Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tangan-tangan yang menyampaikan sejarah bisa jujurkah film sejarah kita?

Ffi 1983 masih kuat diwarnai film kekerasan, horor dan mistik, drama dan komedi menurun. film sejarah sedang mode dan berhasil secara komersial. (fl)

21 Mei 1983 | 00.00 WIB

Tangan-tangan yang menyampaikan sejarah
  bisa jujurkah film sejarah kita?
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEDERET jip dan truk tua parkir di pekarangan PPFN, Jatinegara, Jakarta. Melihat inisial RPKAD, yang tertera di semua kendaraan itu, ingatan melayang ke pasukan Baret Merah, 17 tahun silam. Memang jip dan truk RPKAD adalah bagian dari momen-momen besar dalam sejarah. Kini oleh PPFN momen-momen besar itu dipentaskan kembali, antara lain, lewat film SOB (Sejarah Orde Baru), Kereta api Terakhir, dan Serangan Fajar. "Untuk melestarikan sejarah dan menanamkan nilai-nilai sejarah pada generasi muda," ucap Direktur PPFN G. Dwipayana. Tapi ia keberatan jika ketiga film tersebut disebut film sejarah, meski pengolahannya, seperti diakuinya sendiri, benar-benar obyektif. Agaknya ia punya alasan sendiri untuk berhati-hati. Tapi Nyoo Han Siang, produser film November 1828, bersikap sederhana saja. "Saya buat film sejarah dengan tujuan mengenalkan sejarah Indonesia, untuk pendidikan, dan mengobarkan semangat menghormati pahlawan," tuturnya. Ia, pengusaha sukses, yang raganya rapuh karena diabetes, bertekad untuk terus membuat film sejarah. "Mungkin nonton film sejarah orang tidak tertarik, tapi saya akan membuatnya lagi, lagi, dan lagi." Semangat Nyoo, 53 tahun, ibarat semangat pahlawan pantang menyerah. Ada hal yang mengusik nuraninya, memang. "Saya heran, dulu bendera bisa jadi persoalan bagi anak-anak sekolah. Sekarang anak-anak itu berkelahi dan memecahkan kaca sekolah sendiri. Itu bagaimana ...." Untuk ini Nyoo mencari jawaban. Yang ditemukannya: film sejarah. Baginya tidak terlalu penting aksentuasi harus diletakkan di mana: pada tokoh, patriotisme, atau episode tertentu saja. Dan jika ia bermaksud mengenalkan sejarah Indonesia, ini bisa berarti banyak orang yang tidak mengenalnya. Siapa? Kalau bukan anak-anak pemecah kaca itu, ya, barangkali kaum Cina perantauan, puak dari mana Nyoo berasal. Roy Marten, produser sekaligus pemeran utama film epik Wolter Mongisidi merumuskan keinginannya secara lain. "Saya ingin orang Indonesia tidak hanya mempelajari sejarah, tapi juga belajar dari sejarah," katanya. Untuk tujuan itu, Roy Marten menanamkan uang ratusan juta, dan dengan masa penggarapan film selama tujuh bulan -- terlama sepanjang karirnya sebagai bintang film. Itu pun dia merasa gagal. Dan untuk pembuatan film R A. Kartini, (produsernya, antara lain, PT Archipellago Film) menghabiskan Rp 800 juta. Sedangkan sutradara Sjumandjaya kehilangan bobot 8 kg selamat delapan bulan proses pembuatan. Lain lagi Yenny Rachman, pemeran Kartini. Ia telah berjanji pada diri sendiri tidak akan mau lagi memerankan tokoh sejarah. "Bagi saya Kartini adalah film sejarah pertama sekaligus yang terakhir," katanya. Ia menambahkan beban mental yang disandang terlalu berat. "Kalaupun nanti ditawarkan memerankan tokoh sejarah lagi, saya harus menerima kesepakatan terlebih dulu dari seluruh rakyat Indonesia," ungkap Yenny prihatin. Sejarah, dalam wujud rangkaian peristiwa atau tokoh, yang pernah terjadi dan pernah hidup, memang dalam banyak hal menggiurkan tapi juga menyuguhkan banyak tantangan. Industri film seperkasa Hollywood mungkin tidak menghadapi kesulitan apa-apa untuk mengangkat kembali kebesaran Musa, ketangguhan Ben Hur, "keajaiban" Jean d'Arc atau kehebatan Jenderal Patton. Bahkan Anda boleh memungut nama tokoh sejarah mana saja, agaknya tidak ada yang luput dari jangkauan Hollywood. Dalam menggarap sejarah, industri film itu konon bisa dikatakan telah mengembangkan gayanya sendiri. Lewat gaya tersebut ia telah menciptakan kembali sejarah -- kendati penuh dengan hal-hal kecil yang tidak relevan, akting yang tidak dapat dipujikan atau segi-segi dramatik yang amat terabaikan. Di luar semua kelemahan itu, Hollywood terus menciptakan film kolosal raksasa dalam biaya, jumlah pemain, dan tetek-bengek peralatan. Apakah dengan demikian sejarah sudah berhasil diwujudkan sesuai dengan peristiwa aslinya? R.Z. Leirissa, sejarahwan ahli Maluku, berkata: "Film adalah film dan sejarah adalah sejarah." Ia ingin menyatakan bahwa, adalah tidak wajar menuntut film sejarah sebagai sama dan sebangun dengan sejarah itu sendiri. Ini mustahil. Jadi kalaupun orang film di Indonesia, dengan segenap keterbatasan teknik dan biaya, masih berani membuat film sejarah, hara sebagai dianggap satu permulaan. Katakanlah gejala yang menggembirakan. Ditinjau dari pihak sineas, ikhwal terpikatnya mereka mudah dijelaskan. Sejarah Indonesia adalah khazanah yang kaya dengan ceriu yang otentik, tokoh yang siap pakai, alur yang jelas, sesuatu yang serba besar. Sebaliknya, apa yang dicari produser? Laba? Nyoo menghabiskan Rp 300 juta untuk November 1828 uang diperolehnya kembali cuma Rp 200 juta. Toh ia tidak jera. Nyoo sedang gandrung barangkali. Dewasa ini ia menganjurkan Sjumandjaya bersiap-siap dengan film tentang Ki Hajar Dewantara dan Chairil Anwar. Sementara Teguh Karya diminunya pula untuk mencari lokasi bagi produksinya yang akan berjudul: Cut Nya' Dhien. Nyoo sendiri riset ke Yoya dan Sala (persiapan Ki Hajar), setelah lebih dulu menawarkan peran Cut Nya' Dhien pada Herlina, Si Pending Emas. Untuk peran Chairil diunggulkannya Rendra. "Tapi apakah dia boleh main oleh pemerintah?" tanya Nyoo. Penyair Rendra, yang belakangan ini banyak terlibat politik praktis, memang agak kurang disukai pemerintah. Seperti halnya Nyoo, juga Roy Marten terjun sendiri untuk riset. Selain riset kepustakaan, juga melakukan riset lapangan. Untuk persiapan film tentang Wolter Mongisidi, ia sampai tiga kali pulang balik Jakarta-Sulawesi. Bahkan memesan dokumen-dokumen tentang pahlawan nasional itu ke Belanda -- sayang datangnya terlambat. Penulis skenario film sejarah juga punya hambatan. Menurut Putu Wijaya, yang membuat kerangka dasar skenario film Wolter Mongisidi, ia dipesani macam-macam oleh pemerintah maupun keluarga yang ikut dalam peristiwa di Sulawesi Selatan sesudah kemerdekaan itu. Misalnya, ada bagian dari riwayat Wolter yang tak boleh diceritakan. Takut menyinggung keluarga yang masih hidup. Keberatan tak cuma ditemui di sini. Di Pakistan, misalnya, pemerintah dikabarkan melarang film Gandhi, yang memenangkan delapan Oscar, diputar di negeri itu. Khawatir rakyat akan protes keras terhadap penggambaran tokoh Ali Jinnah, pendiri Pakistan, yang tak begitu menonjol dalam film tersebut. Adapun Dwipayana yang memfilmkan sejarah untuk pendidikan masyarakat (dalam rangka program pemerintah), Juga bersikap waspada. Meski PPFN memanfaatkan sepenuhnya bahan-bahan yang disediakan Pusa Sejarah ABRI, juga mengecek langsung ke para pelaku yang masih hidup. Misalnya, orang-orang yang terlibat pengeboman Salatiga atau penyerbuan Yogya untuk film Serangan Fajar. "Dasar cerita dijadikan pegangan, hingga pembuatan film tidak aneh-aneh," kata Dwipayana. Ia menambahkan obyekivitas merupakan sasaran utama, karena itu ia perlu menegaskan pagi-pagi semua film sejarah PPFN tidak akan pernah mungkin menjadi alat propaganda. Dan sama seperti Nyoo, Dwipayana untuk memilih pemeran tokoh sejarah, titak merasa perlu terpatok pada suDerstar "Pembuatan film sejarah di sini tidak perlu serba gemerlapan seperti Hollywood. Bisa-bisa justru tidak sesuai dengan kenyataan sejarah," ujarnya. Sesudah persiapan yang rumit dan proses pembinaan yang melelahkan, bagaimana nasib film sejarah di pasaran? "Laku ditonton bukan tujuan utama," kata Dwipayana. Begitupun PPFN bekerja sama dengan Departemen P&K untuk pemutaran film bagi anak sekolah. Film November 1828 meski seret di Indonesia, laku juga di Berlin dan Jepang (untuk siaran tv). Tapi film R A. Katini yang menjadi topik diskusi Figur Sejarah Dalam Film Indonesia yang diadakan majalah Zaman, nampaknya laku keras. Hingga produser Widodo Sukarno dapat mengatakan: "Prospek film sejarah baik, asalkan landasan perfilman nasional jangan dirusak lagi dengan kebijaksanaan yang menghambat. "Diingatkannya, film sejarah muncul karena tuntutan masyarakat pada film berbobot. Cuma sayang, banyak film itu kurang daya tarik, mungkin karena pengolahannya kurang baik. Makanya kepada sutradara dituntut agar menyalurkan keinginan masyarakat itu di samping menggali bahan-bahan sejarah yang terkadang langka. Nampaknya tuntutan terhadap sutradara tidaklah sesederhana yang disebut Widodo. Mengapa? Kuntowijoyo, pengajar metodologi sejarah pada Fakultas Sastra UGM, punya persyaratan. "Film sejarah harus mampu mengetengahkan kebenaran faktual, dapat menangkap semangat zaman, dan anachronismenya harus jelas pula," katanya. Ia keberatan fakta sejarah didramatisasi, khawatir fakta itu melenceng nantinya. Kuntowijoyo, sejarahwan yang juga penulis novel, mengambil adegan Kartini meninggal sebagai contoh. "Tidak tragis," katanya, "seperti kematian orang agun saja." Khusus adegan ini, yang jadi masalah agaknya bukan fakta, tapi interpretasi sutradara. Sjuman telanjur mengagungkan Kartini hingga tidak mungkin baginya membuat kematian pahlawan wanita itu biasa-biasa saja. Apalagi yang tragis. Dan celakanya, Sjuman melukiskannya berlebihan -- pakai aureol segala. Menteri P&K Prof. Dr. Nugroho Notosusanto -- juga dikenal sebagai seorang ahli sejarah Indonesia kontemporer -- menampilkan sebuah gagasan yang baik. "Kalau saya membuat film sejarah," katanya serius "saya kumpulkan terlebih dahulu sejarahwan dan seniman film. Di situ sejarahwan akan berfungsi sebagai pemberi fakta dan seniman berfungsi sebagai pengolah fakta untuk kemudian menuangnya dalam bentuk film." Tapi untuk sampai kepada bentuk film, banyak ranjau harus dilewati. Dan demi keselamatan, Prof. Sartono Kartodirjo, pendekar sejarah pada UGM, menegaskan dua hal: Pertama, urutan peristiwa harus dijaga tidak boleh diputar balik. Kedua, setting sejarahnya harus terjaga, di samping kebenaran sejarahnya harus tetap terpelihara. Alasan Sartono tentu ada. Urutan peristiwa perlu ditinjau dari segi edukatif. Kalau tidak urut, ya, film sejarah itu bisa dianggap merusak. Setting penting, agar penonton bisa menyerap masa lampau, utuh, suasana dan jiwanya. "Sebab jiwa zaman Mataram lain dengan jiwa sekarang," tukas Sartono. Perihal kebenaran sejarah, ini mutlak, dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tapi, Sartono paham tuntutan itu berat dan mahal. Sampai-sampai ia sendiri bertanya: "Apa masih mungkin membuat film sejarah?" Keraguan seperti itu tidak ditemukan pada Dr. Taufik Abduliah, sejarahwan jebolan UGM, yang kemudian memperdalam ilmunya di Cornell University, Amerika Serikat. Menurut Taufik, sebuah film sejarah, apakah sekadar mengangkat cerita atau tokoh sejarah, bisa saja dibuat asalkan tidak bertentangan dengan accepted histoy. Pendapatnya ini diperkuat R.Z. Leirissa. Tapi apa itu accepted history. Tidak lain sejarah berdasarkan fakta yang ada. Contoh, Kartini yang putri bupati dengan selirnya tidak bisa disulap menjadi putri seorang sultan Fakta ini tidak bisa ditawar-tawar. Taufik, yang senang menonton film-film sejarah, rupanya memaklumi beban seorang sineas. Tidak heran kalau ia berkata: "Dalam batas-batas tertentu seorang sineas boleh diberi kebebasan menjadi (Muhammad) Yamin baru. Ia bebas mengembangkan imajinasinya." Yamin, searahwan, adalah tokoh pembaru dalam soal-soal sejarah nasional. Menurut Taufik, yang terpenting dalam pembuatan film sejarah adanya kesesuaian antara fakta dan makna yang ingin disampaikan. Bahkan ia, begitupun Leirissa, tidak keberatan jika sejarah kontemporer difilmkan (misalnya SOB). "Mengapa tidak?" tantangnya. "Risiko memang ada, tapi kalau kita takut pada risiko, maka tidak ada yang dapat kita kerjakan." Lebih dari itu, untuk film sejarah, cara kompromi ataupun romantisasi dianggapnya sah, sejauh itu tidak meninggalkan kecermatan faktual. Tapi tak urung ia menyesalkan ketidakcermatan sineas. Contoh: kehadiran Komandan Warouw dalam film Janur Kuning sudah menyimpang dari sejarah. Menurutnya, sesuai urutan peristiwa, waktu itu Warouw justru berada di Jawa Timur. Sedang cerita film Janur Kuning berfokus pada peristiwa di Jawa Tengah. Terlepas dari persyaratan ilmu sejarah, yang bisa membuat para sineas gentar bahkan buyar, baik Sartono maupun Taufik tidak sampai tergelincir ke pandangan sempit. Sebaliknya, guru besar UGM itu melihat kegunaan praktis yang bisa diperoleh dari film sejarah. "Ia bisa menyadarkan masyarakat bahwa kita mempunyai masa lampau yang diwarnai pergolakan. Juga bisa menghargai perjuangan dan penderitaan masyarakat." Dengan pernyataan ini, boleh dibilang, terciptalah titik temu antara pemikiran seorang Sartono, seorang Nyoo Han Siang, dan seorang Roy Marten. Di situ para sineas tidak lagi harus dituntut, tapi mereka harus siap mental untuk berani menangkat kebenaran faktual seraya menangkap semangae zaman. Dan di situ pula para sejarahwan dapat menghargai kebebasan daya cipta seniman film, -- dengan catatan dalam batas-batas yang sah dan memungkinkan. Arifin C. Noor, sutradara Serangan Fajar dan SOB, menerjemahkan kondisi siap mental itu dalam tiga pendekatan yang dilakukannya terhadap film sejarah: pendekatan kesejarahan, pendidikan, dan keindahan. Ketiga pendekatan itu, menurut Arifin, bukan prosedur mati, tapi larut menyatu, seperti lumrahnya proses penciptaan seni. Resep Arifin ini bisa diuji penonton lewat film Serangan Faiar atau SOB yang akan dibioskopkan Agustus depan. Sejarahwan Abdurrahman Suryomihardjo, peneliti di Leknas-LIPI, sementara itu mengungkapkan penghargaannya ke alamat sineas. "Film sejarah masih merupakan karya seni," katanya. Dan suatu karya seni lebih dari sekadar rekonstruksi sejarah. Ia lebih memberikan gambaran yang hidup daripada karya tulisnya sendiri." Berangkat dari pemahaman sejarah Arifin ataupun pemahaman artistik Abdurrahman, pantas kalau dikatakan sejarahwan dan seniman film harus saling mengisi. Tentu saja tanpa menutup pintu untuk kritik karena film sebagai seni dan sejarah sebagai ilmu (juga seni?) perlu tiap kali diuji, ditempa, disempurnakan. Bagaimana seharusnya film sejarah dibuat? Apakah film sejarah, kecuali sebagai tontonan, juga berperan dalam meningkatkan kesadaran sejarah masyarakat? Film Janur Kuning, misalnya, oleh Ashadi Siregar, novelis terkenal itu, dinilai gagal bahkan sebagai pelajaran sejarah. "Karena faktanya berubah jadi subyektif," kata Ashadi. Ia didukung oleh Indra Ariyani, mahasiswi Fak. Biologi UGM. "Saya hanya melihat dar-der-dor melulu. Tidak nampak kehebatan Pak Dirman (maksudnya: Jenderal Sudirman) sebagai pahlawan." Akan Ara Ruhara, mahasiswi tingkat terakhir Fak. Sospol UGM, menyimpulkan begini, "Janur Kuning itu film perang bukan film sejarah." Jelas, komentar-komentar itu mewakili pandangan yang kritis. Jelas pula sejauh yang menyangkut Janur Kuning terselip keberatan agar film yang mutunya begitu tidak sampai terulang lagi. Tapi paling jelas dari semua itu ialah kenyataan bahwa film sejarah bukan saja tidak mudah membuatnya, tapi pihak penonton pun, terkadang, bahkan sering menuntut terlalu muluk. Lupa, kemampuan kita tidak seperberapanya Hollywood. Tidak heran bila Sjuman jadi berang. Menurut sineas ini, film sejarah kurang semangat bikinnya dan semangat modalnya. "Biayanya besar, bikinnya ruwet, ngurus izinnya celaka, risetnya lama ... waktu dilempar ke pasaran, nggak ada yang nonton." Pahit, memang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus