MEMPERTIMBANGKAN TRADISI
Kumpulan Esei Rendra
Editor: Pamusuk Eneste
Kata Penutup oleh Ignas Kleden
PT Gramedia, 1983, 130 halaman (termasuk indeks).
DIA dulu bait-bait awan putih yang berarak-arak. Atau selembar
daun yang jatuh. Kemudian ditulisnya riwayat Maria Zaitun.
pelacur yang terhina dan sia-sia. Dan di tahun 1975 dalam usia
40-an tahun, dicetuskannya Seonggok Jagung. Berbeda dengan
sajaknya yang lalu-lalu, yang dipuji berbagai pihak, buah cipta
Rendra tersebut terakhir itu dicap sebagai pamflet.
Kumpulan 16 esei Rendra, ditulis tahun 1960-an sampai 1982,
bisa menjelaskan perkembangan sikap dan pemikiran keseniannya.
Terutama dari tulisan "Proses Kreatif Saya sebagai Penyair",
jadi terbukalah mengapa Rendra menulis "sajak pamflet". Mengapa
seorang muda yang menikmati rasa hidup terpesona melihat alam,
bercakap dengan angin dan gunung, kemudian berubah mengkaji
kepincangan sosial, memprotes ketidakadilan.
Dari posisi menerima dan menghayati Rendra lantas beranjak
menanyakan posisi kesenimanannya di tengah masyarakat Indonesia
yang tengah membangun. Ia lantas menemukan bahwa peranan
seniman tak ubahnya dengan Gareng, Petruk, dan Semar dalam
wayang. Para punakawan itu bertugas mengkritik yang melenceng,
mengingatkan yang alpa, dengan cara guyon dalam adegan yang
disebut goro-goro.
Kenapa demikian? Rendra, dalam pidatonya ketika menerima hadiah
dari Akademi Jakarta, 1975, menjelaskan. Baginya, pandangan
bahwa kualitas manusia ditentukan oleh keseimbangan roh dan
daging berlaku pula bagi masyarakat. Disebutnya lembaga-lembaga
masyarakat sebagai daging. Naluri, mimpi, cita-cita adalah roh.
Para cendekiawan dan seniman mempunyai kewajiban menjaga peranan
roh dalam masyarakat. Maka, Rendra pun menulis pamflet.
Yang penting pula dari buku ini ialah adanya esei Ignas Kleden,
seorang pemikir yang banyak pula mengkaji soal-soal kebudayaan,
yang diletakkan sebagai kata penutup. Dengan gamblang Ignas
mengikuti liku-liku pemikiran Rendra, sembari melontarkan
kritiknya pula. Apabila puisi-puisi Rendra dulu hampir tak
mungkin dijelaskan dengan cara lain tanpa mengurangi
nilai-nilainya, puisi pamflet Rendra relatif bisa dijabarkan
dalam bentuk bukan puisi, tulis Ignas.
Akhirnya, bila Rendra kini seperti hilang dari peredaran, karena
konon ia masih sulit mendapat ijin untuk kembali mempergelarkan
teaternya, untuk kembali membacakan sajak-sajaknya, buku ini
barangkali bisa menjadi penggantinya.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini