MENJELANG pemilu, para dalang dikumpulkan di Semarang. Acara
Kanwil Departemen Penerangan Jawa Tengah itu, 3-5 Desember,
dihadiri 80 orang yang sebagian besarnya para dalang dari
berbagai pelosok. Yang dilakukan adalah diskusi--sekitar masalah
'titipan' dalam pertunjukan wayang kulit.
Sebagai contoh, di malam pembukaan dipertunjukkan sebuah lakon
yang diakui sendiri oleh pengarangnya--yang bertindak sebagai
dalang-- "100% pesanan pemerintah". Lakon bikinan Soemanto,
dalang muda dari ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) Sala
ini, berbentuk pakeliran padat--pertunjukan yang dipadatkan
menjadi hanya dua Jam -- dan berjudul Mbangun Astina.
Itulah contoh pemenuhan pesan yang benar-benar utuh. Sehabis
Perang Bharatayudha, ceritanya, Kerajaan Hastina dilanda
kesusahan. Barang kebutuhan sulit didapat, harga-harga
melambung, dan seterusnya. Pandawa, pihak yang menang perang --
yang sendirinya adalah sepupu para penguasa Hastina--lantas
menyusun program pembangunan bagi negeri yang baru kalah itu.
Eh, ada kericuhan. Seorang bupati memberontak: dalam masa
transisi itu ia rupanya ingin menduduki tahta. Tapi tentu saja
krisis tersebut bisa diatasi.
Prabu Hastina, saudara tertua Pandawa, lantas diangkat menjadi
raja Hastina, dengan tugas melaksanakan itu pembangunan . . .
Goro-goro
Terhadap lakon "Hastina Orde Baru" itu, para dalang yang
menyaksikannya umumnya memuji. Pesan alias titipan di situ
memang bukan lagi barang tempelan yang mentah, yang eksplisit.
Tapi merupakan roh dari cerita sendiri.
Dan dari pembicaraan tiga hari tersebut kelihatan, pelaksanaan
pesan--dari pemerintah, khususnya--ternyata bukan pekerjaan yang
terlalu mudah. Memang, para dalang lazim dibilang
"komunikator"--biasanya dengan pengertian "gampang dititipi".
Lebih-lebih seni pedalangan sendiri biasa dianggap "fleksibel",
alias "luwes". Padahal para dalang itu seniman juga--yang
betapapun ingin populer, atau ingin selamat, hakikatnya tetap
prihatin pada masalah 'mutu '.
Ki Haji Anom Suroto misalnya, dalang yang terhitung paling
populer di Sala sekarang. Seniman yang baru berusia 33 tahun ini
menyatakan, "seniman itu bebas dan bertanggungjawab." Dan
"sebagai warga negara yang baik, saya harus membantu
pemerintah." Toh setiap pesan resmi akan membuatnya merenung.
"Untuk mencari adegan yang cocok, jadi tidak asal tempel."
Sehingga, bila sebuah pesan datangnya mendadak, misalnya hanya
sehari sebelumnya, "ya terpaksa saya masukkan dalam goro-goro ".
Yang terakhir ini adalah nama adegan lelucon para punakawan
(Semarareng-Petruk-Bagong), biasanya muncul tengah malam dan
merupakan "kesempatan bebas". Di sini misalnya tokoh Gareng bisa
bicara -sambil melucu -- tentang lingkungan RT-nya yang becek
waktu hujan, penuh sampah dan got mampet, misalnya. Itu sudah
sejak dulu.
Tapi pesan yang "sulit-sulit" biasanya memang datang dari
pejabat--seperti diakui Ki Haji Anom. Dan untuk memasangnya di
tubuh cerita, di tempat yang "lebih berwibawa", memang memerluka
keahlian. Dalang Soemanto sendiri, yang telah mementaskan Astina
tadi, mengaku kepada TEMPO tidak semua pesan bisa diangkut dalam
pertunjukahnya. Pesan pembangunan, sudah dengan sendirinya. P4
juga sudah tercakup. Lebih-lebih Pancasila. Tapi pesan yang satu
ternyata tidak termuat. Apa, Mas? "Pemilu," jawabnya. "Nggak
tahu ya, kok nggak kecandak, katanya, tertawa.
Entah barangkali Dalang Soemanto lupa menyebut "pohon beringin
di alunalun". Tapi memang tidak selalu mudah. Kalaupun seorang
dalang sudah berketetapan hati--atau karena wajib--menyebut
sebuah titipan secara wungkul alias apa adanya, faktor lain
harus diingat. Yakni penonton. Dalang Haji Anom Suroto tadi bisa
berkisah bila ia menyebut "secara ceplas-ceplos saja" hal-hal
sepeti P4, KB, pemilu, penonton bisa menyoraki. Dengan kata
lain: mereka protes. "Bisa-bisa kita tidak d itanggap lagi,"
katanya.
Tapi bagi Soemanto, ada lagi masalah yang lebih luas. Dewasa
ini, menurut dia dalam ceramah pada kesempatan itu, tujuan
pedalangan yang pokok seperti tersisih. Yakni "menggarap masalah
rohani yang wigati," alias penting dan mendasar. Unsur pesanan,
bagi Soemanto, termasuk sebab-sebab pendangkalan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini