Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kompor Non Kredit

Kantor wilayah dep. perindustrian propinsi bali mem perkenalkan kompor untuk membakar bata sebagai pengganti kayu api. penduduk bali masih keberatan karena diperlukan modal sektiar Rp 300 ribu. (eb)

31 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BATU bata memang bahan bangunan yang penting. Bukan baru sekarang, melainkan sejak dulu kala. Di Bali misalnya, bangunan-bangunan kuno alias pura sudah lama menggunakan bata dengan kwalitas sangat baik. Namun sekarang ini, kwalitas bata yang dihasilkan perusahaan pembakaran bata dan genteng -- yang kebanyakan hanya kerja sambilan seusai panen -- agak nerosot. Itu sebabnya Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Propinsi Bali mencoba turun tangan melaksanakan pembinaan. Titik beratnya pada proses pembakaran bata mentah menjadi bata merah yang siap pakai untuk membangun rumah atau dijajakan di pinggir jalan. Ini dirasa mendesak, karena untuk pembakaran bata dan genteng sejak dulu dipakai kayu api. Dan itu merangsang petani yang berdomisili dekat hutan untuk mencari kayu api. Akibatnya mudah ditebak: penggundulan hutan meningkat. Apalagi majunya usaha pembakaran bata dan genteng kini ditambah dengan kerajinan tanah liat lainnya. Menyadari hal itu, Dinas Perindustrian memperkenalkan alat baru untuk membakar bata, genteng, dan sebangsanya. Yakni kompor raksasa. Alat ini praktis, bahan bakarnya bisa minyak tanah, bisa pula solar. Kampanye ala baru ini telah dilancarkan di 28 desa yang punya usaha pembuatan bata di 8 kabupaten di Bali. Para petugas Perindustrian mengetengahkan besarnya keuntungan kompor dibanding kayu api. Data mereka -- yang konon berdasarkan pengalaman -- menyebutkan keuntungan kompor per 12 ribu bata (sekali bakar) sebesar Rp 27 ribu. Sedang dengan kayu api hanya Rp 14 ribu. Hitungannya begini: harga 12 m3 kayu api Rp 21 ribu, sedang 4 drum minyak cuma Rp 16 ribu. Belum lagi gaji buruh waktu membakar. Dengan kayu api 3 orang buruh perlu bekerja selama 3 hari, sedang dengan kompor cukup 2 orang dalam waktu 18 jam. Ongkos huruh turun-naik ke tempat pembakaran Rp 7,2 ribu dan ongkos cetak bata mentah Rp 19 ribu per 12 ribu biji tentunya sama saja walau pakai apapun. Begitulah, selisih keuntungan sebesar Rp 13 ribu' ditambah penghematan waktu benar-benar ampuh untuk memperkenalkan alat baru yang untuk pertama kalinya didengar oleh para pengrajin bata. Sayangnya, penerimaan masyarakat terbentur pada harga kompor itu. Satu mata kompor harganya Rp 30 ribu, sedang satu unit pembakaran perlu 6 mata kompor. Juga membangun menara setinggi 5 meter untuk bahan bakar memerlukan setumpuk lembaran Sudirman. Modal Rp 200 sampai 300 ribu itu bukanlah hal mudah, sekalipun bagi pengrajin bata yang penghasilannya khusus dari sana. Pengrajin di kabupaten Klungkung misalnya, bukannya tidak ngiler buat memiliki kompor khasiat itu. Cuma uang belum ada. "Mau minta kredit ke bank, diminta jaminan tanah. Kalau punya tanah, kan tidak payah payah minta kredit, jual saja itu tanah. Namanya saja pinjam, kan karena tidak punya", gerutu seorang pengusaha bata di desa Banjarangkan yang tak jauh dari proyek penyuluhan Perindustrian. Belum begitu pasti, apa karena kesulitan modal membeli kompor atau karena sebab lain. Tapi kini santer isyu-isyu di masyarakat bahwa bata dan genteng yang dibakar dengan kompor tidak matang sampai ke dalam. Kalangan Perindustrian Bali membantah sas-sus itu dan balik menuduh supir truk sebagai penyebar isyu nlengingat para supir itu sering berfungsi sebagai perantara bata dan genteng. Namun Rachmat Suwoto, Kepala Kantor Wilayah Perindustrian di Denpasar tidak mau berpanjang-panjang soal tuduh-menuduh itu, tapi kepingin mengetuk pintu instansi lain agar ikut memperbaiki teknologi para pengrajin bata, sambil menyelamatkan hutan dari pencuri kayu api.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus