luar, membunyikan mesin mobilnya, sementara Oma yang mengenakan jubah putih berkalung untaian manik, memanaskan panggung dengan lagu yang anehnya berirama naris "rok". "Begadang! Begadang!" teriak penonton pada biduan yang kini rambutnya pendek tetapi janggut makin serem itu. Oma tidak mengecewakan publik. Iapun menyanyikan lagu-lagu larisnya yang lain yang bernama Penasaran. Tak lama kemudian ia berhasil menggeser suasana rok itu ke suasana yang sentimentil. Maka bergunalah petikan mandolin Nazir -- sehingga penonton seperti diremas-remas. Tentu saja tidak semua. Tapi rata-rata penonton duduk seperti kena pagut, sampai Oma segera lagi mengganti suasana cengeng itu dengan berteriak: "One-two-three . . !" Dan melemparkan lagu Dewa Amor. Lelaki yang mengaku berdakwah lewat lagu-lagunya ini, ternyata mempunyai akal penampilan yang boleh juga. Ia mengerti jiwa publik dan mengatur penampilannya sehingga tidak sampai menjemukan. Apalagi lirik-lirik lagunya memang lumayan. Belum lagi adanya Rita S. juara lagu pop Jawa Tengah, yang dikirim ke panggung dengan celana panjang hijau berkembang-kembang, sepatu tinggi, baju ketat, bibir merah dan goyang pinggul yang wahai mak. "Jangan pegang dulu kalau belum kenal . . ", nyanyinya dalam lagu berjudul Jangan Pegang Dulu. Biduanita ini sedang dibina oleh Oma -- boleh saja disangka sebagai calon pengganti Elvy Sukaesih yang entah kenapa tak muncul malam itu. Juga muncul Lia Effendy, hitam kurus dengan gaun panjang jambon, yang bernasib baik malam itu karena tidak disuruh turun. Tak terasa, manakala pertunjukan usai, bis kota sudah tak lewat lagi. Tapi yang hebat, di samping motor dan mobil yang menunggu pemiliknya malam itu, terlihat juga ada rombongan penonton yang membawa bus sendiri. Bayangkan -- seperti kejadian di pelosok-pelosok Nusantara ini -- di mana orang-orang kampung datang pada hari-hari tertentu ke kota dengan bus carteran untuk nonton "gambar hidup".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus