KETIKA pertama kali diadakan, 1974, Pameran Besar Seni Lukis Indonesia mengundang keributan. Sejumlah pelukis muda protes - tidak setuju terhadap lukisan terbaik pilihan dewan juri. Yang dipilih juri, menurut mereka, hanya karya yang sudah mapan, sementara jenis yang "eksperimen" diabaikan. Dua pameran besar belakangan ini, 1982 dan 1984 - pameran ini diselenggarakan dua tahun sekali - terasa adem ayem, tak terganggu macam-macam. Pemberian hadiah lukisan terbaik telah ditiadakan. "Pemberian hadiah itu menyesatkan," kata Sudarmadji, ketua Dewan Kesenian Jakarta sekarang. Konon, lulusan Pendidikan Seni Rupa IKIP Negeri Yogyakarta itu pernah berdialog dengan Affandi yang pernah jadi juri Pameran Besar. Kesimpulannya, sulit mengatakan satu lukisan lebih baik dari yang lain. "Apakah kuda lebih baik dari ayam ? 'Kan susah," kata Sudarmadji, menirukan Affandi. Tapi selain soal kuda dan ayam, memang ada pergeseran konsep Pameran Besar (PB). Dulu, 1974, DKJ memaksudkan PB sebagai upaya menyuguhkan panorama seni lukis Indonesia. Itu sebabnya para peserta hampir berjumlah seratus orang, dan tempat pameran melebar dari Taman Ismail Marzuki hinga Museum Pusatdan Gedung Kebangkitan Nasional. Sekarang, "Pameran mi leblh berslfat kualitatif," kata Sudarmadji pula. Berbeda dari PB-PB yang lalu, PB ke-6 memang punya kriteria yang memadai. Peserta adalah pelukis van intensif dan kontinu dalam kegiatannya. Ditentukan pula untuk harus punya karakter pribadi dalam karyanya, dan karakter itu tidak menghilangkan potensi komunikatifnya. Ditambah lagi, dua tahun belakangan (1983 dan 1984, dan itulah memang syarat tahun karya) si pelukis bisa ditandai dalam hal konsepsi kreatif. "Palin tidak ada sedikit kelainan daripada karyanya yang lalu," tutur Sudarmadji. Dengan kriteria itu ternyata DKJ hanya bisa mengundang 30-an pelukis. Dari jumlah itu, yang mengirimkan karyanya hanya 26 orang. Sudjojono, Affandi, Rusli, Nashar, Oesman Effendi - antara lain absen. Ada yang mengaku tak punya karya baru, ada yang menyimpan karyanya untuk pameran tunggal dalam waktu dekat. Tapi, memang, terasa karyakarya yang dipamerkan adalah lukisan yang diandalkan pelukisnya sendiri. Ada terasa perkembangan karya-karya para peserta dari karya mereka tahun sebelumnya. Misalnya Srihadi Sudarsono. Dari lima lukisan yang dipertontonkan, satu berjudul Hijau Negeriku 11. Karya berukuran sekitar 120 cm X 180 cm ini memang didominasi warna hijau. Dan lebih dari karya-karya Srihadi yang lalu, bidang kosong begitu luas mengisi kanvas. Obyek, berupa kampung di Bali tampak sebuah pura dan atap-atap rumah hanya kecil, ditaruh berat ke bawah. Yang terkesan kemudian adalah sebuah jagat yang luas, dan senyap, dan kosong. Obyek, kampung itu, justru memperkuat kesan kosong dan sekaligus memberi makna. Sebelum ada adalah tiada, dan akan kembali ke tiada. Kesadaran seperti inilah, kalau mau dikait-kaitkan, yang antara lain ingin dicapai Zen Budhisme - totalitas tanpa kepalang tanggung. Srihadi memang pernah mempelajari aliran itu. Yang juga menarik adalah karya Mulyadi W., Kemesraan. Seorang figur berjongkok, hanya tampak wajah dan ujung kaki. Tubuhnya tertutup kain batik. Di bawah wajahnya tergantung sebuah topeng, puth. Ini sebuah kontras yang berhasil. Batik yang ornamentik dengan bidang kosong latar belakang yang hanya bertekstur. Lalu wajah itu, yang kosong, dan topeng itu, yang justru seperti mau bicara. Yang lain, adalah karya Handrio, pelukis yang amat tekun menggarap komposisi, harmoni, kontras, perspektif, dan unsur senilukis yang lain. Toh ia tak jatuh menjadi semata menggarap teknik. Kesan musikal bahkan religius, terpancar dari bidang-bidang, ruang, dan warna, yang berkait-kait. Lalu Nyoman Gunarsa dengan wayang-wayang Balinya. Nyoman tak cuma memperhatikan kanvas piguranya pun disesuaikannya dengan lukisannya yang ramai, gemermcing bak pertunjukan wayang kulit Karya pelukis yang lain boleh dibilang begitu-begitu saja. Popo Iskandar tetap dengan sapuan-sapuan esensialnya. Sadali yang itu-itu juga: permainan tekstur. Juga A.D. Pirous. Yang agak lain dari Pirous 1984 adalah deformasi kaligrafi huruf Arabnya. Ia tak lagi menyuguhkan bentuk huruf yang jelas, tapi kesan yang betapapun mengingatkan pada bekas-bekas lembaran kitab lama atau guratan pada tembok tua. Fadjar Sidik tampak setia pada bentuk-bentuk biomorfis: mirip sayap kupu-kupu, kadang mirip bentuk paru, kelopak bunga, dan lain-laim. Tapi apa sebenarnya makna pameran besar ini? Dunia seni rupa kita boleh dibilang hidup "berdikari", nyaris tak ditunjang prasarana memadai. Museum dan galeri yang sangat tak berarti. Publikasi yang hanya menempel di media massa. Pembinaan apresiasi yang nol - mana ada pendidikan melihat lukisan di sekolah. Kritik dan resensi yang ditulis di kala senggang. Dalam situasi seperti ini bisa dimaklumi bila pameran besar ini sebenarnya tanpa efek. Ia tak menjadi barometer mutu, maupun pasaran lukisan. Tak ada misalnya galeri yang kemudian memasarkan lukisan berdasarkan yang pernah dipamerkan dalam PB. Dilihat dari sini, PB I, 1974, lebih punya makna. Ia menyiratkan satu sikap (berpihaknya para juri pada lukisan yang mapan), yang kemudian mendapat umpan balik dari para pelukis muda yang getol mencari itu. Dan perbenturan pemikiran Ini, sejarah mencatat, menjadi salah satu pendorong lahirnya Seni Rupa Baru Indonesia. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini