SAMPAI beberapa tahun silam kekhawatiran utama kebanyakan negara di Asia terhadap RRC tak lain dari kecenderungan negara besar itu untuk mengekspor revolusi. Gejala itu terutama mewarnai kawasan tempat partai-partai komunis lokal aktif mengangkat senjata melawan pemerintah yang sah. Atau di negara-negara yang etnis Tionghoanya cukup besar dan berperan penting. Perasaan khawatir itu terutama didasarkan pada kecurigaan bahwa Beijing akan selalu menyokong para pembangkang komunis di mana pun mereka bergerak, dan akan selalu memelihara pertalian etnis dengan golongan minoritas Tionghoa di mana pun mereka berada. Naiknya Orde Baru di bawah Deng Ziaoping sejak akhir 1970-an membawa udara baru terhadap tingkah laku RRC di masyarakat dunia. Sekarang amat jarang kita menemukan tulisan atau pernyataan para pemimpin Cina yang memuji-muji atau mendukung Gerakan Pembebasan Nasional -- kata kunci untuk para pemberontak komunis. Tentu saja itu dengan perkecualian: dilanjutkannya dukungan terhadap para mujahidin di Afghanistan, PLO, dan pejuang-pejuang anti-Vietnam di Kamboja. Bahkan dalam urusan dengan kelompok etnis Tionghoa pun Beijing sudah memperlihatkan sikap realistis yang sudah dilembagakan. Misalnya, pengesahan undang-undang kewarganegaraan baru pada 1980 yang meninggalkan asas ius-sanguneus. Sikap lebih pragmatis itu sedikit banyak dipengaruhi oleh kebijaksanaan ekonomi dan politik luar negeri baru yang dicakup program Empat Modernisasi. Pendek kata, sekarang para pengusaha Beijing lebih berorientasi ke pembangunan ekonomi dalam negeri, dan penganutan politik dan ekonomi luar negeri yang "bebas dan terbuka". Untuk itu RC tak segan-segan membuka hubungan dagang dengan negara mana pun tanpa melihat pertimbangan ideologi atau sikap negara itu terhadap Cina. Contohnya, hubungan ekonomi dengan Singapura dan kontak dagang yang makin erat dengan Korea Selatan akhir-akhir ini. Bertalian dengan itu sungguh menarik pendapat yang dikemukakan Harry Harding, ahli masalah politik Cina dari Brookings Institute di Washington. Ia beranggapan bahwa kebijaksanaan ekonomi baru yang dianut Cina merupakan upaya meniru Jepang pada 1960-an dulu, ketika ia muncul sebagai kekuatan raksasa ekonomi baru dunia. Dengan demikian, bagaimanapun serunya Empat Modernisasi dipacu, Cina akan selalu membatasi impor hanya sampai pada batas masuknya teknologi modern yang diperlukannya untuk modernisasi ekonomi. Akibatnya, menurut Harding, kebijaksanaan perdagangan luar negeri Cina di masa depan akan ditandai dengan proteksionisme. Yakni, membatasi impor dan mendorong ekspor semaksimal mungkin. Itu tak jauh dari fatwa Mendiang Mao yang pernah mengatakan, "Biarlah segala hal yang berasal dari luar mengabdi untuk kepentingan Cina." Sebenarnya usaha mengikuti jejak Jepang bukan sesuatu yang baru. Di akhir abad silam pernah terjadi suatu gerakan pembaruan yang dipimpin dua tokoh modernis Kang Youwei dan Liang Qichao. Malangnya, karena masih tebalnya konservatisme Konfusianis, program modernisasi yang berambisi meniru Jepang setelah Restorasi Meiji itu berumur pendek. Itulah sebabnya dalam sejarah Cina gerakan tersebut dinamakan "Reformasi Seratus Hari". Berkaca pada kegagalan gerakan modernisasi di masa lalu, banyak yang sangsi akan keberhasilan Empat Modernisasi. Birokrasi dan kepadatan penduduk kali ini dianggap sebagai penghalang utama. Gerakan pembaruan yang dimotori Deng masih diragukan kelangsungannya apabila ia wafat kelak. Jumlah penduduk yang menggelembung akan menyerap sumber-sumber yang seharusnya diperuntukkan demi suksesnya Empat Modernisasi. Di satu pihak banyak yang merasa senang dengan politik Cina dewasa ini yang berorientasi ke pembangunan ekonomi dalam negeri. Mereka berharap dengan kebijaksanaan seperti sekarang, Cina akan beralih dari kesibukan impor revolusi ke impor komoditi. Tambahan lagi, kalau Cina tenang, keamanan regional pun akan terjamin pula. Tetapi, di pihak lain ada juga yang memandang kecenderungan di atas dari segi lain. Jepang sebagai raksasa ekonomi dunia dan beberapa negara industri baru seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura telah mulai mencium ancaman Cina terhadap ekspor mereka. Tak heran apabila seorang sinolog Jepang dengan terus terang mengatakan kepada Harry Harding, "Kami berharap agar Cina memusatkan seluruh perhatian, dana, dan daya untuk modernisasi. Kami juga berharap agar ia tak akan pernah berhasil."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini