Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tentang 12 perempuan arsitek pertama Indonesia berlangsung di Gedung JDC, Tanah Abang, Jakarta Barat, hingga 15 Desember 2024.
Karya dan pemikiran para perempuan arsitek itu bisa dinikmati hingga sekarang.
Mereka terlibat dalam berbagai pembangunan di era 1950 dan 1960-an, termasuk gedung Conefo, yang kini jadi gedung MPR/DPR.
RANGKAIAN foto enam perempuan dan gedung MPR/DPR itu berjudul "Mereka dan Conefo". The Conference of New Emerging Forces (Conefo) adalah konferensi internasional yang digelar untuk mengimbangi kekuatan Amerika Serikat dan Uni Soviet yang digagas Presiden Sukarno pada 1965. Meski konferensi itu tak terlaksana, gedung pertemuannya telah berdiri dan kini menjadi gedung MPR/DPR di Senayan, Jakarta Pusat. Enam perempuan itu ikut dalam rancang-bangun kompleks bangunan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruang seluas dua lapangan badminton di gedung Jakarta Design Center, Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, itu menjadi arena pameran arsitektur karya 12 perempuan Indonesia. Kebanyakan aktif pada 1960-an setelah menyelesaikan studi di Institut Teknologi Bandung pada 1950-an. Ada yang menjadi dosen, ada juga yang bekerja di pemerintahan. Mereka adalah bagian penting dalam perjalanan arsitektur Indonesia. Dari pembangunan gedung rumah sakit, pendidikan, bandar udara, hingga pabrik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Peneliti Arsitek Perempuan Indonesia, Erika Yuni Astuti, mengatakan selusin perempuan itu memiliki gagasan besar tentang pembangunan kota dan kawasan. "Kedua belas senior ini berpikir secara makro, bagaimana membuat ruang atau kewilayahan menjadi lebih baik," katanya kepada Tempo, Kamis, 12 Desember 2024.
Pameran Transoceanic Disclose: Weaving Architecture (Her)Stories di Gedung Jakarta Design Center (JDC), Tanah Abang, Jakarta Pusat, 9 Desember 2024. TEMPO/Charisma Adristy
Kedua belas perempuan arsitek pertama itu adalah Doddy Zartini Zaha, Kadarwati Sutomo, Roendarijah Soeparto, Siti Utamini, Susantiah M. Ardhi, Wahyuningsih Herbowo, Budhy Tjahati, Tuti Purwani Dipokusumo, Aristiana, Harastoeti Dibyo Harsono, Irmawati, dan Sri Rahaju. Zartini, Kadarwati, Budhy, dan Harastoeti telah berpulang.
Erika, pengajar di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan ITB, mengatakan 12 tokoh itu terlibat dalam berbagai pembangunan di era 1950 dan 1960-an. Saat kuliah, mereka membantu arsitek senior dan setelah lulus terjun menangani berbagai proyek vital. "Termasuk pembangunan Monumen Nasional hingga gedung Conefo," tutur Erika.
Bakti para arsitek itu juga tersebar di banyak bangunan yang didirikan pada 1960-1980-an. Dari penggilingan padi, rumah sakit, hingga bangunan penunjang di Banda Udara Internasional Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Bangunan-bangunan tersebut dinilai vital bagi negara yang baru seumur jagung seperti Indonesia pada masa itu.
Erika mencontohkan Budhy Tjahati yang ahli pembangunan kewilayahan. Perempuan kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, 18 Mei 1941, ini mengatur pembangunan agar warga bisa mudah mengakses sekolah, rumah sakit, dan masjid. Budhy berkuliah di Jurusan Arsitektur ITB sejak 1959. Dua tahun berikutnya, dia pindah ke Jurusan Planologi dan lulus pada 1970. Dua tahun berikutnya ia bertolak ke Amerika Serikat, menyusul suaminya. Di Negeri Abang Sam, Budhy meneruskan studi perencanaan kota di Universitas Harvard. Dia kembali ke Indonesia setelah merampungkan program doktoral di Urban Transportation and Planning Massachusetts Institute of Technology pada 1982.
Dalam bidang perencanaan kota dan kewilayahan, Budhy menjadi Kepala Biro Perencanaan Tata Ruang di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional periode 1988-1999. Pendiri Yayasan Pengembangan Perkotaan dan Daerah itu memiliki pemikiran yang mendorong pembangunan kewilayahan, yang memudahkan akses bagi masyarakat.
"Kota harus selalu menyediakan apa yang dibutuhkan rakyatnya, yaitu kebutuhan dasar, pendidikan, dan kesehatan dengan jarak yang terjangkau," demikian pemikiran Budhy dalam artikel profil yang ditulis Erika.
Contoh lain, Tuti Purwani Dipokusumo. Perempuan kelahiran Surabaya, Jawa Timur, 14 Maret 1941, itu berperan dalam proyek perancangan. Dia lebih banyak terlibat dalam tahap konseptual dan riset ketimbang desain. Penelitian staf pengajar arsitektur Trisakti pada 1968-2013 itu, yang bertajuk "Sustainable Settlement in Pasanggrahan Tourist Village", masuk nominasi Holcim Awards bidang Sustainable Construction (2005-2006) di wilayah Asia-Pasifik.
"Arsitektur tidak hanya tentang membuat gambar denah ataupun tampak dan potongan, tapi juga memperlihatkan pemikiran desainer mengenai pemilihan material yang memberikan kesan ke arah arsitektur yang sesuai dengan lingkungannya," demikian catatan Tuti dalam profilnya.
Rius, 19 tahun, memotret informasi yang ditampilkan dalam pameran pameran Transoceanic Disclose: Weaving Architecture (Her)Stories di Gedung Jakarta Design Center (JDC), Tanah Abang, Jakarta Pusat, 12 Desember 2024. TEMPO/Ilham Balindra
Menurut Erika, Budhy dan Tuti memiliki pemikiran sama tentang pembangunan kewilayahan yang baik. "Itu sumbangsih pemikiran kedua orang ini tentang kota," kata anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jawa Timur tersebut.
Sementara itu, sejak 1970-an, Irmawati menekankan pentingnya pembangunan kota yang sesuai dengan peraturan karena menyangkut keselamatan warganya. Erika mencontohkan Jakarta, yang sebelumnya ditata dengan peraturan kewilayahan. Namun aturan itu banyak dilanggar, misalnya dengan mendirikan bangunan di jalur hijau. "Sehingga jadi morat-marit," ujarnya.
Erika mengatakan dampak pelanggaran aturan itu mungkin tak langsung terasa. Perampasan area hijau, misalnya, berdampak pada keselamatan warganya dalam jangka panjang. "Kota yang over crowded seperti Jakarta bikin kita enggak sehat."
Irmawati masuk Jurusan Arsitektur ITB pada 1962. Menjelang akhir studi, ia pindah ke Jakarta dan melanjutkan studi arsitektur di Universitas Indonesia pada 1967—lulus pada 1975. Satu tahun ia menjadi asisten dosen. Irmawati dan lima teman seangkatannya di ITB, yaitu Aristiana, Sri Rahaju, Harastoeti, Endah, dan Idawati, terlibat dalam proyek Conefo sebagai drafter. Mereka bekerja pada 1965-1966.
Dalam catatan Erika, Irmawati—kelahiran Bandung, Jawa Barat, 30 Agustus 1944—pernah diminta mendesain air mancur di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta. Sketsa buatan Irma ditunjukkan ke Presiden Sukarno, yang kemudian memintanya meninggikan platform air mancur tersebut.
Belakangan, pada 1989, Irmawati menjabat Kepala Suku Dinas Pengawas Bangunan Kota Jakarta Selatan. Menurut temuan Erika, Irmawati sangat berfokus pada aturan dalam perencanaan dan pembangunan, terutama soal proses izin mendirikan bangunan.
Pengunjung melihat informasi yang ditampilkan dalam pameran pameran Transoceanic Disclose: Weaving Architecture (Her)Stories di Gedung Jakarta Design Center (JDC), Tanah Abang, Jakarta Pusat, 12 Desember 2024. TEMPO/Ilham Balindra
Menurut Erika, penelitian tentang karya arsitektur 12 perempuan ini melibatkan arsitek serta peneliti Belanda, María Novas dan Rachel Lee. Ada juga sumbangsih arsitek dan peneliti muda asal Bandung dan Yogyakarta, yaitu Khaerani Adenan, Fitri Meisyara, Pratomo Aji Krisnugrahanto, Leyna Ayushitarum, serta Davina Iwana. Penelitian ini didukung Bandoengse Technische Hoogeschool Fonds (BTHF) Research Grant 2022.
Temuan Erika dan kawan-kawan dipamerkan di Bandung, Yogyakarta, dan Jakarta. Pusat pameran dilangsungkan di ITB, Jogja Nasional Museum (JNM) Blok Yogyakarta, ataupun IAl Jakarta. Ekshibisi ini mengangkat tema “Transoceanic Disclose: Weaving Architectural Herstories”.
Erika mengatakan peran mereka tidak sekadar merancang bangunan, tapi juga ikut mendirikan IAI serta mendidik arsitek-arsitek penerus. ”Yang penting dari pameran ini adalah fakta bahwa para perempuan yang berprofesi sebagai arsitek itu punya banyak peran, tapi kurang di-highlight,” katanya.
Ketua IAI Jakarta Teguh Aryanto mengatakan para perempuan yang menjadi arsitek perintis itu memberikan inspirasi pada pembangunan generasi berikutnya. Mereka dianggap terampil dalam berkarya, mengubah norma gender dalam dunia arsitektur, serta membentuk landasan pemikiran arsitektur yang lebih inklusif di Indonesia. Teguh mengatakan pengunjung bisa merasakan fakta-fakta itu dalam pameran yang berlangsung di gedung JDC hingga Ahad, 15 Desember 2024, tersebut. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo