SEOKANG Italia pernah minta nasihat tentang restoran yang akan dibukanya. Restoran itu akan menawarkan hidangan Itaiia yang eksklusif. "Ini betul-betul restorarante, bukan pizzeria yang menjual makanan biasa," katanya menegaskan. Dari daftar menu yang ditunjukkannya terbaca: filetto con funghi e prosciutto, piccata di vitello al marsala, dan sebangsanya, yang tidak berarti apa-apa bagi orang Indonesia. Harga seporsi bistiknya tidak kurang dari sepuluh ribu rupiah. Lalu saya usulkan agar ia melakukan promosi untuk "mendidik" calon konsumen Indonesia yang akan dijaringnya. Bahwa makanan Italia bukan hanya pizza atau spaghetti atau lasagna. Bahwa jamuan makan ala Italia diawali dengan minum-minum, lalu antipasto yang bisa berupa sayuran dan buah, atau irisan daging asin seperti salami atau carne salata. Lalu orang Italia makan sedikit pasta bisa spaghetti bisa fettucioi. Lalu baru mereka makan daging dan selada. Ia mengangguk-angguk setuju. Tetapi ketika kemudian saya buatkan anggarannya, la segera menaikkan alisnya. "Basta, tidak usah saja." Restorannya memang kemudian dibuka. Dan memang punya citra cukup eksklusif. Cuma, masalahnya, tidak banyak pengunjung yang datang. "Gila, orang Indonesia yang datang cuma pesan spaghetti. Dan mereka mengeluh ketika menerima spaghetti yang porsinya kecil," katanya mengeluh. Orang Itaiia itu memang tidak lama bertahan. Ia lalu pulang ke negerinya. Usaha restorannya diteruskan orang lain. Sebentar kemudian di depan restorante itu terbaca tambahan keterangan bahwa tersedia juga pizza dan spaghetti. Kelasnya mungkin jadi turun sedikit, tetapi pengunjungnya bertambah. Restoran itu masih berdiri hingga sekarang. Berdagang makanan memang merupakan hal yang tidak gampang. Orang Padang boleh beranggapan bahwa tiap simpang tigo adalah lokasi yang cocok untuk warung Padang. Tetapi bisnis tingkat dunia sudah menunjukkan betapa tricky-nya bisnis ini. Majalah Fortune minggu lalu juga menceritakan betapa sulitnya menjual hamburger saja, karena pasar yang sudah dipenuhi oleh McDonald's. Di Malaysia belum lama ini muncul rantai kedai makanan Jepang yang ternyata tidak mampu menarik cukup banyak peminat. Sebaliknya, sebuah perusahaan cornlakes (makanan untuk makan pagi khas Amerika) pernah mencoba memasarkan produknya itu di Jepang. Tetapi orang Jepang Iebih suka asa gohan (nasi pagi) dengan sup tauco dan telur mentah. Sebuah perusahaan Amerika yang lain melihat bahwa di Jepang ternyata tidak dipasarkan saus tomat. Ia segera mengirimkan sekapal saus tomat. Tetapi botol-botol itu hanya mengumpulkan debu di rak-rak toko. Kalau ia sempat melakukan riset sebelumnya, mungkin ia tidak perlu menyewa kapal lagi untuk mengangkut kembali saus tomatnya. Ya, mengapa? Orang Jepang tidak bisa makan tanpa kecapnya yang khas itu. Dan hanya itu sajalah saus penyedap yang mereka kenal. Tetapi pengusaha saus tomat ini ternyata cepat belajar. Ia laiu memborong kecap Jepang dan memasarkannya di Amerika bagi masyarakat Jepang yang jumlahnya makin meningkat. Aha, dan bisnis ini memberi keuntungan yang cukup untuk membayar kembali kemgiannya mengekspor saus tomat ke Jepang dulu. Kentucky Fried Chicken (KFC) pun pernah terjebak ketika mencoba memasuki pasar Brazil. Dengan rencana untuk segera membuka 100 rantai kedai ayam goreng, KFC membuka restorannya yang pertama di Sao Paolo. ternyata, restoran itu tidak laku. KFC lupa meriset pasar yang sudah penuh dengan bermacam ragam jenis ayam goreng yang harganya lebih murah. Hampir di setiap ujung jalan terdapat warung yang menjual ayam goreng. KFC lalu buru-buru mengubah siasatnya. Restorannya itu tidak lagi menjual ayam goreng, tetapi hamburgers, taco, dan enchilada Meksiko. Ketiga jenis makanan itu pun ternyata tidak dikenal masyarakat Brazil. Restoran itu lalu tutup. Bangkrut. Perusahaan raksasa Unilever pun ternyata tidak luput dari blunder semacam ini. Unilever, yang di Eropa juga memasarkan makanan yang dibekukan, gagai memasarkan jenis produk ini di Prancis. Orang Prancis memang pemilih dalam soal makanan, dan jelas tidak menyukai makanan beku. Contoh-contoh di atas hanyalah menunjukkan beberapa kegagalan yang disebabkan karena tidak dilakukannya riset pasar secara saksama. Tetapi ada juga sebuah kasus, produk yang sudah diriset ternyata juga gagal. CPC International, yang menjual sup bubuk dalam kantung kertas, memasuki pasar Amerika dengan melakukan apa yang dinamakan taste test. Orang-orang yang levat diminta mencicipi sup hangat Knorr. Hmm, komentar mereka, lezat. CPC lalu memasarkannya. Ternyata tidak laku. Soalnya adalah karena orang Amerika tidak suka konsep sup bubuk yang dijual dalam kantung kertas. Dan hal itu tidak tampak pada taste test. Orang Amerika sering bilang: test the water. Ujilah air sebelum mandi, jangan-jangan terlalu panas. Dan kesalahan strategis serupa imilah yang, sialnya, serimg memimpa para pemasar. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini