DARI 47 film yang disertakan untuk seleksi awal Festival Film
Indonesia (FFI) 1983 tcrcatat 18 film yang berbau kekerasan,
horor, dan mistik -- sekaligus menempati tempat teratas.
Setelah itu menyusul film drama dengan 16 judul. Sedang film
komedi, yang cuma 6 judul, berada di tempat ketiga.
Perimbangan ini tampak mengecewakan aktor Slamet Rahardjo.
Dikatakannya, film Indonesia hadir bukan sebagai karya seni,
tapi sebagai barang dagangan baru yang sifatnya tontonan
semata-mata. Pendapat yang dikemukakannya dalam sebuah diskusi
di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan silam, mendapat
tanggapan serius dari orang-orang film -- umumnya mereka kurang
setuju.
Adakah film harus tampil sebagai karya seni atau barang
dagangan? Ini bisa diperdebatkan sampai akhir zaman. Slamet
agaknya lupa bahwa film yang artistik baik juga bisa jadi barang
dagangan yang laris. Misalnya, Pejuang dan Krisis untuk kurun
1950-an - 1960-an, serta Perawan Desa dan Perempuan Dalam
Pasungan untuk periode awal 1980-an.
Bicara tentang produksi film nasional tahun ini ada dua hal
perlu dicatat: kuantitas merosot (tahun 1982: 70 judul) dan
adanya kecenderungan untuk menggali lebih jauh ke dalam sejarah
(R.A. Kartini, Walter Mongisidi) atau nyerempet sejarah (Rara
Mendut, Pak Sakerah, Lebak) ataupun mencari-cari ke alam mithos
(Nyi Blorong, Tangkuban Perahu, Jaka Tarub, Sangkuriang).
Melihat penuangan berbagai resep itu, tak salah jika sutradara
terkemuka Teguh Karya, menggerutu tentang tidak adanya film
action total, musikal total, atau drama total. Kendati demikian
masih ada beberapa film drama yang tidak sekadar gado-gado.
Misalnya, Titian Serambut Dibelah Tujuh, Di Balik Kelambu),
Neraca Kasih, Sorta, Bunga Bangsa, Amelia SH -- untuk menyebut
beberapa nama. TEMPO kali ini hanya membatasi pilihan pada tiga
film penting tahun 1983, tanpa maksud mengabaikan film-film lain
yang tergolong bermutu, juga tanpa niat mempengaruhi juri FFI
yang baru akan menyiarkan hasil penilaian mereka Minggu, 22
Mei.
TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH
Pemain: El Manik, Dewi Irawan
Slenario: Asrul Sani
Sutradara: Chaerul Umam
Dengan sedikit mengubah skenario -- atau ini mungkin juga
disebut penafsiran sutradara terhadap skenario -- Chaerul Umam
menampilkan TSDT dengan bagus. Adegan-adegan gawat yang sangat
mudah terjatuh menjadi vulgar, tidak saja diatasinya dengan
baik, justru membuat film ini sangat berkesan. Misalnya, adegan
Halimah (Dewi Irawan), dianggap gila oleh orang-orang kampung,
yang diambil secara paksa untuk dipasung. Juga adegan guru
mengaji Ibrahim (El Manik) yang ketakutan dikejar penduduk
kampung -- dengan gemetar ia membaca Ayat Kursi, sementara rumah
pondokannya digedor dan dilempari batu ditampilkan Chaerul
dengan baik.
Pun penggarapan Mamang, panggilan akrab Chaerul Umam, terhadap
tokoh Harun (Soekarno M. Noor) -- si penjudi kaya yang homo dan
penguasa kampung yang ditakuti -- benar-benar pas. Tak
berlebihan, namun cukup memberi kesan siapa Harun. Mungkin juga
karena tokoh ini bagi aktor sekaliber Soekarno, tidak terlalu
sulit untuk dibawakan.
Kerja sama Mamang dengan Dewi Irawan dalam film TSDT, yang
berbau keagamaan ini, sangat bagus. Dewi tampak dengan cermat
memerankan seorang gadis yang difitnah dan diteror orang-orang
sekampungnya. Adegan bagaimana ia menjadi shock dan kemudian
sehat kembali, perubahan watak yang bukan hal mudah untuk
dibawakan, dimainkannya dengan baik. Dari segi ini, agaknya
pantas bila Dewi mendapat predikat pemain utama wanita terbaik
kali ini. Tentu saja itu dimungkinkan karena penyutradaraan dan
skenario film ini, yang keduanya, menurut kami, pantas sebagai
unggulan utama tahun 1983.
RA. KARTINI
Pemain: Yenny Rachan, Wisnoe Wardhana, Nani Wijaya
Skenario/Sutradara: Sjumandjaya
Tidak asing, bahkan bagi murid TK sekalipun, sekarang R.A.
Kartini lebih diakrabkan lagi ke seluruh lapisan masyarakat
lewat film yang sejudul dengan namanya. Dan sutradara menggarap
tidak tanggung-tanggung: Kartini ditampilkan sejak lahir sampai
meninggal -- merangkum kurun waktu 26 tahun.
Mungkin baru kali ini tokoh sejarah nasional difilmkan
sedemikian utuh. Orang dalam mengatakan, film ini masa putar
aslinya empat jam, tapi sesudah melewati editing berat tinggal
tiga jam. Namun banyak penonton kecele karena pihak bioskop
telah mempersingkat masa putarnya belasan menit. Hingga, tentu
saja, ada bagian-bagian yang hilang.
Kalau ini benar, adakah hak seniman film untuk menuntut pemilik
bioskop? Editing tambahan semacam ini merupakan preseden
berbahaya yang perlu segera dicegah.
Masalah lain adalah soal missi yang terlalu membebani. Sutradara
bersiteguh untuk mengangkat buah pikiran dan renungan Kartini
yang terpusat pada proses pemiskinan moral dan materi di
kalangan pribumi Jawa. Akibatnya muncul kesulitan: bagaimana
menjalin kebesaran tokoh dengan kebesaran masalah. Aksentuasi
sutradara memang masih tetap pada tokoh, namun kesinambungan
jadi kurang terpelihara. Di film ini Yenny berusaha keras untuk
tidak hadir sebagai dirinya sendiri, tapi dia juga tidak nampak
mewakili Kartini.
Banyak kritik dilontarkan, misalnya, tentang beberapa hal kecil:
lafaz bahasa Jawa dan bahasa Belanda Yenny terdengar asing di
telinga, close up mata yang muncul berulang-ulang, penyambutan
massal kelahiran bayi Kartini, dan aureol untuk tokoh Kartini.
Semua ini cacat kecil yang mengurangi angka.
Tapi, di samping itu film R.A. Kartini juga punya beberapa
adegan bagus: protes bersila Sosrokartono yang berlanjut dengan
awal masa pingitan Kartini, dialog di pantai ketika Sosroningrat
memberi informasi tentang lamaran bupati, konflik Kartini dan
suaminya Djojoadiningrat.
Terlepas dari banyak kontroversi dan kelambanannya yang
menggelisahkan penonton di kursi, film ini cukup bertahan dan
selamat melewati minggu ke-3 yang gemilang. Jangan-jangan bisa
menandingi film terlaris Sjuman terdahulu: Kabut Sutra Ungu.
Dengan segala cacat kecilnya, film ini pantas dipujikan untuk
pemain pria terbaik (Wisnoe Wardhana sebagai bupati
Sosronigrat), pemain pembantu wanita terbaik (Nanny Widjaya
sebagai Ngasirah, ibu kandung Kartini) dan sinefotografi terbaik
(Soetomo Gandasubrata).
DI BALIK KELAMBU
Pemain: Slamet Rahardjo, Christine Hakim, Maruli Sitompul,
Nungki.
Skenario: Slamet Rahardjo, Teguh Karya
Sutradara: Teguh Karya.
Dengan judulnya yang komersial, plus adegan ranjang yang cukup
panjang dan sedikit erotis, film ini sama sekali tidak
menjajakan barang dagangan murahan. Sebaliknya lewat
gambar-gambar yang matang dan editing yang ketat, Di Balik
Kelambu terasa unik. Ia berhasil merampas segenap perhatian
untuk sebuah tema yang sebetulnya kurang meyakinkan, yakni
konflik menantu lawan bapak mertua dalam setting Jakarta yang
sangat tidak spesifik Jakarta.
Penonton yang waspada akhirnya akan mengetahui bahwa sutradara
bukan memfilmkan drama rumah tangga tapi mendramatisasi cekcok
keluarga. Kendati demikian Teguh tetap mempesona. Penonton
terpikat bukan karena simpati pada tokoh Leila atau Hasan, tapi
karena gambar-gambar yang menjerat, menggebu, dan menyeru-nyeru.
Christine Hakim, dan hampir semua pemain, tampil dengan baik.
Namun penokohan yang dipercayakan pada mereka terbatas untuk
pengembangan kemampuan berperan. Penyutradaraan Teguh sepenuhnya
terserap untuk gaya dan pemotretan bagus, bukan mewakili
penuturan cerita dalam segala dimensinya. Seluruh unsur telah
dikerahkan untuk penyampaian sebuah gaya, sebuah ekspresi,
hingga kreativitas terpusat di sana.
Di luar gaya itu, film ini boleh dipujikan untuk editing yang
ditangani secara meyakinkan oleh George Kamarullah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini