BEBERAPA tahun lalu, nama Imam Setyantono, Chaerul Umam,
sehari-hari dipanggil Mamang, identik dengan dubber (pengisi
suara) top suaranya yang bernada bariton itu, antara lain bisa
didengar lewat dialog pemeran kepala stasiun dalam film Koboi
Sutra Ungu. Kini ia menyandang predikat lain: sutradara
terkemuka. Baru saja melewati usia 40 tahun, April silam, Mamang
sudah magang untuk profesi sutradara sejak 10 tahun berselang.
Potensinya menyata dalam film Al-Kautsar (1977) dan Gadis
Marathon (1982). Kuat dugaan dalam FFI tahun ini, filmnya Titian
Serambut Dibelah Tujuh (TSDT) akan terpilih sebagai film
terbaik. Di rumahnya yang "sering kebanjiran kalau hujan",
sutradara kelahiran Tegal ini, pada suatu malam pekan silam,
berbincang santai dengan James Lapian dari TEMPO. Beberapa
petikan:
Mengapa Anda tertarik memfilmkan kembali TSDT?
Tahun 1973 saya membaca skenario TSDT di Sinematek dan menemukan
dua hal yang menarik. Pertama, plot cerita yang dipakainya
bergaya western yaitu plot linear. Kedua tema cerita
menyodorkan kritik sosial dalam masyarakat Islam.
Benarkah Anda mengubah skenario?
Perubahan pertama justru dilakukan Asrul Sani, penulisnya
sendiri. Perubahan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kembali
dengan perkembangan masyarakat. Kemudian, baru saya mengadakan
perubahan untuk skenario yang telah direvisi itu. Tapi sedikit,
sekitar 10-20%. Itu pun terbatas pada masalah interpretasi
terhadap skenario tersebut.
Adakah semata-mata pesan "kebatilan pasti kalah" yang ingin Anda
sampaikan lewat TSDT?
Tidak. Justru saya ingin mengetengahkan masalah "kepemimpinan",
tepatnya lagi, pudarnya keberanian untuk memimpin. Ini saya
ungkapkan melalui tokoh Ibrahim.
Kabut yang Anda hadirkan dalam TSDT, adakah dimaksudkan untuk
lebih memberi tekanan pada setting desa yang terpencil?
Kabut tidak punya hubungan dengan desa yang saya tempatkan
terpencil di sela-sela pebukitan. Kabut hanya metafora yang
melambangkan adanya selubung. Yakni selubung terhadap masalah
yang ditampilkan. Saya sendiri tidak tahu apa yang menyelubungi,
tapi saya sadar itu ada. Saya tidak menyalahkan Anda yang
melihat itu sebagai kabut.
Bagaimana dengan desa, simbol juga?
Kesederhanaan desa yang belum dijamah teknologi -- Anda bisa
langsung tahu ini
karena tidak adanya tiang listrik di sana sebenarnya
melambangkan republik kita ini. Untuk ini saya tidak memberi
warna lokal, karena desa seperti itu bisa ditemui di mana-mana.
Namun saya sadar untuk menghilangkan warna lokal juga sulit
sedangkan pengimbuhannya tidak selalu diharuskan.
Mengapa Anda cenderung pada Islam sebagai latar?
Karena itu yang paling saya ketahui. Kegagalan saya dalam
Sepasang Merpati karena saya tidak mengenal lingkungan yang jdi
landasan cerita. Demikian juga dengan Gadis Marathon yang
tertolong skenario (ditulis oleh Sjumaridjaya -- red.) yang
kuat. Kalau saja saya mengenal dunia olah raga, atletik
khususnya, film itu pasti lebih baik.
Adakah hal lain yang ingin Anda ungkapkan sehubungan dengan
penyutradaraan TSDT?
Ya. Saya bebas dari campur-tangan pihak produser (Dewan Film).
Berarti saya bertanggung jawab penuh atas buruk baiknya film
tersebut. Dan saya tidak bisa berlindung di balik alasan
"tekanan produser yang mengharuskan begini dan begitu."
* * *
Bupati Sosroningrat, yang dalam film R.A. Kartini diperankan
Wisnoe Wardhana, memang penuh dengan konflik. Sebagai seorang
bupati, ia sudah selayaknya patuh pada adat yang turun-temurun.
Misalnya saja, ia harus memasang tembok pemisah antara R.A.
Kartini, anaknya, dan Mas Ayu Ngasirah, ibu kandung Kartini.
Maka ketika Kartini di suatu hari kemudian meminta kepada
bapaknya agar ibu kandungnya diundang makan bersama, bisa
dibayangkan apa yang berkeaamuk dalam sanubarinya: antara
mempertahankan adat dan memenuhi tuntutan kemanusiaan anaknya.
Sosok yang penuh konflik itu ternyata dihadirkan oleh aktor
Wisnoe Wardhana dengan bagus. Apa resepnya? "Wah tak ada
resep-resepan, saya main, ya main begitu saja," kata penari yang
kini sedang menyiapkan disertasi di IKIP Yogyakarta.
Tapi memang ada yang dilakukan Wisnoe. Dengan tekun ia
mempelajari skenario Kartini selama setengah bulan. Ia pun
selama itu berusaha menghafal dialog-dialog yang harus
dilakukannya. Akhirnya muncul keyakinan dalam dirinya bahwa
"kehidupan Bupati Sosroningrat yang harus saya perankan tak jauh
berbeda dengan keluarga saya sendiri."
Wisnoe, memang dilahirkan di dalam dinding keraton Yogya, 1929.
Neneknya, Ratna Djuwita, dipersunting Sri Sultan Hamengkubuwono
VII. Peran Sosroningrat, kemudian dibawakannya dengan sangat
wajar. Boleh dikata suasana kejawaan Kartini terbentuk antara
lain berkat permainan Wisnoe.
Lelaki dengan tinggi 172 cm dan berat 72 kg itu bukan orang baru
dalam dunia film. Film pertamanya Roda Revolusi (1965) kemudian
ia sempat bermain dalam beberapa film. November 1828, dan
Al-Kautsar, antara lain. Diakuinya perannya dalam Kartini memang
menantang. Tak mengherankan bila ia berusaha keras untuk
membawakannya dengan baik.
Adapun Sjumandjaya, sutradara Kartini, menjatuhkan pilihan pada
Wisnoe karena "saya suka posturnya." Maksud Sjuman, "untuk
membawakan seorang bupati Jawa yang progresif saya kira yang
paling tepat ya Wisnoe." Sjuman telah rnengenal Wisnoe ketika
main dalam sandiwara, ketika ia menari, dan ketika ia main dalam
film.
Toh, bagi Wisnoe sendiri film Kartini tidak sepenuhnya
memuaskan. "Saya menyesal mengapa bukan suara saya sendiri dalam
film itu, tapi suara Maruli Sitompul," katanya kepada TEMPO.
Padahal kegagalan saya waktu dubbing, hanya karena saya belum
diberi kesempatan maksimal."
Tapi Sjuman punya pendapat sendiri: "Wisnoe seorang dalang juga,
yang disiplin dlalognya tidak tepat untuk keperluan dubbing.
Gara-gara suaranya diisi orang lain, sekalipun mainnya bagus,
maka Wisnoe tak berhak untuk mendapat Citra. Sayang, memang.
* * *
Bagi Dewi Irawan, anak pertama almarhum aktor Bambang Irawan,
perannya sebagai Halimah dalam Titian Serambut Dibelah Tujuh
memang baru. "Saya ingin mengubah gambaran bahwa saya cuma cocok
untuk peran gadis binal," katanya kepada TEMPO ketika ditemui di
Pusat Perfilman Usmar Ismail.
Aktris yang kini berusia 20 tahun ini mengaku membaca skenario
TSDT dengan tekun. Penafsirannya terhadap tokoh Halimah berubah
setelah pengambilan gambar dimulai. Mula-mula Dewi menafsirkan
si Halimah memang gila. "Tapi kemudian saya sadar bahwa Halimah
sebenarnya belum gila," kata Dewi. "Semua perilakunya untuk
menunjukkan bahwa ia sebenarnya tidak bersalah."
Atas dasar penafsiran itulah ia bermain dengan gemilang,
menandingi El Manik yang menjadi lawan mainnya.
Pengagum Jane Fonda ini pertama kali terjun dalam film pada usia
9 tahun, membawakan peran kecil dalam Hanya Satu Jalan (1972).
Selang dua tahun kemudian baru ia mendapat porsi agak besar
dalam film Belas Kasih yang disutradarai ayahnya.
Adakah Dewi memimpikan Citra? "Bukan Citra-nya yang penting,
tapi kontrak filmnya," kata mahasiswi Fakultas Ekonomi
Universitas Trisakti, Jakarta itu terus terang. "Untuk
ngebiayain sekolah gue."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini