Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seniman transpuan menggelar pameran seni Ruang Rasa di Goethe-Institut, Jakarta Pusat.
Karya-karya mereka, juga seorang seniman perempuan, menggambarkan stigmatisasi yang diterima para transpuan.
Lewat karya-karya seni mereka, pengunjung diajak merasakan langsung perlakuan yang diterima para transpuan.
Menyusuri lorong gelap, pengunjung pameran seni Ruang Rasa di Goethe-Institut, Menteng, Jakarta Pusat, diajak merasakan stigma negatif yang selama ini menimpa transgender. Melalui Bluetooth headphone, diperdengarkan ekspresi kemarahan wajah-wajah di tiap tirai yang divisualisasikan dalam bentuk hologram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makian dan cibiran datang tanpa koma. “Percuma berbuat baik. Ibadah tidak akan Tuhan terima. Bikin malu keluarga. Tidak punya masa depan. Pembawa penyakit.” Semuanya terasa menusuk hati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah menyusuri lorong, pengunjung memasuki kamar. “Kamar pada akhirnya jadi tempat untuk mengeksplorasi diri, tempat penerimaan diri, juga simbol kekuatan,” ujar Anggun Pradesha, transgender perempuan yang membuat seni instalasi berjudul Hantu Penghakiman itu, di lokasi, pada Rabu, 20 Maret lalu.
Seni instalasi ruang "Hantu Penghakiman dan Gestur Kekuatan" karya Anggun Pradesha dalam pameran "Ruang Rasa" di Goethe-Institut, Menteng, Jakarta, 24 Maret 2024. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Anggun merupakan satu dari tiga seniman yang menampilkan karyanya dalam pameran Ruang Rasa yang digelar Sanggar Swara tersebut. Ruang Penghakiman menjadi karya instalasi pertama Anggun, 37 tahun, yang sebelumnya lebih dikenal sebagai sutradara film pendek yang juga mengangkat isu transpuan. “Ini hal-hal yang coba kami perjuangkan untuk melawan stigma,” ujarnya.
Pameran yang dibuka pada Rabu, 20 Maret lalu, itu menampilkan karya dua seniman transpuan dan satu perempuan. Pembukaan diramaikan pentas nyanyian, tarian, dan film pendek yang menceritakan kehidupan transpuan. Pameran ini ditutup pada Ahad, 24 Maret 2024.
Sebagai gay, James—bukan namanya sebenarnya, pengunjung pameran—merasa terwakili oleh pesan yang disuarakan Anggun. Menurut dia, stigma kerap datang dari lingkaran terdekat mereka. James merasa bersyukur karena keluarga menerima pilihan hidupnya. Namun banyak yang tidak seberuntung dia.
Seniman lain yang tampil dalam Ruang Rasa adalah Ika Vantiani. Menurut perempuan itu, pameran seni tersebut tidak hanya membawa suara transpuan, tapi juga semua puan. Dia bersama tujuh transpuan menciptakan karya seni kolase yang dipajang di bagian muka ruang pameran.
Terdapat tujuh bingkai kolase yang menceritakan pengalaman pahit yang mereka rasakan. Ika lalu mengemasnya menjadi tiga karya baru dalam tiga medium, yaitu akrilik, filter Instagram, dan animasi. Untuk karyanya yang ketiga, ia berkolaborasi dengan Ishvara Devati, seniman transpuan yang juga menampilkan karyanya di Goethe-Institut dalam ekshibisi itu.
Pengunjung melihat seni kolase karya kolaborator transpuan dalam pameran "Ruang Rasa" di Goethe-Institut, Menteng, Jakarta, 24 Maret 2024. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Pada satu kolase, terpampang gambar puluhan pasang mata buatan Yumma Fae, rekan transpuan Ika. Pada keterangan gambar disebutkan bagaimana dia selalu merasa dilihat dengan pandangan berbeda. Cara pandang itu tak jarang menimbulkan perasaan panik, bingung, serta khawatir.
Menurut Ika, stigma-stigma yang dirasakan oleh transpuan memiliki kemiripan dengan yang diterima perempuan. Masih banyak orang yang mempermasalahkan identitas gender. “Di lingkungan heteronormatif yang patriarki, seolah-olah kami sebagai perempuan tidak utuh tanpa hal-hal yang mereka sematkan kepada kami,” katanya.
Karya lain yang bisa dinikmati dalam pameran seni Ruang Rasa adalah animasi buatan Ishvara Devati. Pengunjung bisa menyaksikannya via lensa virtual reality (VR). Dia hendak menggambarkan bagaimana orang dengan transfobia—ketakutan, kebencian, atau diskriminasi terhadap transgender—memandang transpuan.
Materi yang diangkat Ishvara tergolong unik. Animasinya menggambarkan alien transpuan yang mengunjungi pusat belanja. Dia hendak mengetahui bagaimana penduduk bumi memandang transpuan. Yang terjadi adalah para pengunjung mal memandang alien itu dengan aneh. Demikian pula sebaliknya, si alien melihat tuan rumah sebagai makhluk aneh. “Jadi pandangan aneh ini sebenarnya soal sudut pandang,” ujar Ishvara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo