Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Penciutan dan Pencarian Tesis

Triennale Asia-Pasifik di Brisbane, bukti adanya penghargaan internasional terhadap para perupa Asia. Apa "tesis" di balik karya-karya mereka?

12 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Langit biru, angin kencang, dan panas matahari Kota Brisbane seakan mengiringi karya pertunjukan Song Dong yang sunyi di pelataran Queensland Art Gallery, beberapa jam sebelum pameran dibuka. Perupa muda, 36 tahun, dari komunitas seni rupa avant -garde Cina itu menuliskan perubahan waktu dengan sebuah kuas besar yang dicelup ke ember: menulis dengan air. Hawa panas perlahan-lahan menghirup habis setiap jejak goresan kuas Song Dong di atas serambi beton yang luas itu. Panta rei, dunia selalu tak sama setiap kali kita mengedipkan mata. Kurasi pameran Asia-Pacific Triennial of Contemporary Art (APT-2002), di Queensland Art Gallery, Brisbane, Australia (12 September 2002 hingga 27 Januari 2003) juga dinyatakan tak sama dengan sebelumnya. Diselenggarakan sejak 1993, APT adalah satu-satunya pameran seni rupa yang memusatkan perhatian pada seni rupa di Asia-Pasifik, kawasan yang meliputi Asia Timur, Tenggara, Benua Australia sampai Selandia Baru, dan sarat dengan pelbagai perubahan yang radikal serta keragaman multikultural yang kian terkait dengan perkembangan di arus global. Inilah lahan subur penciptaan yang menjadikan perkembangan seni rupa di kawasan ini mengejutkan. Kini semakin banyaknya perupa kontemporer Asia yang diundang dalam forum seni rupa internasional menegaskan pengakuan itu. Pada satu sisi perhatian yang meningkat terhadap kehadiran seni rupa kontemporer di kawasan Asia—khususnya dalam dua dekade terakhir ini—adalah pergeseran yang tak dapat dihindari setelah proyek modernisme yang melahirkan asumsi sebuah pusat Eropa-Amerika dengan kerumunan yang "berantakan" di pinggiran tampak tidak lagi memadai. Para seniman diaspora yang kemudian menetap dan berkarya di "pusat" dengan membawa serta pandangan dan keyakinan "yang lain" melahirkan ungkapan yang sifatnya campuran (hibrid); menangguk pengaruh tapi juga "mengotori" formula yang sudah ada. Namun pameran seni rupa dengan fokus perkembangan seni rupa di Asia Pasifik belum muncul hingga APT yang pertama pada 1993. APT 2002 kali ini cuma menghadirkan 16 perupa dari 10 negara dan sebuah grup untuk pertunjukan kolektif, Pasifika Divas dari Selandia Baru. Jumlah ini jauh menciut ketimbang penyelenggaraan sebelumnya yang menghadirkan puluhan perupa dari hampir semua negara Asia-Pasifik. Dari Indonesia muncul nama Heri Dono, 42 tahun, yang pernah memperoleh penghargaan di beberapa forum internasional. Para perupa ini dianggap telah memberikan sumbangan berarti dalam perkembangan seni rupa internasional, dengan tiga seniman gaek yang dianggap sebagai sosok kunci, yakni Nam June-paik (Korea Selatan/Amerika), Lee U-fan (Korea Selatan/Jepang), dan Yayoi Kusama (Jepang/Amerika). Ketiganya adalah seniman dari Asia yang sejak dekade 1960 telah meretas jalan dengan seni rupa masing-masing dan menjadi sosok internasional. Kata kunci lain yang diajukan adalah kecenderungan medium film, seni rupa video, serta fotografi yang semakin jauh digeluti oleh para perupa ini, sejalan dengan perkembangan kajian terhadap budaya visual. Dengan kenyataan keragaman seni rupa di Asia-Pasifik, diakui, tidaklah mungkin membuat sebuah tema untuk sebuah pameran seni rupa seperti APT. Yang diharapkan muncul—seperti pernah dikatakan oleh Caroline Turner pada APT-1—adalah "tesis". Yakni, perspektif Euro-Amerika tentunya tidak lagi secara sahih dapat digunakan untuk meninjau perkembangan seni rupa di kawasan ini, yang disadari selalu sarat dengan muatan teks budaya serta konteks politis setempat. Kini, kecuali mengunggulkan para perupa dengan asumsi sumbangan dan keinternasionalan mereka, dapatkah "tesis" itu lebih memandu kita untuk memahami penciutan dalam kurasi pameran ini? "Tesis" apakah gerangan yang melahirkan keinternasionalan Nam June-paik atau Yayoi? Bagaimana hubungan antara bahasa "internasional" mereka dan generasi Nalini, Heri Dono, atau Song Dong, yang lebih kaya dengan elemen politis setempat? Lihatlah karya Song Dong, Writing the Time with Water itu tadi, misalnya. Atau karya Heri Dono, Montien Boonma (Thailand), Nalini Malani (India), dan Michael Riley (Australia), yang selalu memasukkan elemen lokal atau kepribumian dalam karya mereka yang niscaya menantang "tesis" semacam itu. Di dalam ruangan pameran APT kita masih menyaksikan beberapa karya Song Dong yang lain berupa karya seni rupa video dan dokumentasi karya pertunjukannya. Dokumentasi foto karya Stamping the Water (1996), misalnya, terdiri dari 36 panil foto berukuran 120x70 cm yang menggambarkan aksi personal yang sangat meditatif ihwal kuasa dan kesementaraan. Kali ini Song Dong "mencetak" dengan stempel kayu bertuliskan aksara Cina "air" di sungai Lhasa, mata air yang dianggap suci di Tibet. Karya seni rupa videonya menampilkan berkali-kali sepotong cermin menghadap ke jalanan ramai, beberapa saat sebelum semua citra dan bayangan kenyataan yang terserap oleh cermin itu hancur berkeping-keping oleh gedoran sebuah palu. "Kiranya zaman sudah lewat ketika corak artistik dibatasi oleh medium, metode, dan paradigma," tulis Song Dong, perupa termuda dalam APT ini. Karya Nalini Malani, 56 tahun, selalu pekat dengan konteks lokal. Misalnya, karya instalasi Remembering Toba tek Singh (1998-99) yang diinspirasikan oleh sebuah cerita tentang proses pemisahan yang memilukan antara India dan Pakistan. Migrasi, harapan, dan kepedihan bercampur dengan citra penghancuran massal. Dua sisi dinding yang sejajar memproyeksikan simbol dua perempuan yang berupaya melipat sari, sekat-sekat yang tak dapat disatukan lagi. Dua belas monitor video disusun di bawah, di dalam kotak-kotak koper berlapis timah mencuatkan selimut-selimut putih bersih yang menjuntai dari dalam ke luar, memantulkan kesucian dan suasana tabula rasa. Monitor itu mengalirkan terus-menerus citra-citra tapal batas kemanusiaan: kelahiran, pengungsian, dan kematian. Figur-figur terpiuh karya Nalini juga mengingatkan kembali akibat mengerikan yang dialami oleh penduduk di sekitar tempat kebocoran gas Bhopal. Karyanya menunjukkan empati yang dalam pada penderitaan Bishen Singh, tokoh dalam kisah yang menolak pergi dari negeri tempat dia tinggal. Akhirnya penderita kejiwaan ini menemukan sebuah tanah tak bertuan, tempat ia ditemukan mati. Karya Suh Do-ho, 40 tahun, seniman Korea yang kini menetap dan berkarya di Amerika, mengeksplorasi paradigma individu dalam kolektivitas. Di manakah tempat individu dalam pertanyaan yang diajukan oleh judul karyanya, "Who am we?" Problem individualisme yang dihadapi Suh di tanah yang baru membenturkannya dengan kenyataan yang ada di rumahnya sendiri, yang mengenal hanya subyek "kita" atau "kami". Karyanya terdiri dari puluhan ribu wajah kawan-kawannya yang dicetak sampai sekecil mungkin dan menjadi wallpaper, sehingga diperlukan pembesar untuk dapat melihatnya (Who am We?, 1996-2000). Hubungan yang menekan antara yang singular dan plural selalu muncul dalam karya Suh Do-ho seperti pada himpunan rapat figurin dari akrilik yang disusun membentuk sebuah struktur jembatan (Blue-green Bridge, 2000). Pada kolam di dalam ruang galeri ratusan bola plastik mengalir mengikuti arus air, seluruhnya memantulkan kembali realitas dan bayang-bayang kita yang susut (Narcissus Garden, 1996/2002). Atau sebuah "semesta" fantastis tak berujung yang melemparkan bayangan tubuh kita nun jauh, di antara berjuta rembulan bercahaya (Soul under the Moon, 2002). Itulah karya instalasi Yayoi Kusama, 83 tahun, seniman gaek yang masih keranjingan berkarya dengan halusinasi akan bulatan dan bola-bola kaca. Kurasi semacam ini memang membawa kita kepada pengalaman menjelajahi sejumlah karya yang menunjukkan pergulatan dini para seniman diaspora seperti Nam June-paik, 70 tahun, yang diwakili oleh karya-karyanya sejak tahun 1960-an (seperti Moon is the Oldest Television 1965-1967) hingga karya video instalasi TV Cello (2000). Tiga karya seni rupa instalasi Heri Dono—semua pernah dipamerkan di Indonesia—ditampilkan, yakni Ceremony of the Soul (1995), Glass Vehicles (1995), dan Flying Angels (1996). Pada hari ketiga pameran, perangkat motor karya Flying Angel rontok. Alhasil, sayap malaikat berpalus itu tidak lagi dapat mengepak di langit-langit Queensland Art Gallery. "Gagasan multimedia pada seni rupa di Asia memang berbeda dibandingkan dengan Eropa dan Amerika," kata Heri Dono, seperti dikutip Wu Hung dalam katalog. Tapi "kecelakaan" begini tentunya bukan bagian dari tesis pencarian atau pencarian tesis. Hendro Wiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus