MENYAKSIKAN pameran para pengajar Akademi Senirupa LPKJ di ruang
pameran TIM (1 s/d 7 Desember) kita diingatkan bahwa perguruan
ini belum sempat mencetak seorang "seniman". Barangkali usia 6
tahun terlalu muda, sehingga hasil sil yang dicapai baru dalam
taraf penyusunan staf pengajar dan merencanakan kurikulum.
Menilik karya para "suhu" ini LPKJ seharusnya tidak perlu merasa
pesimis. Sederetan nama yang cukup tersohor seperti Srihadi.
Zaini, Peransi, Kusnadi, Baharuddin, dengan tenaga-tenaga muda
seperti Hildawati Sidharta, S. Prinka, Ananda Adhi Moersid
ditambah lagi dengan Angkama Setjadipradja. Arsono, Wiyoso,
Yusuf Effendi, Boeling Priyadi. Djoni Djuhari, Hanny Najoan,
Sukamto. Wisaksono, merupakan latar tolak yang cukup kuat.
Tetapi demikianlah adanya: sampai kini belum kelihatan akan
lahir calon-calon raksasa yang baru. Padahal tidak seharusnya
kita percaya lagi hahwa seniman-seniman besar lahir di luar
Akademi.
Berbulu
Dalam ruang pameran kali ini, tidak ada sesuatu yang luar biasa
terjadi pada sektor lukis. Baharuddin tetap memperlihatkan
semangatnya. Dia membuat komposisi dengan kertas-kertas tempel,
tetapi belum sempat lebih berhasil dari kanvas-kanvasnya
sendiri. Pada beberapa kanvas kemuraman dan kesendiriannya
sempat menampilkan haru. Tapi ini seakan-akan pancaran rutin
dari temperamen sang pelukis.
Kerutinan yang sama kita jumpai pula pada Srihadi yang
menampilkan 3 buah lukisan yang besar formatnya. Lagi-lagi garis
horison, laut, pantai, perahu yang begitu lancarnya. Dalam latar
merah dan garis horison yang lempeng sekali terlihat bundaran
merah di langit, barangkali ini matahari sore. Sementara di
dekatnya ada sebuah lukisan wanita berbaju biru dengan latar
putih ("Baju Biru") yang agaknya merupakan acara lain dari
horison Srihadi.
Di dinding yang lain terlihat Zaini dengan sapuan-sapuan
transparan, memamerkan sket-sket yang sempat menangkap
suasana pemandangan serta getaran-getaran perasaanya
sendiri.
Lalu muncul Prinka dengan 5 buah karyanya. Orang ini enerjik.
punya rasa humor yang cenderung menjadi satire. Sebuah karyanya
menunjukkan bahagian bawah gaun wanita. darimana tersembul kaki
berwarna oranye. Kaki itu memakai sepatu dengan tali yang
berbulu. Penekanan pada bulu. Ada semacam rasa geli, mustahil.
kenakalan dan pada akhirnya kesan seperti kita sedang
mendengarkan sebuah anekdot.
Kusnadi sempat pula menampilkan garis-garis pendek yang ritmis
dengan 3 buah karyanya. Ada sesuatu yang lembut dan bersahaja
keluar dari lukisannya yang menimbulkan suasana damai dari
sebuah kota yang bernama Yogya. Ke bersahajaan ini juga rupanya
menjadi acuan dari lukisan-lukisan pemandangan Angkama dengan
garis dan warna-warna yang lebih bergolak, tetapi jelas maunya
kesederhanaan yang damai. Nada tersebut berbeda sekali dengan
Yusuf Affendi yang berniat memotret kenyataan yang lebih komplex
dan bergolak dengan sebuah karyanya yang berjudul, "Dunia Hari
Ini" - misalnya. Karya-karya tersebut pada umumnya (juga yang
dari tangan Peransi, Boeling, Djoni Wisaksono) lebih merupakan
semacam absensi hadir dari para suhu, bahwa mereka terus juga
bekerja di samping mengajar.
Barangkali karya grafis Sukamto yang mengajak untuk
diperhatikan, setelah pelukis kelahiran Solo ini pulang dari
Negeri Belanda untuk memperdalam seni grafis atas biaya C.R.M.
Ada kesegaran, kecermatan dan kesungguhan dalam karya karya
Sukamto yang memberikan perspektif yang baik untuk masa
depannya.
Tema Pokok
Ruang pameran terasa sesak karena adanya karya-karya patung dari
besi dan kayu serta keraunik yang memakan tempat. Di sini kita
merasakan bahwa faktor cahaya, misalnya, merupakan bagian
penting dari karya-karya tersebut, di samping "ruang".
Ketidak-mungkinan untuk mengusahakan kedua hal tersebut menurut
kebutuhan karyanya, menyebabkan konstruksi balok Ananda Adhi
Moersid terasa kurang mencapai efek. Juga keramik-keramik
"berantakan" dari Hildawati Sidhartha, yang menyuguhkan material
keramik sebagai materi untuk berekspresi menangkap momen
dramatik dalam kehidupan - baru terasa sebagai semacam
keberanian untuk sesuatu yang statis sebelumnya. Sementara
Arsono dengan penemuannya membuat konstruksi pipa-pipa terasa
tanpa kesempatan untuk menampilkan irama yang keluar dari
konstruksi itu.
Tetapi kendatipun demikian Hildawati masih sempat membuat kita
untuk tertegun sebentar, untuk menikmati sebuah keju dua buah
pipa yang pecah, beberapa tonggak kuning berjajar dan separuhnya
seperti menancap ke dinding semuanya dari keramik sambil
merasakan ada sesuatu yang tak beres sedang terjadi dalam
kehidupan.
Pallleran yang dimaksudkan sebagai tradisi tahunan ini bisa
menjadi hambar nantinya, kalau tidak diberikan sebuah tema
pokok. Muncul bersama-sama memang bisa kelihatan rame, tetapi
dalam kebersamaan itu, bagaimana kalau tidak ada suara yang bisa
didengar karena satu sama lain hanya saling sandar menyandar.
Dengan sebuah tema pokok barang kali para sullu ini seperti
tertantang untuk melakukan sesuatu yang spesial. Barangkali.
saja.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini