Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Memori Kolektif dalam Tubuh Perempuan Asia

Ulasan pameran para perempuan seniman Asia di Seoul, Korea Selatan. Dalam beragam medium, membuka narasi dan pengalaman tubuh.

13 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FEMINISME adalah isu yang selalu berada di ruang ambang; di satu sisi diperjuangkan, tapi di sisi lain dipenuhi stigma negatif yang acap mematahkan perjuangan. Dalam dunia seni, para perempuan pencipta telah memperjuangkan isu ini dalam lingkungan yang dipenuhi sistem dan struktur patriarkal, mendobrak batas tabu dan normal sosial melalui tubuh sebagai medium mereka. Dalam konteks Asia, manuver para seniman perempuan untuk membuka narasi kesenjangan ini telah menjadi bagian penting dari sejarah seni, walaupun sering tersembunyi dan terpinggirkan. Keberanian para perempuan melawan tabu dan mempertanyakan dominasi kuasa patriarki sering tertutupi dan kemudian tersimpan dalam laci, berdebu dan dilupakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pameran di National Museum of Modern and Contemporary Art di Seoul, Korea Selatan, yang baru dibuka pada 3 September 2024, merupakan inisiatif penting untuk mengarsipkan dan menjalin narasi yang selama ini terpisah-pisah dari dinamika seni di berbagai negara di kawasan Asia, terutama Asia Tenggara dan Asia Timur. Enam puluh seniman perempuan dari berbagai generasi menampilkan karya bersama-sama, merayakan tubuh dan pengalaman mereka untuk menghubungkan kembali narasi yang berserak. Bertajuk “Connecting Bodies”, pameran ini mencakup beragam isu yang menghubungkan konteks sosial politik dengan praktik seni dan kehidupan perempuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kurator Bae Myungji melakukan riset cukup panjang, selama satu setengah tahun, untuk melihat dan membaca ulang arsip-arsip karya seniman perempuan dalam kancah seni rupa kontemporer sepanjang 1960-an hingga praktik saat ini. Di Korea Selatan sendiri, masa 1960-an penting digarisbawahi karena adanya dampak besar pada kehidupan sosial politik pasca-Perang Korea. Di Asia Tenggara, periode ini juga menandai situasi masa Perang Dingin dan peralihan kekuasaan di berbagai negara di dalamnya. Bagaimana pergeseran lanskap politik ini berpengaruh pada tumbuhnya bahasa dan medium baru seniman perempuan melalui refleksi pengalaman sosial dan personal mereka? 

Tubuh menjadi metafora yang dipilih kurator untuk membaca dan memetakan keberagaman isu seputar respons dan refleksi pengalaman perempuan atas realitas sosial. Sebab, tubuh menjadi situs negosiasi dan resistansi selama terjadinya penindasan dan eksploitasi terhadap kelompok-kelompok terpinggirkan. Pengalaman kolonial dan ingatan kolektif atas berbagai kekerasan telah menorehkan jejak dalam tubuh dan diri, menjadi bagian dari gestur dan gerak sosial masyarakat. Karena itu, banyak sekali karya dalam pameran ini yang berangkat dari penelusuran dan penggalian atas makna (ke)tubuh(an), yang terutama menunjukkan pentingnya menyelisik bentuk-bentuk performativitas dalam karya rupa. 

Karya Theresa Hak Kyung Cha dalam Pameran bertajuka Connecting Bodies, di Korea Selatan. Tempo/Alia Swastika

Memasuki ruang pamer, pengunjung disambut dengan bagian pertama pameran, “Choreograph Life”, sebuah refleksi tentang sejarah Asia pasca-1960-an, yang didefinisikan oleh fenomena kolonialisasi, Perang Dingin, migrasi, kapitalisme, dan patriarki. Di bagian ini, seniman melihat bagaimana tubuh menjadi esensi identitas keperempuanan, misalnya dalam karya Park Youngsook, generasi pertama fotografer Korea Selatan yang perannya sangat penting dalam memasukkan perspektif feminis dan unsur femininitas pada sejarah fotografi Korea. Karya-karya Park dikenal provokatif untuk ukuran periode 1960-an hingga 1970-an; dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai cara mengkonfrontasi nilai sosial, tekanan kuasa patriarki, dan sebagainya.

Karya seniman Filipina, Imelda Cajipe Endaya, menjadi salah satu karya yang secara visual cepat menarik perhatian pengunjung. Karya Imelda, yang kini berusia 80-an tahun, merupakan ekspresi yang secara kuat menunjukkan sikap dan cara pandang yang sangat kritis terhadap situasi politik di Filipina. Imelda mendirikan kelompok kolektif seniman perempuan bernama KASIBULAN pada awal 1970-an dan dalam konteks akademik menerbitkan Pananaw, jurnal seni visual Filipina, pada waktu yang sama. Imelda menggunakan material kain dan spanduk, yang banyak dipakai dalam demonstrasi massa, dan menyusunnya dalam bentuk yang menyerupai altar, sesuatu yang sangat dekat dengan ingatan kolektif masyarakat Filipina, untuk membicarakan kuasa agama dan politik. Dari generasi yang lebih muda, karya seniman Vietnam yang berbasis video, Nguyen Thao Phan, secara konsisten membicarakan dampak dan situasi pasca-Perang Dingin dalam kehidupan perempuan, khususnya di ruang-ruang marginal. 

Bagian lain pameran ini memperkenalkan subjudul yang memang sangat berfokus pada wacana tentang tubuh (perempuan), misalnya “Flexible Territories of Sexuality”, “Body, God(desses) and Cosmology”, “Street Performances”, “Repeating Gesture-Bodies-Objects-Languages”, dan “Bodies as Becoming: Connecting Bodies”. Dengan membuat tubuh sebagai pijakan, tidak terhindarkan karya-karya berbasis performance dan performativitas cukup dominan dalam pameran ini. Bagi saya, yang cukup menarik adalah bagian kelima. Di bagian ini, ada seniman-seniman penting dengan karya yang tak banyak dimunculkan dalam konteks Asia, seperti Shigeko Kubota, yang semasa hidupnya lebih banyak berada di bawah bayang-bayang pasangannya, Nam June Paik.

Karya Kubota berjudul Duchampiana: Nude Descending a Staircase menunjukkan eksplorasi teknologi rekam, performance dan artikulasi tubuh, serta kesadaran absurditas. Seniman lain yang sangat kuat dalam bagian ini adalah Theresa Hak Kyung Cha, seniman Korea Selatan yang bermigrasi ke Amerika Serikat pada 1960-an dan merasakan gegar psikologis berkait dengan politik, budaya, dan bahasa. Melalui serangkaian karya gambar gerak dan seni bunyi, dia mengeja kegamangan identitas dirinya yang tidak diafirmasi oleh lingkungan sekitar.

•••

DALAM pameran ini, enam seniman Indonesia berpartisipasi menampilkan karya mereka, yakni Arahmaiani, Fitriani Dwi Kurniasih, mendiang I Gusti Kadek Ayu Murniasih, Mella Jaarsma, Melati Suryodarmo, dan Nadiah Bamadhaj. Berbeda dengan seniman kawasan Asia Timur seperti Korea Selatan, Jepang, dan Cina yang menampilkan sejarah praktik seni feminis dari 1970-an, sebagian seniman di Indonesia ini berkarya pada masa akhir rezim Orde Baru, ketika gerakan peminggiran politik perempuan masih begitu terasa dengan propaganda ibuisasi sebagai akibat perubahan politik 1965. Maka upaya mendobrak tabu dan mempertanyakan kembali kenyataan biologis serta seksualitas perempuan seperti yang terbaca dalam karya Arahmaiani, Do Not Prevent the Fertility of the Mind—diciptakan pada 1997—menjadi relevan dengan situasi masa itu.

Karya Fitriani Dwi Kurniasih dalam pameran Connecting Bodies di National Museum of Modern and Contemporary Art di Seoul, Korea Selatan, 3 Oktober 2024. Tempo/Alia Swastika

Nama I Gusti Kadek Ayu Murniasih lima tahun belakangan mendapat perhatian besar dari masyarakat seni dunia, terutama karena keberaniannya menampilkan trauma dan refleksi atas kekerasan terhadap (tubuh) perempuan dalam bahasa visual yang jauh melampaui imajinasi generasinya. Mella Jaarsma membawa cerita tentang bulir padi dalam The Size of Rice (2021) dan pakaian dalam Trouble Skirts (2023), yang menunjukkan ketertarikannya menggali kembali pengetahuan-pengetahuan lokal dari berbagai konteks budaya di Indonesia. Ia menggabungkan gagasan performatif dengan penciptaan instalasi berbasis “pakaian” yang bersifat kolaboratif dan partisipatoris.

Adapun Fitriani Dwi Kurniasih adalah bagian dari generasi baru seniman muda yang melihat bagaimana warisan semangat dari seniman generasi sebelumnya harus dikuatkan dengan memperluas ruang gerak seni, bukan hanya di wilayah estetika atau ekspresi, melainkan juga dengan melakukan kerja-kerja advokasi. Poster-poster cukil kayu yang ia buat untuk berbagai aksi, dari demonstrasi di Kendeng dan Wadas, Jawa Tengah, hingga persembahan untuk gerakan perempuan lain, yang terutama menggarisbawahi narasi eko-feminisme, dipamerkan di koridor museum sehingga semua pengunjung bisa mengamatinya.

•••

BAGI saya, pameran “Connecting Bodies” ini penting untuk menghubungkan gerakan-gerakan seniman perempuan di berbagai kawasan di Asia. Dengan memahami konteks dan situasi sosial politik tempat karya dan gerakan seniman lahir, kita bisa melihat bagaimana isu gender dan feminisme selalu bersifat interseksional. Kerja untuk mengumpulkan arsip dan praktik seniman perempuan dari berbagai generasi, yang terutama merupakan bagian dari saksi perubahan sejarah dan konflik politik, juga merupakan upaya meretas memori-memori kolektif yang tersimpan dalam tubuh perempuan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus