BATU bata memang bahan bangunan yang penting. Bukan baru
sekarang, melainkan sejak dulu kala. Di Bali misalnya,
bangunan-bangunan kuno alias pura sudah lama menggunakan bata
dengan kwalitas sangat baik. Namun sekarang ini, kwalitas bata
yang dihasilkan perusahaan pembakaran bata dan genteng -- yang
kebanyakan hanya kerja sambilan seusai panen -- agak nerosot.
Itu sebabnya Kantor Wilayah Departemen Perindustrian Propinsi
Bali mencoba turun tangan melaksanakan pembinaan. Titik beratnya
pada proses pembakaran bata mentah menjadi bata merah yang siap
pakai untuk membangun rumah atau dijajakan di pinggir jalan. Ini
dirasa mendesak, karena untuk pembakaran bata dan genteng sejak
dulu dipakai kayu api. Dan itu merangsang petani yang
berdomisili dekat hutan untuk mencari kayu api. Akibatnya mudah
ditebak: penggundulan hutan meningkat. Apalagi majunya usaha
pembakaran bata dan genteng kini ditambah dengan kerajinan tanah
liat lainnya.
Menyadari hal itu, Dinas Perindustrian memperkenalkan alat baru
untuk membakar bata, genteng, dan sebangsanya. Yakni kompor
raksasa. Alat ini praktis, bahan bakarnya bisa minyak tanah,
bisa pula solar. Kampanye ala baru ini telah dilancarkan di 28
desa yang punya usaha pembuatan bata di 8 kabupaten di Bali.
Para petugas Perindustrian mengetengahkan besarnya keuntungan
kompor dibanding kayu api. Data mereka -- yang konon berdasarkan
pengalaman -- menyebutkan keuntungan kompor per 12 ribu bata
(sekali bakar) sebesar Rp 27 ribu. Sedang dengan kayu api hanya
Rp 14 ribu. Hitungannya begini: harga 12 m3 kayu api Rp 21 ribu,
sedang 4 drum minyak cuma Rp 16 ribu. Belum lagi gaji buruh
waktu membakar. Dengan kayu api 3 orang buruh perlu bekerja
selama 3 hari, sedang dengan kompor cukup 2 orang dalam waktu 18
jam. Ongkos huruh turun-naik ke tempat pembakaran Rp 7,2 ribu
dan ongkos cetak bata mentah Rp 19 ribu per 12 ribu biji
tentunya sama saja walau pakai apapun. Begitulah, selisih
keuntungan sebesar Rp 13 ribu' ditambah penghematan waktu
benar-benar ampuh untuk memperkenalkan alat baru yang untuk
pertama kalinya didengar oleh para pengrajin bata.
Sayangnya, penerimaan masyarakat terbentur pada harga kompor
itu. Satu mata kompor harganya Rp 30 ribu, sedang satu unit
pembakaran perlu 6 mata kompor. Juga membangun menara setinggi 5
meter untuk bahan bakar memerlukan setumpuk lembaran Sudirman.
Modal Rp 200 sampai 300 ribu itu bukanlah hal mudah, sekalipun
bagi pengrajin bata yang penghasilannya khusus dari sana.
Pengrajin di kabupaten Klungkung misalnya, bukannya tidak ngiler
buat memiliki kompor khasiat itu. Cuma uang belum ada. "Mau
minta kredit ke bank, diminta jaminan tanah. Kalau punya tanah,
kan tidak payah payah minta kredit, jual saja itu tanah. Namanya
saja pinjam, kan karena tidak punya", gerutu seorang pengusaha
bata di desa Banjarangkan yang tak jauh dari proyek penyuluhan
Perindustrian.
Belum begitu pasti, apa karena kesulitan modal membeli kompor
atau karena sebab lain. Tapi kini santer isyu-isyu di masyarakat
bahwa bata dan genteng yang dibakar dengan kompor tidak matang
sampai ke dalam. Kalangan Perindustrian Bali membantah sas-sus
itu dan balik menuduh supir truk sebagai penyebar isyu
nlengingat para supir itu sering berfungsi sebagai perantara
bata dan genteng. Namun Rachmat Suwoto, Kepala Kantor Wilayah
Perindustrian di Denpasar tidak mau berpanjang-panjang soal
tuduh-menuduh itu, tapi kepingin mengetuk pintu instansi lain
agar ikut memperbaiki teknologi para pengrajin bata, sambil
menyelamatkan hutan dari pencuri kayu api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini