Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pameran Para Suhu

Pameran seni rupa oleh para pengajar akademi seni rupa lpkj di tim. meski belum berbobot tak perlu pesimis. pameran merupakan tradisi tahunan, perlu tema pokok. (sn)

18 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENYAKSIKAN pameran para pengajar Akademi Senirupa LPKJ di ruang pameran TIM (1 s/d 7 Desember) kita diingatkan bahwa perguruan ini belum sempat mencetak seorang "seniman". Barangkali usia 6 tahun terlalu muda, sehingga hasil sil yang dicapai baru dalam taraf penyusunan staf pengajar dan merencanakan kurikulum. Menilik karya para "suhu" ini LPKJ seharusnya tidak perlu merasa pesimis. Sederetan nama yang cukup tersohor seperti Srihadi. Zaini, Peransi, Kusnadi, Baharuddin, dengan tenaga-tenaga muda seperti Hildawati Sidharta, S. Prinka, Ananda Adhi Moersid ditambah lagi dengan Angkama Setjadipradja. Arsono, Wiyoso, Yusuf Effendi, Boeling Priyadi. Djoni Djuhari, Hanny Najoan, Sukamto. Wisaksono, merupakan latar tolak yang cukup kuat. Tetapi demikianlah adanya: sampai kini belum kelihatan akan lahir calon-calon raksasa yang baru. Padahal tidak seharusnya kita percaya lagi hahwa seniman-seniman besar lahir di luar Akademi. Berbulu Dalam ruang pameran kali ini, tidak ada sesuatu yang luar biasa terjadi pada sektor lukis. Baharuddin tetap memperlihatkan semangatnya. Dia membuat komposisi dengan kertas-kertas tempel, tetapi belum sempat lebih berhasil dari kanvas-kanvasnya sendiri. Pada beberapa kanvas kemuraman dan kesendiriannya sempat menampilkan haru. Tapi ini seakan-akan pancaran rutin dari temperamen sang pelukis. Kerutinan yang sama kita jumpai pula pada Srihadi yang menampilkan 3 buah lukisan yang besar formatnya. Lagi-lagi garis horison, laut, pantai, perahu yang begitu lancarnya. Dalam latar merah dan garis horison yang lempeng sekali terlihat bundaran merah di langit, barangkali ini matahari sore. Sementara di dekatnya ada sebuah lukisan wanita berbaju biru dengan latar putih ("Baju Biru") yang agaknya merupakan acara lain dari horison Srihadi. Di dinding yang lain terlihat Zaini dengan sapuan-sapuan transparan, memamerkan sket-sket yang sempat menangkap suasana pemandangan serta getaran-getaran perasaanya sendiri. Lalu muncul Prinka dengan 5 buah karyanya. Orang ini enerjik. punya rasa humor yang cenderung menjadi satire. Sebuah karyanya menunjukkan bahagian bawah gaun wanita. darimana tersembul kaki berwarna oranye. Kaki itu memakai sepatu dengan tali yang berbulu. Penekanan pada bulu. Ada semacam rasa geli, mustahil. kenakalan dan pada akhirnya kesan seperti kita sedang mendengarkan sebuah anekdot. Kusnadi sempat pula menampilkan garis-garis pendek yang ritmis dengan 3 buah karyanya. Ada sesuatu yang lembut dan bersahaja keluar dari lukisannya yang menimbulkan suasana damai dari sebuah kota yang bernama Yogya. Ke bersahajaan ini juga rupanya menjadi acuan dari lukisan-lukisan pemandangan Angkama dengan garis dan warna-warna yang lebih bergolak, tetapi jelas maunya kesederhanaan yang damai. Nada tersebut berbeda sekali dengan Yusuf Affendi yang berniat memotret kenyataan yang lebih komplex dan bergolak dengan sebuah karyanya yang berjudul, "Dunia Hari Ini" - misalnya. Karya-karya tersebut pada umumnya (juga yang dari tangan Peransi, Boeling, Djoni Wisaksono) lebih merupakan semacam absensi hadir dari para suhu, bahwa mereka terus juga bekerja di samping mengajar. Barangkali karya grafis Sukamto yang mengajak untuk diperhatikan, setelah pelukis kelahiran Solo ini pulang dari Negeri Belanda untuk memperdalam seni grafis atas biaya C.R.M. Ada kesegaran, kecermatan dan kesungguhan dalam karya karya Sukamto yang memberikan perspektif yang baik untuk masa depannya. Tema Pokok Ruang pameran terasa sesak karena adanya karya-karya patung dari besi dan kayu serta keraunik yang memakan tempat. Di sini kita merasakan bahwa faktor cahaya, misalnya, merupakan bagian penting dari karya-karya tersebut, di samping "ruang". Ketidak-mungkinan untuk mengusahakan kedua hal tersebut menurut kebutuhan karyanya, menyebabkan konstruksi balok Ananda Adhi Moersid terasa kurang mencapai efek. Juga keramik-keramik "berantakan" dari Hildawati Sidhartha, yang menyuguhkan material keramik sebagai materi untuk berekspresi menangkap momen dramatik dalam kehidupan - baru terasa sebagai semacam keberanian untuk sesuatu yang statis sebelumnya. Sementara Arsono dengan penemuannya membuat konstruksi pipa-pipa terasa tanpa kesempatan untuk menampilkan irama yang keluar dari konstruksi itu. Tetapi kendatipun demikian Hildawati masih sempat membuat kita untuk tertegun sebentar, untuk menikmati sebuah keju dua buah pipa yang pecah, beberapa tonggak kuning berjajar dan separuhnya seperti menancap ke dinding semuanya dari keramik sambil merasakan ada sesuatu yang tak beres sedang terjadi dalam kehidupan. Pallleran yang dimaksudkan sebagai tradisi tahunan ini bisa menjadi hambar nantinya, kalau tidak diberikan sebuah tema pokok. Muncul bersama-sama memang bisa kelihatan rame, tetapi dalam kebersamaan itu, bagaimana kalau tidak ada suara yang bisa didengar karena satu sama lain hanya saling sandar menyandar. Dengan sebuah tema pokok barang kali para sullu ini seperti tertantang untuk melakukan sesuatu yang spesial. Barangkali. saja. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus