Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Penanggungan para dalang

Diskusi para dalang yang membahas masalah "titipan" dalam pertunjukan wayang kulit, diselenggarakan oleh kanwil dep. penerangan ja-teng, bertempat di semarang. tapi tidak semua pesan dapat ditampilkan.

19 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG pemilu, para dalang dikumpulkan di Semarang. Acara Kanwil Departemen Penerangan Jawa Tengah itu, 3-5 Desember, dihadiri 80 orang yang sebagian besarnya para dalang dari berbagai pelosok. Yang dilakukan adalah diskusi--sekitar masalah 'titipan' dalam pertunjukan wayang kulit. Sebagai contoh, di malam pembukaan dipertunjukkan sebuah lakon yang diakui sendiri oleh pengarangnya--yang bertindak sebagai dalang-- "100% pesanan pemerintah". Lakon bikinan Soemanto, dalang muda dari ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) Sala ini, berbentuk pakeliran padat--pertunjukan yang dipadatkan menjadi hanya dua Jam -- dan berjudul Mbangun Astina. Itulah contoh pemenuhan pesan yang benar-benar utuh. Sehabis Perang Bharatayudha, ceritanya, Kerajaan Hastina dilanda kesusahan. Barang kebutuhan sulit didapat, harga-harga melambung, dan seterusnya. Pandawa, pihak yang menang perang -- yang sendirinya adalah sepupu para penguasa Hastina--lantas menyusun program pembangunan bagi negeri yang baru kalah itu. Eh, ada kericuhan. Seorang bupati memberontak: dalam masa transisi itu ia rupanya ingin menduduki tahta. Tapi tentu saja krisis tersebut bisa diatasi. Prabu Hastina, saudara tertua Pandawa, lantas diangkat menjadi raja Hastina, dengan tugas melaksanakan itu pembangunan . . . Goro-goro Terhadap lakon "Hastina Orde Baru" itu, para dalang yang menyaksikannya umumnya memuji. Pesan alias titipan di situ memang bukan lagi barang tempelan yang mentah, yang eksplisit. Tapi merupakan roh dari cerita sendiri. Dan dari pembicaraan tiga hari tersebut kelihatan, pelaksanaan pesan--dari pemerintah, khususnya--ternyata bukan pekerjaan yang terlalu mudah. Memang, para dalang lazim dibilang "komunikator"--biasanya dengan pengertian "gampang dititipi". Lebih-lebih seni pedalangan sendiri biasa dianggap "fleksibel", alias "luwes". Padahal para dalang itu seniman juga--yang betapapun ingin populer, atau ingin selamat, hakikatnya tetap prihatin pada masalah 'mutu '. Ki Haji Anom Suroto misalnya, dalang yang terhitung paling populer di Sala sekarang. Seniman yang baru berusia 33 tahun ini menyatakan, "seniman itu bebas dan bertanggungjawab." Dan "sebagai warga negara yang baik, saya harus membantu pemerintah." Toh setiap pesan resmi akan membuatnya merenung. "Untuk mencari adegan yang cocok, jadi tidak asal tempel." Sehingga, bila sebuah pesan datangnya mendadak, misalnya hanya sehari sebelumnya, "ya terpaksa saya masukkan dalam goro-goro ". Yang terakhir ini adalah nama adegan lelucon para punakawan (Semarareng-Petruk-Bagong), biasanya muncul tengah malam dan merupakan "kesempatan bebas". Di sini misalnya tokoh Gareng bisa bicara -sambil melucu -- tentang lingkungan RT-nya yang becek waktu hujan, penuh sampah dan got mampet, misalnya. Itu sudah sejak dulu. Tapi pesan yang "sulit-sulit" biasanya memang datang dari pejabat--seperti diakui Ki Haji Anom. Dan untuk memasangnya di tubuh cerita, di tempat yang "lebih berwibawa", memang memerluka keahlian. Dalang Soemanto sendiri, yang telah mementaskan Astina tadi, mengaku kepada TEMPO tidak semua pesan bisa diangkut dalam pertunjukahnya. Pesan pembangunan, sudah dengan sendirinya. P4 juga sudah tercakup. Lebih-lebih Pancasila. Tapi pesan yang satu ternyata tidak termuat. Apa, Mas? "Pemilu," jawabnya. "Nggak tahu ya, kok nggak kecandak, katanya, tertawa. Entah barangkali Dalang Soemanto lupa menyebut "pohon beringin di alunalun". Tapi memang tidak selalu mudah. Kalaupun seorang dalang sudah berketetapan hati--atau karena wajib--menyebut sebuah titipan secara wungkul alias apa adanya, faktor lain harus diingat. Yakni penonton. Dalang Haji Anom Suroto tadi bisa berkisah bila ia menyebut "secara ceplas-ceplos saja" hal-hal sepeti P4, KB, pemilu, penonton bisa menyoraki. Dengan kata lain: mereka protes. "Bisa-bisa kita tidak d itanggap lagi," katanya. Tapi bagi Soemanto, ada lagi masalah yang lebih luas. Dewasa ini, menurut dia dalam ceramah pada kesempatan itu, tujuan pedalangan yang pokok seperti tersisih. Yakni "menggarap masalah rohani yang wigati," alias penting dan mendasar. Unsur pesanan, bagi Soemanto, termasuk sebab-sebab pendangkalan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus