MEKY Nelson, 14, sudah lima tahun menjadi pencandu komik silat, walau ayahnya tidak suka melihat dia hanyut oleh bacaan itu. "Kalau ketahuan, gawat! Gue umpetin di bawah kasur," kata murid kelas dua SMP asal Maluku itu, pekan lalu, di sebuah toko buku di Aldiron Plaza, Kebayoran, Jakarta Selatan. Ayah Meky, kopral polisi, adalah orangtua yang suka mengawasi bacaan anaknya dengan ketat - kendati sering juga "kebobolan". Sebab, Meky, pelajar SMP Negeri 177 Jakarta, gemar keluyuran ke toko buku untuk membaca, seusai sekolah. Karena itu Meky kerap pulang terlambat. Orangtua yang memberikan kebebasan penuh kepada anaknya memilih buku bacaan, menurut poll pendapat yang dilakukan TEMPO bulan lalu, hanya sedikit: 26% . Yang menentukan sendiri jenis bacaan anaknya: 23%. Tapi yang berusaha mempertemukan seleranya dengan minat sang anak, ternyata, cukup banyak: 51%. Boleh jadi, demokrasi dalam memilih bacaan anak sudah tumbuh di kalangan keluarga Indonesia. Angket disebarkan pada 1.000 orangtua di sepuluh kota di Indonesia, dan kembali 911 buah. Sebagian besar responden, 76%, bertempat tinggal di Jawa: Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, dan Surabaya. Sisanya, 24%, dari Medan, Padang, Denpasar, dan Ujungpandang. Para responden, sebanyak 40%, mengaku lebih banyak membeli karya pengarang Indonesla ketimbang pengarang asing. Yang lebih suka membeli terjemahan dari karya pengarang asing cuma 14%. Ini tampaknya tak sejalan dengan keterangan beberapa penerbit yang menyatakan, oplah buku terjemahan lebih tinggi daripada karya pengarang dalam negeri. Tapi, 38% responden mengatakan, mereka membeli kedua-duanya dalam jumlah berimbang. Jenisnya? Cerita fiktif tetap lebih disukai dari kisah nyata. Buku fiksi ini pun lebih banyak penggemarnya dibandingkan bacaan yang bersifat ilmu pengetahuan (Lihat: Grafik 1). Dari 911 responden, cuma 906 orang yang diketahui tingkat pendidikan akhirnya: SD 1%, SMTP 6%, SMTA 37%, dan perguruan tinggi 56%. Di kalangan orangtua berpendidikan SD, terlihat kecenderungan yang agak tinggi dalam membebaskan si anak memilih bacaannya sendiri: 45%. Yang agak memaksakan pilihannya sendiri: 22%. Sedangkan mereka yang sadar bahwa si anak harus didengar keinginannya ketika menyeleksi buku yang akan dibeli: 33%. Kenyataan yang hampir sama juga tampak di kalangan responden berpendidikan SMTP: 27% memilihkan sendiri buku untuk anaknya, 45% sepenuhnya menyerahkan pilihan pada si anak, dan 28% mengajak anaknya memilih bersama. Sikap membebaskan si anak memilih buku kesenangannya kian kecil di kalangan orangtua yang pendldikannya lebih tinggi. Hanya 34% dari mereka yang berpendidikan SMTA membiarkan anaknya bebas memilih. Angka itu makin rendah, hanya 19%, di kalangan responden berpendidikan perguruan tinggi. Kesadaran menyeleksi bacaan tanpa mengabaikan selera sang anak pun meningkat sejalan dengan naiknya taraf pendidikan. Di kalangan respoden berpendidikan SMTA cuma 43% yang mengajak anaknya turut memilih bahan bacaan, tapi di antara mereka yang berpendidikan perguruan tinggi angka itu jadi 58%. Sebagian besar responden, yang dimintai pendapatnya, adalah "konsumen buku bacaan anak". Antara lain, orang-orang tersebut ditemui di toko buku. Mungkin karena itu mereka memberikan kesan orang yang cukup peduli akan bacaan anak-anaknya. "Untuk mengetahui apakah si anak memahami isi buku atau tidak, si anak selalu diajak berbincang tentang bacaan tersebut," begitu jawaban yang diberikan 43,5% responden. Sedikit sekali, cuma 15%, mereka yang membiarkan anaknya membaca sendiri, tanpa diperiksa. Sisanya, 41,5%, mengaku "hanya mengawasi" tanpa mengajak anaknya berdialog mengenai bacaan yang tengah diikuti (Lihat: Grafik 2). Sang ayah, tokoh yang sering dianggap tak punya waktu banyak untuk anak, lewat angket ini terlihat masih sempat memberikan perhatian. Dari 524 ayah, yang jadi responden, 38% mengaku "mengajak anak berbincang" tentang isi buku. Tapi persentase ini kalah oleh keterlibatan sang ibu. Sebanyak 49% dari 382 ibu rumah tangga yang jadi responden menyisakan waktu membicarakan kisah dalam buku itu dengan anaknya. Barangkali tak banyak kesempatan orangtua untuk mengetahui apa yang dibaca si anak. Tapi sebagian besar mereka, 72%, menyebutkan "kadang-kadang" turut membaca buku anaknya itu. Boleh jadi, bagaimana buku itu berkisah dan corak bahasa yang dipakai tak dikenal betul oleh para orangtua. Responden angket ini memang tergolong orang sibuk: 49% adalah keluarga pegawai negeri/ABRI, 28% pegawai swasta, dan keluarga wiraswasta 21%. Yang kepala keluarganya buruh/tani/nelayan atau tak bekerja sama sekali hanya 2%. Di samping 72% responden yang hanya "kadang-kadang turut membaca", terdapat 10% yang tak peduli - mungkin tak sempat membaca buku sang anak sama sekali. Tapi ada 18% yang menyatakan "turut membaca". Kembali terlihat si ibu lebih banyak terlibat ketimbang ayah. Di kalangan ibu rumah tangga, 20% menyatakan turut membaca, sedangkan untuk para ayah angka ini cuma 16% (Lihat: Grafik 3). Ayah Meky tidak termasuk kelompok 16% itu. Meky dengan sembunyi-sembunyi masih bisa menamatkan dua komik silat, yang disewanya Rp 100 per buku, dalam seminggu. Komik, oleh sebagian besar responden, dinyatakan tidak terlalu banyak dipilih untuk anak mereka. Hanya 27% yang menyebut jenis cerita bergambar ini yang sering dipilih. Yang 37% lagi mengatakan, lebih banyak memilih nonkomik. Sisanya, 36%, mengaku jumlah komik dan nonkomik dibaca anaknya dalam jumlah yang berimbang. Hanya saja buku yang terlalu banyak teks, menurut Meky, membuat dia cepat lelah. Wahyu Adiprasetyo, 9, murid kelas empat SD Ignatius Loyola, Jakarta, juga menyatakan begitu. Tyo punya sekitar 250 buku bacaan anak-anak di rumahnya - yang sebelumnya dibeli dan dibaca dua kakaknya. Dia sendiri, yang lebih suka kisah sejarah dan teknologi, sudah menambah koleksi itu dengan 50 judul lagi. "Saya sediakan Rp 10.000 per bulan untuk bacaannya," tutur Nyonya Rahwono, ibu Tyo, tentang anggaran buat bacaan anaknya ini. Nyonya Rahwono menolak mengatakan persentase anggaran bacaan itu dibandingkan biaya rumah tangganya per bulan. Tapi dari 22% responden ada pengakuan bahwa dana yang mereka sediakan hanya 1% dari anggaran belanja keluarga sebulan. Angka 2%, 3%, 4%, dan 5% biaya keluarga disebutkan oleh masing-masing 20% responden, 16%,10% dan 16%. Yang mengaku bahwa dana bacaan anak itu sampai 10% biaya keluarga hanya 12% responden. Sisanya, 4% lagi, mengemukakan angka lebih dari 10%. Peranan orangtua dalam mendidik anak membangun koleksi buku bacaan tampak dituntut lebih tinggi. Hanya 24% responden yang mengatakan anaknya berinisiatif sendiri menyimpan buku yang sudah dibacanya. Iebih dari separuh, 56%, menyatakan "anak disuruh menyimpan" buku itu. Orangtua yang menyimpan sendiri cuma 12%, sedangkan 8% lagi membiarkan buku itu berpindah tangan ke orang lain. Kesadaran akan pentingnya bacaan untuk anak tampak membaik belakangan ini. Sebanyak 80% responden mengatakan anak-anaknya juga memperoleh bacaan berupa majalah, baik berlangganan, membeli dengan teratur ataupun tidak. Namun, iklan buku bacaan anak-anak tak berbicara terlalu banyak terhadap para responden ini. Hanya 9% yang mengatakan informasi tentang buku mereka peroleh dari advertensi. Sebanyak 15% menyebutkan "si anak yang melihat iklan", 26% "mendengarkan saran orang lain". Sedangkan jumlah terbesar, 47% responden, lebih mengandalkan etalase toko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini