SEDERET jip dan truk tua parkir di pekarangan PPFN, Jatinegara,
Jakarta. Melihat inisial RPKAD, yang tertera di semua kendaraan
itu, ingatan melayang ke pasukan Baret Merah, 17 tahun silam.
Memang jip dan truk RPKAD adalah bagian dari momen-momen besar
dalam sejarah. Kini oleh PPFN momen-momen besar itu dipentaskan
kembali, antara lain, lewat film SOB (Sejarah Orde Baru), Kereta
api Terakhir, dan Serangan Fajar. "Untuk melestarikan sejarah
dan menanamkan nilai-nilai sejarah pada generasi muda," ucap
Direktur PPFN G. Dwipayana. Tapi ia keberatan jika ketiga film
tersebut disebut film sejarah, meski pengolahannya, seperti
diakuinya sendiri, benar-benar obyektif. Agaknya ia punya alasan
sendiri untuk berhati-hati.
Tapi Nyoo Han Siang, produser film November 1828, bersikap
sederhana saja. "Saya buat film sejarah dengan tujuan
mengenalkan sejarah Indonesia, untuk pendidikan, dan mengobarkan
semangat menghormati pahlawan," tuturnya. Ia, pengusaha sukses,
yang raganya rapuh karena diabetes, bertekad untuk terus membuat
film sejarah. "Mungkin nonton film sejarah orang tidak tertarik,
tapi saya akan membuatnya lagi, lagi, dan lagi."
Semangat Nyoo, 53 tahun, ibarat semangat pahlawan pantang
menyerah. Ada hal yang mengusik nuraninya, memang. "Saya heran,
dulu bendera bisa jadi persoalan bagi anak-anak sekolah.
Sekarang anak-anak itu berkelahi dan memecahkan kaca sekolah
sendiri. Itu bagaimana ...."
Untuk ini Nyoo mencari jawaban. Yang ditemukannya: film sejarah.
Baginya tidak terlalu penting aksentuasi harus diletakkan di
mana: pada tokoh, patriotisme, atau episode tertentu saja. Dan
jika ia bermaksud mengenalkan sejarah Indonesia, ini bisa
berarti banyak orang yang tidak mengenalnya. Siapa? Kalau bukan
anak-anak pemecah kaca itu, ya, barangkali kaum Cina perantauan,
puak dari mana Nyoo berasal.
Roy Marten, produser sekaligus pemeran utama film epik Wolter
Mongisidi merumuskan keinginannya secara lain. "Saya ingin orang
Indonesia tidak hanya mempelajari sejarah, tapi juga belajar
dari sejarah," katanya. Untuk tujuan itu, Roy Marten menanamkan
uang ratusan juta, dan dengan masa penggarapan film selama
tujuh bulan -- terlama sepanjang karirnya sebagai bintang film.
Itu pun dia merasa gagal.
Dan untuk pembuatan film R A. Kartini, (produsernya, antara
lain, PT Archipellago Film) menghabiskan Rp 800 juta. Sedangkan
sutradara Sjumandjaya kehilangan bobot 8 kg selamat delapan
bulan proses pembuatan.
Lain lagi Yenny Rachman, pemeran Kartini. Ia telah berjanji pada
diri sendiri tidak akan mau lagi memerankan tokoh sejarah. "Bagi
saya Kartini adalah film sejarah pertama sekaligus yang
terakhir," katanya. Ia menambahkan beban mental yang disandang
terlalu berat. "Kalaupun nanti ditawarkan memerankan tokoh
sejarah lagi, saya harus menerima kesepakatan terlebih dulu dari
seluruh rakyat Indonesia," ungkap Yenny prihatin.
Sejarah, dalam wujud rangkaian peristiwa atau tokoh, yang pernah
terjadi dan pernah hidup, memang dalam banyak hal menggiurkan
tapi juga menyuguhkan banyak tantangan. Industri film seperkasa
Hollywood mungkin tidak menghadapi kesulitan apa-apa untuk
mengangkat kembali kebesaran Musa, ketangguhan Ben Hur,
"keajaiban" Jean d'Arc atau kehebatan Jenderal Patton. Bahkan
Anda boleh memungut nama tokoh sejarah mana saja, agaknya tidak
ada yang luput dari jangkauan Hollywood.
Dalam menggarap sejarah, industri film itu konon bisa dikatakan
telah mengembangkan gayanya sendiri. Lewat gaya tersebut ia
telah menciptakan kembali sejarah -- kendati penuh dengan
hal-hal kecil yang tidak relevan, akting yang tidak dapat
dipujikan atau segi-segi dramatik yang amat terabaikan. Di luar
semua kelemahan itu, Hollywood terus menciptakan film kolosal
raksasa dalam biaya, jumlah pemain, dan tetek-bengek peralatan.
Apakah dengan demikian sejarah sudah berhasil diwujudkan sesuai
dengan peristiwa aslinya? R.Z. Leirissa, sejarahwan ahli Maluku,
berkata: "Film adalah film dan sejarah adalah sejarah."
Ia ingin menyatakan bahwa, adalah tidak wajar menuntut film
sejarah sebagai sama dan sebangun dengan sejarah itu sendiri.
Ini mustahil. Jadi kalaupun orang film di Indonesia, dengan
segenap keterbatasan teknik dan biaya, masih berani membuat film
sejarah, hara sebagai dianggap satu permulaan. Katakanlah gejala
yang menggembirakan.
Ditinjau dari pihak sineas, ikhwal terpikatnya mereka mudah
dijelaskan. Sejarah Indonesia adalah khazanah yang kaya dengan
ceriu yang otentik, tokoh yang siap pakai, alur yang jelas,
sesuatu yang serba besar. Sebaliknya, apa yang dicari produser?
Laba? Nyoo menghabiskan Rp 300 juta untuk November 1828 uang
diperolehnya kembali cuma Rp 200 juta. Toh ia tidak jera.
Nyoo sedang gandrung barangkali. Dewasa ini ia menganjurkan
Sjumandjaya bersiap-siap dengan film tentang Ki Hajar Dewantara
dan Chairil Anwar. Sementara Teguh Karya diminunya pula untuk
mencari lokasi bagi produksinya yang akan berjudul: Cut Nya'
Dhien. Nyoo sendiri riset ke Yoya dan Sala (persiapan Ki
Hajar), setelah lebih dulu menawarkan peran Cut Nya' Dhien pada
Herlina, Si Pending Emas.
Untuk peran Chairil diunggulkannya Rendra. "Tapi apakah dia
boleh main oleh pemerintah?" tanya Nyoo. Penyair Rendra, yang
belakangan ini banyak terlibat politik praktis, memang agak
kurang disukai pemerintah.
Seperti halnya Nyoo, juga Roy Marten terjun sendiri untuk riset.
Selain riset kepustakaan, juga melakukan riset lapangan. Untuk
persiapan film tentang Wolter Mongisidi, ia sampai tiga kali
pulang balik Jakarta-Sulawesi. Bahkan memesan dokumen-dokumen
tentang pahlawan nasional itu ke Belanda -- sayang datangnya
terlambat.
Penulis skenario film sejarah juga punya hambatan. Menurut Putu
Wijaya, yang membuat kerangka dasar skenario film Wolter
Mongisidi, ia dipesani macam-macam oleh pemerintah maupun
keluarga yang ikut dalam peristiwa di Sulawesi Selatan sesudah
kemerdekaan itu. Misalnya, ada bagian dari riwayat Wolter yang
tak boleh diceritakan. Takut menyinggung keluarga yang masih
hidup.
Keberatan tak cuma ditemui di sini. Di Pakistan, misalnya,
pemerintah dikabarkan melarang film Gandhi, yang memenangkan
delapan Oscar, diputar di negeri itu. Khawatir rakyat akan
protes keras terhadap penggambaran tokoh Ali Jinnah, pendiri
Pakistan, yang tak begitu menonjol dalam film tersebut.
Adapun Dwipayana yang memfilmkan sejarah untuk pendidikan
masyarakat (dalam rangka program pemerintah), Juga bersikap
waspada. Meski PPFN memanfaatkan sepenuhnya bahan-bahan yang
disediakan Pusa Sejarah ABRI, juga mengecek langsung ke para
pelaku yang masih hidup. Misalnya, orang-orang yang terlibat
pengeboman Salatiga atau penyerbuan Yogya untuk film Serangan
Fajar. "Dasar cerita dijadikan pegangan, hingga pembuatan film
tidak aneh-aneh," kata Dwipayana. Ia menambahkan obyekivitas
merupakan sasaran utama, karena itu ia perlu menegaskan
pagi-pagi semua film sejarah PPFN tidak akan pernah mungkin
menjadi alat propaganda.
Dan sama seperti Nyoo, Dwipayana untuk memilih pemeran tokoh
sejarah, titak merasa perlu terpatok pada suDerstar "Pembuatan
film sejarah di sini tidak perlu serba gemerlapan seperti
Hollywood. Bisa-bisa justru tidak sesuai dengan kenyataan
sejarah," ujarnya.
Sesudah persiapan yang rumit dan proses pembinaan yang
melelahkan, bagaimana nasib film sejarah di pasaran? "Laku
ditonton bukan tujuan utama," kata Dwipayana. Begitupun PPFN
bekerja sama dengan Departemen P&K untuk pemutaran film bagi
anak sekolah. Film November 1828 meski seret di Indonesia, laku
juga di Berlin dan Jepang (untuk siaran tv).
Tapi film R A. Katini yang menjadi topik diskusi Figur Sejarah
Dalam Film Indonesia yang diadakan majalah Zaman, nampaknya laku
keras. Hingga produser Widodo Sukarno dapat mengatakan: "Prospek
film sejarah baik, asalkan landasan perfilman nasional jangan
dirusak lagi dengan kebijaksanaan yang menghambat.
"Diingatkannya, film sejarah muncul karena tuntutan masyarakat
pada film berbobot.
Cuma sayang, banyak film itu kurang daya tarik, mungkin karena
pengolahannya kurang baik. Makanya kepada sutradara dituntut
agar menyalurkan keinginan masyarakat itu di samping menggali
bahan-bahan sejarah yang terkadang langka.
Nampaknya tuntutan terhadap sutradara tidaklah sesederhana yang
disebut Widodo. Mengapa? Kuntowijoyo, pengajar metodologi
sejarah pada Fakultas Sastra UGM, punya persyaratan. "Film
sejarah harus mampu mengetengahkan kebenaran faktual, dapat
menangkap semangat zaman, dan anachronismenya harus jelas pula,"
katanya. Ia keberatan fakta sejarah didramatisasi, khawatir
fakta itu melenceng nantinya.
Kuntowijoyo, sejarahwan yang juga penulis novel, mengambil
adegan Kartini meninggal sebagai contoh. "Tidak tragis,"
katanya, "seperti kematian orang agun saja." Khusus adegan ini,
yang jadi masalah agaknya bukan fakta, tapi interpretasi
sutradara. Sjuman telanjur mengagungkan Kartini hingga tidak
mungkin baginya membuat kematian pahlawan wanita itu biasa-biasa
saja. Apalagi yang tragis. Dan celakanya, Sjuman melukiskannya
berlebihan -- pakai aureol segala.
Menteri P&K Prof. Dr. Nugroho Notosusanto -- juga dikenal
sebagai seorang ahli sejarah Indonesia kontemporer --
menampilkan sebuah gagasan yang baik. "Kalau saya membuat film
sejarah," katanya serius "saya kumpulkan terlebih dahulu
sejarahwan dan seniman film. Di situ sejarahwan akan berfungsi
sebagai pemberi fakta dan seniman berfungsi sebagai pengolah
fakta untuk kemudian menuangnya dalam bentuk film."
Tapi untuk sampai kepada bentuk film, banyak ranjau harus
dilewati. Dan demi keselamatan, Prof. Sartono Kartodirjo,
pendekar sejarah pada UGM, menegaskan dua hal: Pertama, urutan
peristiwa harus dijaga tidak boleh diputar balik. Kedua, setting
sejarahnya harus terjaga, di samping kebenaran sejarahnya harus
tetap terpelihara.
Alasan Sartono tentu ada. Urutan peristiwa perlu ditinjau dari
segi edukatif. Kalau tidak urut, ya, film sejarah itu bisa
dianggap merusak. Setting penting, agar penonton bisa menyerap
masa lampau, utuh, suasana dan jiwanya. "Sebab jiwa zaman
Mataram lain dengan jiwa sekarang," tukas Sartono.
Perihal kebenaran sejarah, ini mutlak, dan tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Tapi, Sartono paham tuntutan itu berat dan
mahal. Sampai-sampai ia sendiri bertanya: "Apa masih mungkin
membuat film sejarah?"
Keraguan seperti itu tidak ditemukan pada Dr. Taufik Abduliah,
sejarahwan jebolan UGM, yang kemudian memperdalam ilmunya di
Cornell University, Amerika Serikat. Menurut Taufik, sebuah film
sejarah, apakah sekadar mengangkat cerita atau tokoh sejarah,
bisa saja dibuat asalkan tidak bertentangan dengan accepted
histoy. Pendapatnya ini diperkuat R.Z. Leirissa. Tapi apa itu
accepted history. Tidak lain sejarah berdasarkan fakta yang
ada. Contoh, Kartini yang putri bupati dengan selirnya tidak
bisa disulap menjadi putri seorang sultan Fakta ini tidak bisa
ditawar-tawar.
Taufik, yang senang menonton film-film sejarah, rupanya
memaklumi beban seorang sineas. Tidak heran kalau ia berkata:
"Dalam batas-batas tertentu seorang sineas boleh diberi
kebebasan menjadi (Muhammad) Yamin baru. Ia bebas mengembangkan
imajinasinya." Yamin, searahwan, adalah tokoh pembaru dalam
soal-soal sejarah nasional.
Menurut Taufik, yang terpenting dalam pembuatan film sejarah
adanya kesesuaian antara fakta dan makna yang ingin disampaikan.
Bahkan ia, begitupun Leirissa, tidak keberatan jika sejarah
kontemporer difilmkan (misalnya SOB). "Mengapa tidak?"
tantangnya. "Risiko memang ada, tapi kalau kita takut pada
risiko, maka tidak ada yang dapat kita kerjakan."
Lebih dari itu, untuk film sejarah, cara kompromi ataupun
romantisasi dianggapnya sah, sejauh itu tidak meninggalkan
kecermatan faktual. Tapi tak urung ia menyesalkan
ketidakcermatan sineas. Contoh: kehadiran Komandan Warouw dalam
film Janur Kuning sudah menyimpang dari sejarah. Menurutnya,
sesuai urutan peristiwa, waktu itu Warouw justru berada di Jawa
Timur. Sedang cerita film Janur Kuning berfokus pada peristiwa
di Jawa Tengah.
Terlepas dari persyaratan ilmu sejarah, yang bisa membuat para
sineas gentar bahkan buyar, baik Sartono maupun Taufik tidak
sampai tergelincir ke pandangan sempit. Sebaliknya, guru besar
UGM itu melihat kegunaan praktis yang bisa diperoleh dari film
sejarah. "Ia bisa menyadarkan masyarakat bahwa kita mempunyai
masa lampau yang diwarnai pergolakan. Juga bisa menghargai
perjuangan dan penderitaan masyarakat."
Dengan pernyataan ini, boleh dibilang, terciptalah titik temu
antara pemikiran seorang Sartono, seorang Nyoo Han Siang, dan
seorang Roy Marten. Di situ para sineas tidak lagi harus
dituntut, tapi mereka harus siap mental untuk berani menangkat
kebenaran faktual seraya menangkap semangae zaman. Dan di situ
pula para sejarahwan dapat menghargai kebebasan daya cipta
seniman film, -- dengan catatan dalam batas-batas yang sah dan
memungkinkan.
Arifin C. Noor, sutradara Serangan Fajar dan SOB, menerjemahkan
kondisi siap mental itu dalam tiga pendekatan yang dilakukannya
terhadap film sejarah: pendekatan kesejarahan, pendidikan, dan
keindahan. Ketiga pendekatan itu, menurut Arifin, bukan prosedur
mati, tapi larut menyatu, seperti lumrahnya proses penciptaan
seni. Resep Arifin ini bisa diuji penonton lewat film Serangan
Faiar atau SOB yang akan dibioskopkan Agustus depan.
Sejarahwan Abdurrahman Suryomihardjo, peneliti di Leknas-LIPI,
sementara itu mengungkapkan penghargaannya ke alamat sineas.
"Film sejarah masih merupakan karya seni," katanya. Dan suatu
karya seni lebih dari sekadar rekonstruksi sejarah. Ia lebih
memberikan gambaran yang hidup daripada karya tulisnya sendiri."
Berangkat dari pemahaman sejarah Arifin ataupun pemahaman
artistik Abdurrahman, pantas kalau dikatakan sejarahwan dan
seniman film harus saling mengisi. Tentu saja tanpa menutup
pintu untuk kritik karena film sebagai seni dan sejarah sebagai
ilmu (juga seni?) perlu tiap kali diuji, ditempa, disempurnakan.
Bagaimana seharusnya film sejarah dibuat? Apakah film sejarah,
kecuali sebagai tontonan, juga berperan dalam meningkatkan
kesadaran sejarah masyarakat? Film Janur Kuning, misalnya, oleh
Ashadi Siregar, novelis terkenal itu, dinilai gagal bahkan
sebagai pelajaran sejarah. "Karena faktanya berubah jadi
subyektif," kata Ashadi. Ia didukung oleh Indra Ariyani,
mahasiswi Fak. Biologi UGM. "Saya hanya melihat dar-der-dor
melulu. Tidak nampak kehebatan Pak Dirman (maksudnya: Jenderal
Sudirman) sebagai pahlawan."
Akan Ara Ruhara, mahasiswi tingkat terakhir Fak. Sospol UGM,
menyimpulkan begini, "Janur Kuning itu film perang bukan film
sejarah."
Jelas, komentar-komentar itu mewakili pandangan yang kritis.
Jelas pula sejauh yang menyangkut Janur Kuning terselip
keberatan agar film yang mutunya begitu tidak sampai terulang
lagi. Tapi paling jelas dari semua itu ialah kenyataan bahwa
film sejarah bukan saja tidak mudah membuatnya, tapi pihak
penonton pun, terkadang, bahkan sering menuntut terlalu muluk.
Lupa, kemampuan kita tidak seperberapanya Hollywood.
Tidak heran bila Sjuman jadi berang. Menurut sineas ini, film
sejarah kurang semangat bikinnya dan semangat modalnya.
"Biayanya besar, bikinnya ruwet, ngurus izinnya celaka, risetnya
lama ... waktu dilempar ke pasaran, nggak ada yang nonton."
Pahit, memang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini