Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Rehal-bambang bujono

Editor: pamusuk erneste jakarta: gramedia, 1983. (bk)

17 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMPERTIMBANGKAN TRADISI Kumpulan Esei Rendra Editor: Pamusuk Eneste Kata Penutup oleh Ignas Kleden PT Gramedia, 1983, 130 halaman (termasuk indeks). DIA dulu bait-bait awan putih yang berarak-arak. Atau selembar daun yang jatuh. Kemudian ditulisnya riwayat Maria Zaitun. pelacur yang terhina dan sia-sia. Dan di tahun 1975 dalam usia 40-an tahun, dicetuskannya Seonggok Jagung. Berbeda dengan sajaknya yang lalu-lalu, yang dipuji berbagai pihak, buah cipta Rendra tersebut terakhir itu dicap sebagai pamflet. Kumpulan 16 esei Rendra, ditulis tahun 1960-an sampai 1982, bisa menjelaskan perkembangan sikap dan pemikiran keseniannya. Terutama dari tulisan "Proses Kreatif Saya sebagai Penyair", jadi terbukalah mengapa Rendra menulis "sajak pamflet". Mengapa seorang muda yang menikmati rasa hidup terpesona melihat alam, bercakap dengan angin dan gunung, kemudian berubah mengkaji kepincangan sosial, memprotes ketidakadilan. Dari posisi menerima dan menghayati Rendra lantas beranjak menanyakan posisi kesenimanannya di tengah masyarakat Indonesia yang tengah membangun. Ia lantas menemukan bahwa peranan seniman tak ubahnya dengan Gareng, Petruk, dan Semar dalam wayang. Para punakawan itu bertugas mengkritik yang melenceng, mengingatkan yang alpa, dengan cara guyon dalam adegan yang disebut goro-goro. Kenapa demikian? Rendra, dalam pidatonya ketika menerima hadiah dari Akademi Jakarta, 1975, menjelaskan. Baginya, pandangan bahwa kualitas manusia ditentukan oleh keseimbangan roh dan daging berlaku pula bagi masyarakat. Disebutnya lembaga-lembaga masyarakat sebagai daging. Naluri, mimpi, cita-cita adalah roh. Para cendekiawan dan seniman mempunyai kewajiban menjaga peranan roh dalam masyarakat. Maka, Rendra pun menulis pamflet. Yang penting pula dari buku ini ialah adanya esei Ignas Kleden, seorang pemikir yang banyak pula mengkaji soal-soal kebudayaan, yang diletakkan sebagai kata penutup. Dengan gamblang Ignas mengikuti liku-liku pemikiran Rendra, sembari melontarkan kritiknya pula. Apabila puisi-puisi Rendra dulu hampir tak mungkin dijelaskan dengan cara lain tanpa mengurangi nilai-nilainya, puisi pamflet Rendra relatif bisa dijabarkan dalam bentuk bukan puisi, tulis Ignas. Akhirnya, bila Rendra kini seperti hilang dari peredaran, karena konon ia masih sulit mendapat ijin untuk kembali mempergelarkan teaternya, untuk kembali membacakan sajak-sajaknya, buku ini barangkali bisa menjadi penggantinya. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus