FILM Jepang yang tergolong paling belakangan mencapai
kemasyurannya, kini terbilang paling akhir mempertahankan
kecemerlangan itu. Bagi penonton yang cermat, film-film Jepang
secara tak terputus memberikan gambaran paling sempurna tentang
"manusia sepanjang sejarah perfilman dunia", tulis kritikus
Amerika, Donald Richie di tahun 1961. 10 tahun sebelumnya, dunia
untuk pertama kali dikejutkan oleh kenyataan yang disimpulkan
Richie itu. Di Cannes, Perancis, film Rashomon karya Akira
Kurosawa, memenangkan hadiah. Beberapa hadiah di gelanggang
festival dunia lainnya, kemudian menjadi paspor bagi film-film
Jepang untuk memasuki gedung-gedung bioskop diberbagai penjuru
angin.
"Apabila film Amerika kuat dalam adegan-adegan keras, film-fllm
Eropa masyhur dalam menonjolkan karakter, maka film-film Jepang
kaya dalam suasana pada penampilan tokoh-tokohnya dalam
lingkungan mereka sendiri. Hubungan manusia dan lingkungannya
itulah yang selalu menjadi tema pokok film-film Jepang",
tulisDonald Richie pula. Dan tidak syak lagi, inilah pula
rahasia terbukanya pasaran bagi film-film Jepang di Eropa dan
Amerika, negeri-negeri yang ulung dalam perfilman tapi toh ingin
melihat sesuatu yang lain.
Kemenangan Rasbomon di tahun 1951 sesungguhnya tidak amat
mengejutkan bagi mereka yang kenal sejarah perfilman Jepang. Di
negeri matahari terbit itu, Kinetoscope (alat peraga film
tertua) sudah muncul di tahun 1896. Dan bioskop pertama dibuka
di Tokyo pada tahun 1903, pada saat di Inggeris dan Amerika
gedung yang semacam bahkan belum direncanakan berdirinya.
Meskipun cuma memperlihatkan adegan gadis berdansa dan
pemandangan Ginza, tapi setahun kemudian, film pertama toh telah
lahir di Jepang. 10 tahun kemudian, karya Leo Tolstoy,
Resurrection, sudah difilmkan di Tokyo. Dan beberapa waktu
kemudian, sejumlah pemuda Jepang kemudian juga datang ke
Hollywood untuk belajar.
Dari Amerika ternyata bukan cuma teknik dan keterampilan yang
didatangkan ke Tokyo. Sistem produksi dengan monopoli
studio-studio besar kemudian juga muncul di Jepang. Di zaman
jaya-jayanya industri film Jepang, 6 perusahaan raksasa bisa
menghasilkan 500 film dalam setahunnya. Lewat produksi jumlah
besar inilah di tahun lima puluhan dunia berkenalan lebih akrab
dengan aktor Toshiro Mifune, Tetsuro Tamba, Tatsuya Nakadai,
Takashi Simura dan sutradara-sutradara macam Akira Kurosawa,
Yazujiro Ozu, Kenji Mizoguchi, Keisuke Kinoshita, Nagashi Oshima
dan banyak lagi. Sebagian besar dari nama-nama ini sebenarnya
bukan orang baru bagi dunia layar putih. Tokoh seperti Ozu,
misalnya, ia sudah termasyhur sebagai sutradara di negerinya
bahkan jauh sebelum perang Pasifik berkecamuk.
Sulit Menghindarkan Diri
Adalah pada zaman kejayaan macam itu para kritikus mengalami
kesukaran dalam memilih sepuluh atau lima belas film Jepang,yang
baik. "Terlalu banyak yang baik yang tidak bisa ikut dipilih",
kata seorang kritikus Jepang menggambarkan kemajuan film mereka
masa itu. Tapi seperti juga Amerika yang kemudian mengalami
kehancuran studio-studio besarnya di Hollywood, Jepang pun sulit
menghindarkan diri. Ketika lewat Kine Klub Dewan Kesenian
Jakarta, pekan silam, untuk kesekian kalinya publik
berkesempatan menikmati film-film Jepang yang bagus-bagus itu,
masa jaya yang menghasilkan tontonan itu sudah lama berlalu di
Tokyo. Ozu memang sudah meninggal, tapi Kurosawa sudah lama
tidak bikin film di negerinya dan dua tahun terakhir bekerja di
Siberia sebagai sutradara kontrakan Uni Soviet. Toshiro Mifune
kini menghabiskan waktunya bermain di luar negeri, demikian pula
Tetsuro Tamba dan Takakura Ken (ingat film Yakuza tempo hari?).
Sutradara Keisuke Kinoshita -- yang filmnya juga diputar di Kine
Klub pekan silam -- kini hanya bekerja di televisi.
Jatuhnya industri film di Jepang sebenarnya mirip juga ceritanya
dengan runtuhnya kerajaan-kerajaan film di Hollywood. Cuma saja
di Jepang, angin puyuh yang menghancurkan itu datangnya lebih
belakangan sedikit. Televisi, itu dulu memang penting. Mainan
baru yang memasuki rumah-rumah orang Jepang di tahun limapuluhan
itu tiba-tiba saja mengikat sejumlah besar orang untuk tidak
keluar rumah. Ketika mabuk televisi belum habis, ekonomi Jepang
yang cepat membaik, kemudian juga mencegah orang-orang ke
bioskop. Penghasilan yang lumayan membuat orang Jepang kini
sanggup mencari hiburan ke luar negeri. Dan kalau anda tahu
betapa besar jumlah orang dalam sebuah rombongan turis Jepang,
bisa dibayangkan kurangnya calon pembeli karcis bioskop itu.
Yang lebih menghancurkan dunia perfilman Jepang yang khas negeri
itu juga bukannya tidak ada. Sistim kerja dan promosi di Jepang
yang terkenal dengan sistim senioritas, menempatkan orang-orang
tua pada puncak kekuasaan. Sebagai contoh: Musashi Shimizu, 74
tahun. Orang ini sejak muda bekerja di Toho, perusahaan film
terbesar di Tokyo. Karena pangkatnya terus naik, beberapa tahun
silam ia jadi orang pertama di perusahaannya. Dan apa komentar
gaek ini terhadap film produksinya? "Saya tidak pernah melihat
film yang kita bikin itu". Shimizu dengan rendah hati mengakui
bahwa sikapnya itu memang kelihatan konyol. "Tapi saya bisa
menganalisa keadaan lewat laporan pemasukan dan pengeluaran.
Kalau sebuah film rugi, ya kita tidak bikin lagi. Itu tanda
tidak adanya bakat pembuatnya".
Tanpa Hubungan Batin
Sejumlah orang tua macam Shimizu inilah yang mempercepat
kehancuran industri film Jepang. Soalnya merek, tidak punya
hubungan batin dengan film. Mereka pedagang biasa saja. Maka
ketika televisi dan kemakmuran menjadi hantu bagi film Jepang,
orang-orang dagang macam Shimizu ini dengan cepat tidak
memperbaiki orientasi pembuatan fikn-filmnya melainkan mencari
jalan pintas: memindahkan modal mereka ke usaha tanah dan
bangunan gedung tempat main bowling, industri es krim serta
segala macam usaha-usaha yang sama sekali tidak ada sangkut paut
dengan dunia film.
Di Amerika Serikat pembuatan film tidak terlalu terganggu dengan
jatuhnya studio-studio besar, sebab pola baru pembuatan film:
produser independen dengan modal kecil, kini membuat film mereka
di berbagai penjuru Amerika. Studio-studio besar itu cuma
membeli dan kemudian mengedarkannya. Jepang lain pula soalnya.
Di sana semua bioskop menjadi milik studio-studio besar itu,
sehingga produser independen macam yang pernah juga dicoba oleh
Toshiro Mifwle, akhirnya berakhir dengan gagal. Contoh tragis
film The Island buatan produser independen Kaneto Shindo. Di
tahyn 1960, film itu memenangkan hadiah di Moskow. Baru setelah
di berbagai negara memperlihatkan hasil yang baik, kesempatan
terbuka baginya di Jepang .
Dalam keadaan amat payah semacam ini, Jepang secara mendadak
menjadi Denmark di Timur. Film-film porno bermunculan lewat
produser dan sutradara serta aktor-aktris tak terkenal. Sebagian
film-film ini bisa juga memasuki bioskop-bioskop kecil di
Jepang, tapi kebanyakan menjadi konsumsi bioskop-bioskop
pinggiran di Eropa dan Amerika sana.
Perkembangan terakhir di Jepang -- sebagaimana di berbagai
negeri maju di dunia anak-anak muda mulai benci televisi,
sementara orang tua kekurangan kesempatan bepergian lantaran
krisis perekonomian dunia setelah goncangan harga minyak yang
amat terasa di Jepang. Sesungguhnya goncangan minyak itu
mempunyai berkat yang besar terhadap industri film-film kita",
kata Shimizu dari Toho itu. "Kita kini sedang melihat makin
menaiknya jumlah pengunjung bioskop", tambahnya pula. Tapi
terhadap penonton yang berbalik ke layar-layar bioskop, jawaban
Shimizu adalah membuat film-film murah dalam ongkos dan mutu.
Pendekatan semacam ini di kalangan cendekiawan Jepang sudah
diperhitungkan hanya akan makin mendorong penonton di sana
hijrah ke film-film buatan luar negeri yang memang juga
membanjiri Jepang. Dan jika pemilikan atas bioskop itu masih
tetap juga di tangan studio-studio besar dengan modal
raksasanya, usaha para seniman Jepang untuk membuat film yang
baik tetap saja percuma. Dan ini pasti berarti bahwa masa jaya
film Jepang memlang sudah digantikan oleh masa larisnya Honda,
Toyota, Datsun dan Sanyo. Matahari terbit bagi film Jepang
pendek umurnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini