Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Matahari terbit (dan tebenam) ... matahari terbit (dan terbenam)...

Industri film di jepang mengalami kemunduran sejak adanya televisi. keadaan ekonomi yang stabil membuat orang jepang mencari hiburan ke luar negeri. produser film beralih membuat film porno yang murah. (fl)

31 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FILM Jepang yang tergolong paling belakangan mencapai kemasyurannya, kini terbilang paling akhir mempertahankan kecemerlangan itu. Bagi penonton yang cermat, film-film Jepang secara tak terputus memberikan gambaran paling sempurna tentang "manusia sepanjang sejarah perfilman dunia", tulis kritikus Amerika, Donald Richie di tahun 1961. 10 tahun sebelumnya, dunia untuk pertama kali dikejutkan oleh kenyataan yang disimpulkan Richie itu. Di Cannes, Perancis, film Rashomon karya Akira Kurosawa, memenangkan hadiah. Beberapa hadiah di gelanggang festival dunia lainnya, kemudian menjadi paspor bagi film-film Jepang untuk memasuki gedung-gedung bioskop diberbagai penjuru angin. "Apabila film Amerika kuat dalam adegan-adegan keras, film-fllm Eropa masyhur dalam menonjolkan karakter, maka film-film Jepang kaya dalam suasana pada penampilan tokoh-tokohnya dalam lingkungan mereka sendiri. Hubungan manusia dan lingkungannya itulah yang selalu menjadi tema pokok film-film Jepang", tulisDonald Richie pula. Dan tidak syak lagi, inilah pula rahasia terbukanya pasaran bagi film-film Jepang di Eropa dan Amerika, negeri-negeri yang ulung dalam perfilman tapi toh ingin melihat sesuatu yang lain. Kemenangan Rasbomon di tahun 1951 sesungguhnya tidak amat mengejutkan bagi mereka yang kenal sejarah perfilman Jepang. Di negeri matahari terbit itu, Kinetoscope (alat peraga film tertua) sudah muncul di tahun 1896. Dan bioskop pertama dibuka di Tokyo pada tahun 1903, pada saat di Inggeris dan Amerika gedung yang semacam bahkan belum direncanakan berdirinya. Meskipun cuma memperlihatkan adegan gadis berdansa dan pemandangan Ginza, tapi setahun kemudian, film pertama toh telah lahir di Jepang. 10 tahun kemudian, karya Leo Tolstoy, Resurrection, sudah difilmkan di Tokyo. Dan beberapa waktu kemudian, sejumlah pemuda Jepang kemudian juga datang ke Hollywood untuk belajar. Dari Amerika ternyata bukan cuma teknik dan keterampilan yang didatangkan ke Tokyo. Sistem produksi dengan monopoli studio-studio besar kemudian juga muncul di Jepang. Di zaman jaya-jayanya industri film Jepang, 6 perusahaan raksasa bisa menghasilkan 500 film dalam setahunnya. Lewat produksi jumlah besar inilah di tahun lima puluhan dunia berkenalan lebih akrab dengan aktor Toshiro Mifune, Tetsuro Tamba, Tatsuya Nakadai, Takashi Simura dan sutradara-sutradara macam Akira Kurosawa, Yazujiro Ozu, Kenji Mizoguchi, Keisuke Kinoshita, Nagashi Oshima dan banyak lagi. Sebagian besar dari nama-nama ini sebenarnya bukan orang baru bagi dunia layar putih. Tokoh seperti Ozu, misalnya, ia sudah termasyhur sebagai sutradara di negerinya bahkan jauh sebelum perang Pasifik berkecamuk. Sulit Menghindarkan Diri Adalah pada zaman kejayaan macam itu para kritikus mengalami kesukaran dalam memilih sepuluh atau lima belas film Jepang,yang baik. "Terlalu banyak yang baik yang tidak bisa ikut dipilih", kata seorang kritikus Jepang menggambarkan kemajuan film mereka masa itu. Tapi seperti juga Amerika yang kemudian mengalami kehancuran studio-studio besarnya di Hollywood, Jepang pun sulit menghindarkan diri. Ketika lewat Kine Klub Dewan Kesenian Jakarta, pekan silam, untuk kesekian kalinya publik berkesempatan menikmati film-film Jepang yang bagus-bagus itu, masa jaya yang menghasilkan tontonan itu sudah lama berlalu di Tokyo. Ozu memang sudah meninggal, tapi Kurosawa sudah lama tidak bikin film di negerinya dan dua tahun terakhir bekerja di Siberia sebagai sutradara kontrakan Uni Soviet. Toshiro Mifune kini menghabiskan waktunya bermain di luar negeri, demikian pula Tetsuro Tamba dan Takakura Ken (ingat film Yakuza tempo hari?). Sutradara Keisuke Kinoshita -- yang filmnya juga diputar di Kine Klub pekan silam -- kini hanya bekerja di televisi. Jatuhnya industri film di Jepang sebenarnya mirip juga ceritanya dengan runtuhnya kerajaan-kerajaan film di Hollywood. Cuma saja di Jepang, angin puyuh yang menghancurkan itu datangnya lebih belakangan sedikit. Televisi, itu dulu memang penting. Mainan baru yang memasuki rumah-rumah orang Jepang di tahun limapuluhan itu tiba-tiba saja mengikat sejumlah besar orang untuk tidak keluar rumah. Ketika mabuk televisi belum habis, ekonomi Jepang yang cepat membaik, kemudian juga mencegah orang-orang ke bioskop. Penghasilan yang lumayan membuat orang Jepang kini sanggup mencari hiburan ke luar negeri. Dan kalau anda tahu betapa besar jumlah orang dalam sebuah rombongan turis Jepang, bisa dibayangkan kurangnya calon pembeli karcis bioskop itu. Yang lebih menghancurkan dunia perfilman Jepang yang khas negeri itu juga bukannya tidak ada. Sistim kerja dan promosi di Jepang yang terkenal dengan sistim senioritas, menempatkan orang-orang tua pada puncak kekuasaan. Sebagai contoh: Musashi Shimizu, 74 tahun. Orang ini sejak muda bekerja di Toho, perusahaan film terbesar di Tokyo. Karena pangkatnya terus naik, beberapa tahun silam ia jadi orang pertama di perusahaannya. Dan apa komentar gaek ini terhadap film produksinya? "Saya tidak pernah melihat film yang kita bikin itu". Shimizu dengan rendah hati mengakui bahwa sikapnya itu memang kelihatan konyol. "Tapi saya bisa menganalisa keadaan lewat laporan pemasukan dan pengeluaran. Kalau sebuah film rugi, ya kita tidak bikin lagi. Itu tanda tidak adanya bakat pembuatnya". Tanpa Hubungan Batin Sejumlah orang tua macam Shimizu inilah yang mempercepat kehancuran industri film Jepang. Soalnya merek, tidak punya hubungan batin dengan film. Mereka pedagang biasa saja. Maka ketika televisi dan kemakmuran menjadi hantu bagi film Jepang, orang-orang dagang macam Shimizu ini dengan cepat tidak memperbaiki orientasi pembuatan fikn-filmnya melainkan mencari jalan pintas: memindahkan modal mereka ke usaha tanah dan bangunan gedung tempat main bowling, industri es krim serta segala macam usaha-usaha yang sama sekali tidak ada sangkut paut dengan dunia film. Di Amerika Serikat pembuatan film tidak terlalu terganggu dengan jatuhnya studio-studio besar, sebab pola baru pembuatan film: produser independen dengan modal kecil, kini membuat film mereka di berbagai penjuru Amerika. Studio-studio besar itu cuma membeli dan kemudian mengedarkannya. Jepang lain pula soalnya. Di sana semua bioskop menjadi milik studio-studio besar itu, sehingga produser independen macam yang pernah juga dicoba oleh Toshiro Mifwle, akhirnya berakhir dengan gagal. Contoh tragis film The Island buatan produser independen Kaneto Shindo. Di tahyn 1960, film itu memenangkan hadiah di Moskow. Baru setelah di berbagai negara memperlihatkan hasil yang baik, kesempatan terbuka baginya di Jepang . Dalam keadaan amat payah semacam ini, Jepang secara mendadak menjadi Denmark di Timur. Film-film porno bermunculan lewat produser dan sutradara serta aktor-aktris tak terkenal. Sebagian film-film ini bisa juga memasuki bioskop-bioskop kecil di Jepang, tapi kebanyakan menjadi konsumsi bioskop-bioskop pinggiran di Eropa dan Amerika sana. Perkembangan terakhir di Jepang -- sebagaimana di berbagai negeri maju di dunia anak-anak muda mulai benci televisi, sementara orang tua kekurangan kesempatan bepergian lantaran krisis perekonomian dunia setelah goncangan harga minyak yang amat terasa di Jepang. Sesungguhnya goncangan minyak itu mempunyai berkat yang besar terhadap industri film-film kita", kata Shimizu dari Toho itu. "Kita kini sedang melihat makin menaiknya jumlah pengunjung bioskop", tambahnya pula. Tapi terhadap penonton yang berbalik ke layar-layar bioskop, jawaban Shimizu adalah membuat film-film murah dalam ongkos dan mutu. Pendekatan semacam ini di kalangan cendekiawan Jepang sudah diperhitungkan hanya akan makin mendorong penonton di sana hijrah ke film-film buatan luar negeri yang memang juga membanjiri Jepang. Dan jika pemilikan atas bioskop itu masih tetap juga di tangan studio-studio besar dengan modal raksasanya, usaha para seniman Jepang untuk membuat film yang baik tetap saja percuma. Dan ini pasti berarti bahwa masa jaya film Jepang memlang sudah digantikan oleh masa larisnya Honda, Toyota, Datsun dan Sanyo. Matahari terbit bagi film Jepang pendek umurnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus