Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Orang-orang pilihan

Wawancara tempo dengan sutradara imam setyantono chaerul umam tentang filmnya. titian serambut dibelah tujuh. (fl)

21 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA tahun lalu, nama Imam Setyantono, Chaerul Umam, sehari-hari dipanggil Mamang, identik dengan dubber (pengisi suara) top suaranya yang bernada bariton itu, antara lain bisa didengar lewat dialog pemeran kepala stasiun dalam film Koboi Sutra Ungu. Kini ia menyandang predikat lain: sutradara terkemuka. Baru saja melewati usia 40 tahun, April silam, Mamang sudah magang untuk profesi sutradara sejak 10 tahun berselang. Potensinya menyata dalam film Al-Kautsar (1977) dan Gadis Marathon (1982). Kuat dugaan dalam FFI tahun ini, filmnya Titian Serambut Dibelah Tujuh (TSDT) akan terpilih sebagai film terbaik. Di rumahnya yang "sering kebanjiran kalau hujan", sutradara kelahiran Tegal ini, pada suatu malam pekan silam, berbincang santai dengan James Lapian dari TEMPO. Beberapa petikan: Mengapa Anda tertarik memfilmkan kembali TSDT? Tahun 1973 saya membaca skenario TSDT di Sinematek dan menemukan dua hal yang menarik. Pertama, plot cerita yang dipakainya bergaya western yaitu plot linear. Kedua tema cerita menyodorkan kritik sosial dalam masyarakat Islam. Benarkah Anda mengubah skenario? Perubahan pertama justru dilakukan Asrul Sani, penulisnya sendiri. Perubahan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kembali dengan perkembangan masyarakat. Kemudian, baru saya mengadakan perubahan untuk skenario yang telah direvisi itu. Tapi sedikit, sekitar 10-20%. Itu pun terbatas pada masalah interpretasi terhadap skenario tersebut. Adakah semata-mata pesan "kebatilan pasti kalah" yang ingin Anda sampaikan lewat TSDT? Tidak. Justru saya ingin mengetengahkan masalah "kepemimpinan", tepatnya lagi, pudarnya keberanian untuk memimpin. Ini saya ungkapkan melalui tokoh Ibrahim. Kabut yang Anda hadirkan dalam TSDT, adakah dimaksudkan untuk lebih memberi tekanan pada setting desa yang terpencil? Kabut tidak punya hubungan dengan desa yang saya tempatkan terpencil di sela-sela pebukitan. Kabut hanya metafora yang melambangkan adanya selubung. Yakni selubung terhadap masalah yang ditampilkan. Saya sendiri tidak tahu apa yang menyelubungi, tapi saya sadar itu ada. Saya tidak menyalahkan Anda yang melihat itu sebagai kabut. Bagaimana dengan desa, simbol juga? Kesederhanaan desa yang belum dijamah teknologi -- Anda bisa langsung tahu ini karena tidak adanya tiang listrik di sana sebenarnya melambangkan republik kita ini. Untuk ini saya tidak memberi warna lokal, karena desa seperti itu bisa ditemui di mana-mana. Namun saya sadar untuk menghilangkan warna lokal juga sulit sedangkan pengimbuhannya tidak selalu diharuskan. Mengapa Anda cenderung pada Islam sebagai latar? Karena itu yang paling saya ketahui. Kegagalan saya dalam Sepasang Merpati karena saya tidak mengenal lingkungan yang jdi landasan cerita. Demikian juga dengan Gadis Marathon yang tertolong skenario (ditulis oleh Sjumaridjaya -- red.) yang kuat. Kalau saja saya mengenal dunia olah raga, atletik khususnya, film itu pasti lebih baik. Adakah hal lain yang ingin Anda ungkapkan sehubungan dengan penyutradaraan TSDT? Ya. Saya bebas dari campur-tangan pihak produser (Dewan Film). Berarti saya bertanggung jawab penuh atas buruk baiknya film tersebut. Dan saya tidak bisa berlindung di balik alasan "tekanan produser yang mengharuskan begini dan begitu." * * * Bupati Sosroningrat, yang dalam film R.A. Kartini diperankan Wisnoe Wardhana, memang penuh dengan konflik. Sebagai seorang bupati, ia sudah selayaknya patuh pada adat yang turun-temurun. Misalnya saja, ia harus memasang tembok pemisah antara R.A. Kartini, anaknya, dan Mas Ayu Ngasirah, ibu kandung Kartini. Maka ketika Kartini di suatu hari kemudian meminta kepada bapaknya agar ibu kandungnya diundang makan bersama, bisa dibayangkan apa yang berkeaamuk dalam sanubarinya: antara mempertahankan adat dan memenuhi tuntutan kemanusiaan anaknya. Sosok yang penuh konflik itu ternyata dihadirkan oleh aktor Wisnoe Wardhana dengan bagus. Apa resepnya? "Wah tak ada resep-resepan, saya main, ya main begitu saja," kata penari yang kini sedang menyiapkan disertasi di IKIP Yogyakarta. Tapi memang ada yang dilakukan Wisnoe. Dengan tekun ia mempelajari skenario Kartini selama setengah bulan. Ia pun selama itu berusaha menghafal dialog-dialog yang harus dilakukannya. Akhirnya muncul keyakinan dalam dirinya bahwa "kehidupan Bupati Sosroningrat yang harus saya perankan tak jauh berbeda dengan keluarga saya sendiri." Wisnoe, memang dilahirkan di dalam dinding keraton Yogya, 1929. Neneknya, Ratna Djuwita, dipersunting Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Peran Sosroningrat, kemudian dibawakannya dengan sangat wajar. Boleh dikata suasana kejawaan Kartini terbentuk antara lain berkat permainan Wisnoe. Lelaki dengan tinggi 172 cm dan berat 72 kg itu bukan orang baru dalam dunia film. Film pertamanya Roda Revolusi (1965) kemudian ia sempat bermain dalam beberapa film. November 1828, dan Al-Kautsar, antara lain. Diakuinya perannya dalam Kartini memang menantang. Tak mengherankan bila ia berusaha keras untuk membawakannya dengan baik. Adapun Sjumandjaya, sutradara Kartini, menjatuhkan pilihan pada Wisnoe karena "saya suka posturnya." Maksud Sjuman, "untuk membawakan seorang bupati Jawa yang progresif saya kira yang paling tepat ya Wisnoe." Sjuman telah rnengenal Wisnoe ketika main dalam sandiwara, ketika ia menari, dan ketika ia main dalam film. Toh, bagi Wisnoe sendiri film Kartini tidak sepenuhnya memuaskan. "Saya menyesal mengapa bukan suara saya sendiri dalam film itu, tapi suara Maruli Sitompul," katanya kepada TEMPO. Padahal kegagalan saya waktu dubbing, hanya karena saya belum diberi kesempatan maksimal." Tapi Sjuman punya pendapat sendiri: "Wisnoe seorang dalang juga, yang disiplin dlalognya tidak tepat untuk keperluan dubbing. Gara-gara suaranya diisi orang lain, sekalipun mainnya bagus, maka Wisnoe tak berhak untuk mendapat Citra. Sayang, memang. * * * Bagi Dewi Irawan, anak pertama almarhum aktor Bambang Irawan, perannya sebagai Halimah dalam Titian Serambut Dibelah Tujuh memang baru. "Saya ingin mengubah gambaran bahwa saya cuma cocok untuk peran gadis binal," katanya kepada TEMPO ketika ditemui di Pusat Perfilman Usmar Ismail. Aktris yang kini berusia 20 tahun ini mengaku membaca skenario TSDT dengan tekun. Penafsirannya terhadap tokoh Halimah berubah setelah pengambilan gambar dimulai. Mula-mula Dewi menafsirkan si Halimah memang gila. "Tapi kemudian saya sadar bahwa Halimah sebenarnya belum gila," kata Dewi. "Semua perilakunya untuk menunjukkan bahwa ia sebenarnya tidak bersalah." Atas dasar penafsiran itulah ia bermain dengan gemilang, menandingi El Manik yang menjadi lawan mainnya. Pengagum Jane Fonda ini pertama kali terjun dalam film pada usia 9 tahun, membawakan peran kecil dalam Hanya Satu Jalan (1972). Selang dua tahun kemudian baru ia mendapat porsi agak besar dalam film Belas Kasih yang disutradarai ayahnya. Adakah Dewi memimpikan Citra? "Bukan Citra-nya yang penting, tapi kontrak filmnya," kata mahasiswi Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta itu terus terang. "Untuk ngebiayain sekolah gue."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus