Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Dian Oerip dalam Pengembaraan Wastra Nusantara

Dian Oerip turut melestarikan wastra Nusantara dan memberdayakan penenun di daerah. Menghidupi kain tradisional dengan hati.

13 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JEMARI Dian Erra Kumalasari sibuk “menari” di atas lembaran kain pada hari pertama pembukaan stan pameran perdagangan kerajinan Inacraft di Jakarta Convention Center, Rabu, 2 Oktober 2024. Ia memotong kain, membuat lipit, lalu menyematkan jarum pentul di antara dua helai kain tradisional Indonesia atau wastra Nusantara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dian menggabungkan tenun Sumba Umalulu dengan batik Lasem motif tiga negeri estehan menjadi sepotong baju. “Ini adalah potongan kain yang dijadikan baju keseratus ribu,” kata Dian kepada Tempo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Momen ini cukup bersejarah lantaran potongan baju itu menandai 16 tahun perjalanan karier desainer yang dikenal dengan nama Dian Oerip tersebut. Bertepatan dengan Hari Batik Nasional, pemilik jenama fashion Oerip Indonesia ini mengadakan acara potong kain dan menjual karyanya lewat fitur siaran langsung Instagram.

Oerip Indonesia mengusung slogan “Wastra Menemukan Jodohnya”. Maka, dalam siaran langsung tersebut, orang yang mengetik “karya Dian Oerip ke-100 ribu” di urutan ke-50 bisa bersanding dengan baju tersebut. Khusus untuk potongan keseratus ribu ini, Dian memasang harga Rp 0 bagi Oerip Lovers—sebutan buat penggemar Oerip Indonesia. Namun ia menaksir nilai perpaduan dua wastra itu mencapai Rp 4 juta.

Mulai merintis Oerip Indonesia pada 2008, Dian melihat wastra Nusantara belum begitu terkenal. Seiring dengan waktu, kain-kain tradisional itu kian populer. Bahkan banyak desainer muda yang melahirkan karya dengan wastra. "Itu sebuah angin segar yang membantu perekonomian para penenun," ujarnya.

Meski wastra tengah naik daun, Dian menilai pemahaman masyarakat terhadap motif, warna alam, dan harganya yang mahal masih minim. Sebab, wastra bukan sekadar kain. "Kain tenun adalah doa, dibuat dengan rasa, puasa, ibadah," ucapnya.

Orang-orang, Dian menambahkan, juga cenderung memilih pakaian yang diproduksi jenama asing secara massal karena murah. Walhasil, keberlangsungan penenun yang masih hidup di bawah garis kemiskinan terkena dampak.

Selama belasan tahun menjelajah Indonesia, Dian telah menyaksikan kehebatan ratusan penenun di pelosok Tanah Air. Mereka mampu membuat kain dengan teknik yang sulit. Namun nama mereka tak terangkat, apalagi dikenal. Kain tenun tersebut juga kurang dihargai, bahkan sering ditawar dengan murah.

Kehidupan para penenun papa itu mengetuk hati Dian untuk mempertahankan wastra sebagai identitas bangsa serta mengenalkannya ke seluruh dunia. Gerakan yang ia usung memanfaatkan fitur berbelanja lewat siaran langsung atau live shopping di pedalaman melalui Instagram.

“Ini gerakan nyata membantu dan uangnya langsung diterima mereka,” tutur Dian, yang memulai gerakan tersebut di awal masa pandemi Covid-19 pada 2020.

Dian berperan sebagai jembatan bagi para penenun dengan menemukan jodoh untuk produk mereka. Di mata perajin tenun, Dian bak sosok pembawa keajaiban. Sebab, kehadirannya membuat kain-kain tersebut bisa habis terjual ratusan juta rupiah.

Tenun sekomandi dari Sulawesi Barat, misalnya, pernah terjual Rp 300 juta dan habis dalam satu jam. Kemudian tenun Sumba laku hampir Rp 200 juta. Dian mengungkapkan, angka penjualan terendah dalam sekali siaran belanja itu Rp 50 juta. "Semua ternganga, 'Kok, bisa habis?' Ini ajaib."

Kunjungan ke berbagai daerah untuk melakukan siaran belanja langsung itu pun membuat para penenun kembali bersemangat. Mereka terpacu untuk terus menciptakan wastra. Padahal para perajin tenun itu sebelumnya enggan membuat stok karena takut tidak laku.

Desainer Dian Erra Kumalasari atau Dian Oerip melakukan penjualan wastra melalui siaran belanja langsung di media sosial. Dok. Pribadi

Dian juga berkolaborasi dengan perkumpulan Warna Alam Indonesia untuk memberdayakan para penenun. Bersama perkumpulan tersebut, ia mendampingi para perajin tenun agar menciptakan kain yang sesuai dengan selera pasar. 

Lalu, untuk mencegah punahnya kain tenun, Dian turut berupaya meningkatkan minat generasi muda menjadi perajin tenun tradisional. Salah satu caranya adalah memberikan beasiswa pendidikan dari hasil penjualan produk Oerip Indonesia kepada anak-anak penenun di daerah. Total ada 26 anak yang menerima uang tunai tiap bulan. Mereka tersebar di berbagai daerah, dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, hingga Papua.

•••

INISIATIF Dian Kumalasari alias Dian Oerip dalam pelestarian wastra muncul dari hobi jalan-jalan semasa dia kuliah pada 2005. Saat itu dia mulai tertarik pada wastra dan mengumpulkan kain tradisional dari berbagai daerah yang ia kunjungi.

Tiga tahun kemudian, jenama Oerip Indonesia lahir. Dian merancang sendiri pakaian yang ia buat dari koleksi wastra Nusantara, lalu menjualnya di Facebook.

Merintis bisnis dari nol bukan perkara mudah. Dian tidak memiliki jaringan, juga tak berasal dari keluarga berada. Ayahnya adalah pegawai negeri sipil. Bermodal keyakinan, ketulusan, dan fokus, ia membuat pakaian dengan mesin jahit mini yang dibelinya seharga Rp 250 ribu. “Jahitannya jelek banget. Iseng, tapi cinta,” tuturnya.

Dian menyebut karya pertamanya itu “kecelakaan” karena dia menciptakan baju tanpa potongan lengan. Ia mengaku saat itu tidak bisa membuat pola, juga tak suka memakai baju ketat. Karena itu, ia menciptakan baju lepas-bebas dan gombrong sesuai dengan seleranya. Ia menamai model pakaian tersebut Ethnic is Classic.

Saat menjual pakaian itu, Dian mengaku dipandang sebelah mata dan dirisak di media sosial. Karyanya disebut tak punya potongan dan acakadut, bahkan ia diminta tak berjualan. Namun ia santai menanggapinya dan terus berjualan.

Di balik “kecelakaan” itu, rupanya ada hikmah yang bisa Dian petik. Ia menyadari motif pada kain tenun justru utuh dan menjadi penghargaan untuk para penenun. Kain tersebut minimal hanya dipotong menjadi dua agar harganya tidak terlalu mahal.

Ada dua jenis pakaian yang dijual Oerip Indonesia, yaitu irit dan premium. "Aku enggak idealis harus mahal semua, kain terbaik. Kemampuan orang enggak sama, jadi kain juga macam-macam. Ada yang harganya irit," kata penggemar novel karya Gol A Gong ini.

Pakaian berjenis irit dia hargai mulai Rp 200-an ribu agar bisa menjangkau banyak pembeli, antara lain mahasiswa serta orang yang baru mulai bekerja dan ingin mencoba memakai wastra. Dian mengatakan pakaian tipe irit justru punya banyak penggemar.

Oerip Indonesia tak sekadar menjual pakaian. Kisah para penenun yang terdokumentasi dalam setiap perjalanan Dian juga menjadi salah satu nilai jual. Orang yang mengenakannya pun bisa merasakan hal yang sama. "Ini sebuah sambung rasa antara penenunnya dan saya serta pemakainya. Akhirnya kami jadi keluarga."

Berkecimpung belasan tahun di dunia mode, Dian Oerip, yang lahir di Ngawi, Jawa Timur, tak pernah mencicipi bangku sekolah fashion. Ia menempuh pendidikan diploma jurusan teknik kimia di Politeknik Negeri Malang, Jawa Timur, dan sarjana di Universitas Diponegoro, Semarang.

Setelah lulus, perempuan yang memiliki hobi fotografi ini bekerja di sebuah perusahaan jasa survei di Serang, Banten. Tugasnya mengadakan pemetaan gas bumi dalam negeri. "Tapi itu bukan duniaku. Aku terkungkung dan enggak happy," ucapnya.

Setahun kemudian, Dian bekerja di perusahaan yang memproduksi alat tes kehamilan di Jakarta. Namun ia lagi-lagi merasa pekerjaan itu bukan dunianya. Karena itu, pada 2008, Dian nekat membuka Oerip Indonesia, yang kini sudah memiliki 80 pegawai di Ngawi dan distributor di Belanda, Inggris, serta Amerika Serikat.

Perjalanan Oerip Indonesia menembus pasar dunia bermula pada 2015. Media sosial menjadi pintu yang membukakan jalan. Dian mendapat undangan mengikuti Asian Cultural Festival. Meski tanpa bekal uang cukup, ia nekat berangkat membawa wastra Nusantara. Tak ia sangka, banyak pengunjung festival yang kagum terhadap kain Indonesia. 

Dian Erra Kumalasari (kanan) bersama penenun Tapanuli Utara, di Sumatera Utara. Dok. Pribadi

Sejak saat itu, Dian sering berkelana ke berbagai negara untuk menjajakan wastra. Dia antara lain mendatangi Yunani. Satu koper berisi kain tradisional habis terjual. Pulang ke Indonesia, ia membawa uang dan membeli tenun lagi. 

Di dalam negeri, produk Oerip Indonesia digemari para pejabat hingga pesohor. Salah satu produk unggulan Oerip berupa peta wastra Indonesia, misalnya, dibeli Presiden Joko Widodo yang berkunjung ke Ngawi pada akhir 2021 serta dikenakan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno.

Peta wastra Indonesia tersebut mempresentasikan tenun dari setiap wilayah Tanah Air. Dian menggunakan perca-perca wastra yang ia kumpulkan dan susun dalam pola peta wilayah Indonesia. "Biasanya jadi hadiah pejabat yang pindah. Nyarinya peta," tuturnya.

Ide membuat peta kain pada pakaian itu muncul ketika Dian melihat lukisan yang menggambarkan wastra dari salah satu pulau di Nusa Tenggara Timur. Dari pengalaman itu, ia mengembangkan kreativitasnya hingga pakaian tersebut menjadi produk unggulan Oerip Indonesia sampai saat ini.

Pasangan selebritas Nadine Chandrawinata dan Dimas Anggara juga melirik karya Dian. Saat menikah pada 2018, mereka mempercayai Dian sebagai perancang gaun pernikahan. Busana pernikahan Nadine dan Dimas yang bermodel kimono terbuat dari tenun Sumba.

•••

SELAMA sekitar 16 tahun bergelut dengan dunia wastra, Dian Oerip menemukan banyak hal "ajaib" di samping materi. Ia menuturkan, kain dapat melindungi dan menyembuhkan orang dari masalah kesehatan seperti demam dan meriang. Caranya, cukup menggunakan wastra untuk menyelimuti tubuh. "Karena wastra mengandung doa. Dan saya buktikan sendiri. Itu kembali ke orangnya, percaya atau enggak," ujarnya.

Begitu pula ketika Dian melakukan ekspedisi ke berbagai daerah untuk melakukan riset dan menemui para penenun. Ia merasa ada keanehan ketika tak kesulitan menemukan penenun di pedalaman lantaran seakan-akan terkoneksi. 

Sewaktu bepergian sendiri ke Sulawesi beberapa tahun lalu, misalnya, Dian hanya mengenal satu informan. Dari orang tersebut, ia diperkenalkan dengan sumber lain hingga akhirnya bisa bertemu dengan perajin tenun yang paling cakap di daerah itu.

Menurut Dian, momen-momen bersama wastra bak perjalanan spiritual. Ada banyak sisi lain dari kain tenun yang jarang diketahui orang. Dia berkisah, pernah suatu ketika ia berjumpa dengan dua penenun berusia 65 dan 70 tahun di Sumba. 

Pendiri Oerip Indonesia, Dian Erra Kumalasari bersama penenun dari Kampung Bena, Bajawa, NTT. Dok. pribadi

Kedua penenun itu masih bagian dari keluarga raja sehingga tidak ada yang berani menikahi mereka karena maharnya tinggi. Keduanya akhirnya menganggap tenun sebagai suami. "Bisa menafkahi, tidak menyakiti, dan menenun penuh cinta," kata Dian. 

Bahkan, ketika Dian menjajaki pasar global, keajaiban itu berlanjut. Dian bisa membuka toko cabang di Rotterdam, Belanda, tanpa keluar modal karena ada anggota Oerip Lovers yang kebetulan memiliki toko es krim di sana dan menawarkan konsinyasi. Jadi ia hanya perlu menitipkan barang dagangannya di sana. 

"Banyak yang bilang, 'Jualanmu tuh enggak mahal, kok, kamu bisa menghidupi sebanyak itu?'. Ya, ini wastra. Ini jalannya Tuhan dan wastra ini ajaib. Banyak hal ajaib ketika bicara wastra," ucap Dian.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus