Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tiga sutradara tiga gaya

Tempo mempunyai tiga pilihan film pada ffi '83, yaitu: titian serambut dibelah tujuh, r.a. kartini, dan di balik kelambu.(fl)

21 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI 47 film yang disertakan untuk seleksi awal Festival Film Indonesia (FFI) 1983 tcrcatat 18 film yang berbau kekerasan, horor, dan mistik -- sekaligus menempati tempat teratas. Setelah itu menyusul film drama dengan 16 judul. Sedang film komedi, yang cuma 6 judul, berada di tempat ketiga. Perimbangan ini tampak mengecewakan aktor Slamet Rahardjo. Dikatakannya, film Indonesia hadir bukan sebagai karya seni, tapi sebagai barang dagangan baru yang sifatnya tontonan semata-mata. Pendapat yang dikemukakannya dalam sebuah diskusi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan silam, mendapat tanggapan serius dari orang-orang film -- umumnya mereka kurang setuju. Adakah film harus tampil sebagai karya seni atau barang dagangan? Ini bisa diperdebatkan sampai akhir zaman. Slamet agaknya lupa bahwa film yang artistik baik juga bisa jadi barang dagangan yang laris. Misalnya, Pejuang dan Krisis untuk kurun 1950-an - 1960-an, serta Perawan Desa dan Perempuan Dalam Pasungan untuk periode awal 1980-an. Bicara tentang produksi film nasional tahun ini ada dua hal perlu dicatat: kuantitas merosot (tahun 1982: 70 judul) dan adanya kecenderungan untuk menggali lebih jauh ke dalam sejarah (R.A. Kartini, Walter Mongisidi) atau nyerempet sejarah (Rara Mendut, Pak Sakerah, Lebak) ataupun mencari-cari ke alam mithos (Nyi Blorong, Tangkuban Perahu, Jaka Tarub, Sangkuriang). Melihat penuangan berbagai resep itu, tak salah jika sutradara terkemuka Teguh Karya, menggerutu tentang tidak adanya film action total, musikal total, atau drama total. Kendati demikian masih ada beberapa film drama yang tidak sekadar gado-gado. Misalnya, Titian Serambut Dibelah Tujuh, Di Balik Kelambu), Neraca Kasih, Sorta, Bunga Bangsa, Amelia SH -- untuk menyebut beberapa nama. TEMPO kali ini hanya membatasi pilihan pada tiga film penting tahun 1983, tanpa maksud mengabaikan film-film lain yang tergolong bermutu, juga tanpa niat mempengaruhi juri FFI yang baru akan menyiarkan hasil penilaian mereka Minggu, 22 Mei. TITIAN SERAMBUT DIBELAH TUJUH Pemain: El Manik, Dewi Irawan Slenario: Asrul Sani Sutradara: Chaerul Umam Dengan sedikit mengubah skenario -- atau ini mungkin juga disebut penafsiran sutradara terhadap skenario -- Chaerul Umam menampilkan TSDT dengan bagus. Adegan-adegan gawat yang sangat mudah terjatuh menjadi vulgar, tidak saja diatasinya dengan baik, justru membuat film ini sangat berkesan. Misalnya, adegan Halimah (Dewi Irawan), dianggap gila oleh orang-orang kampung, yang diambil secara paksa untuk dipasung. Juga adegan guru mengaji Ibrahim (El Manik) yang ketakutan dikejar penduduk kampung -- dengan gemetar ia membaca Ayat Kursi, sementara rumah pondokannya digedor dan dilempari batu ditampilkan Chaerul dengan baik. Pun penggarapan Mamang, panggilan akrab Chaerul Umam, terhadap tokoh Harun (Soekarno M. Noor) -- si penjudi kaya yang homo dan penguasa kampung yang ditakuti -- benar-benar pas. Tak berlebihan, namun cukup memberi kesan siapa Harun. Mungkin juga karena tokoh ini bagi aktor sekaliber Soekarno, tidak terlalu sulit untuk dibawakan. Kerja sama Mamang dengan Dewi Irawan dalam film TSDT, yang berbau keagamaan ini, sangat bagus. Dewi tampak dengan cermat memerankan seorang gadis yang difitnah dan diteror orang-orang sekampungnya. Adegan bagaimana ia menjadi shock dan kemudian sehat kembali, perubahan watak yang bukan hal mudah untuk dibawakan, dimainkannya dengan baik. Dari segi ini, agaknya pantas bila Dewi mendapat predikat pemain utama wanita terbaik kali ini. Tentu saja itu dimungkinkan karena penyutradaraan dan skenario film ini, yang keduanya, menurut kami, pantas sebagai unggulan utama tahun 1983. RA. KARTINI Pemain: Yenny Rachan, Wisnoe Wardhana, Nani Wijaya Skenario/Sutradara: Sjumandjaya Tidak asing, bahkan bagi murid TK sekalipun, sekarang R.A. Kartini lebih diakrabkan lagi ke seluruh lapisan masyarakat lewat film yang sejudul dengan namanya. Dan sutradara menggarap tidak tanggung-tanggung: Kartini ditampilkan sejak lahir sampai meninggal -- merangkum kurun waktu 26 tahun. Mungkin baru kali ini tokoh sejarah nasional difilmkan sedemikian utuh. Orang dalam mengatakan, film ini masa putar aslinya empat jam, tapi sesudah melewati editing berat tinggal tiga jam. Namun banyak penonton kecele karena pihak bioskop telah mempersingkat masa putarnya belasan menit. Hingga, tentu saja, ada bagian-bagian yang hilang. Kalau ini benar, adakah hak seniman film untuk menuntut pemilik bioskop? Editing tambahan semacam ini merupakan preseden berbahaya yang perlu segera dicegah. Masalah lain adalah soal missi yang terlalu membebani. Sutradara bersiteguh untuk mengangkat buah pikiran dan renungan Kartini yang terpusat pada proses pemiskinan moral dan materi di kalangan pribumi Jawa. Akibatnya muncul kesulitan: bagaimana menjalin kebesaran tokoh dengan kebesaran masalah. Aksentuasi sutradara memang masih tetap pada tokoh, namun kesinambungan jadi kurang terpelihara. Di film ini Yenny berusaha keras untuk tidak hadir sebagai dirinya sendiri, tapi dia juga tidak nampak mewakili Kartini. Banyak kritik dilontarkan, misalnya, tentang beberapa hal kecil: lafaz bahasa Jawa dan bahasa Belanda Yenny terdengar asing di telinga, close up mata yang muncul berulang-ulang, penyambutan massal kelahiran bayi Kartini, dan aureol untuk tokoh Kartini. Semua ini cacat kecil yang mengurangi angka. Tapi, di samping itu film R.A. Kartini juga punya beberapa adegan bagus: protes bersila Sosrokartono yang berlanjut dengan awal masa pingitan Kartini, dialog di pantai ketika Sosroningrat memberi informasi tentang lamaran bupati, konflik Kartini dan suaminya Djojoadiningrat. Terlepas dari banyak kontroversi dan kelambanannya yang menggelisahkan penonton di kursi, film ini cukup bertahan dan selamat melewati minggu ke-3 yang gemilang. Jangan-jangan bisa menandingi film terlaris Sjuman terdahulu: Kabut Sutra Ungu. Dengan segala cacat kecilnya, film ini pantas dipujikan untuk pemain pria terbaik (Wisnoe Wardhana sebagai bupati Sosronigrat), pemain pembantu wanita terbaik (Nanny Widjaya sebagai Ngasirah, ibu kandung Kartini) dan sinefotografi terbaik (Soetomo Gandasubrata). DI BALIK KELAMBU Pemain: Slamet Rahardjo, Christine Hakim, Maruli Sitompul, Nungki. Skenario: Slamet Rahardjo, Teguh Karya Sutradara: Teguh Karya. Dengan judulnya yang komersial, plus adegan ranjang yang cukup panjang dan sedikit erotis, film ini sama sekali tidak menjajakan barang dagangan murahan. Sebaliknya lewat gambar-gambar yang matang dan editing yang ketat, Di Balik Kelambu terasa unik. Ia berhasil merampas segenap perhatian untuk sebuah tema yang sebetulnya kurang meyakinkan, yakni konflik menantu lawan bapak mertua dalam setting Jakarta yang sangat tidak spesifik Jakarta. Penonton yang waspada akhirnya akan mengetahui bahwa sutradara bukan memfilmkan drama rumah tangga tapi mendramatisasi cekcok keluarga. Kendati demikian Teguh tetap mempesona. Penonton terpikat bukan karena simpati pada tokoh Leila atau Hasan, tapi karena gambar-gambar yang menjerat, menggebu, dan menyeru-nyeru. Christine Hakim, dan hampir semua pemain, tampil dengan baik. Namun penokohan yang dipercayakan pada mereka terbatas untuk pengembangan kemampuan berperan. Penyutradaraan Teguh sepenuhnya terserap untuk gaya dan pemotretan bagus, bukan mewakili penuturan cerita dalam segala dimensinya. Seluruh unsur telah dikerahkan untuk penyampaian sebuah gaya, sebuah ekspresi, hingga kreativitas terpusat di sana. Di luar gaya itu, film ini boleh dipujikan untuk editing yang ditangani secara meyakinkan oleh George Kamarullah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus