Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Malam Terakhir di Bukit Peudawa

Juru kamera RCTI Ferry Santoro dibebaskan GAM melalui negosiasi yang mencekam: perundingan di perbatasan hidup dan mati. Inilah kisah wartawan TEMPO Nezar Patria yang terlibat dalam negosiasi itu.

24 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiba-tiba saja saya berada dalam gelap. Malam hanya bintang. Rembulan tak ada. Di depan saya berjalan Marzuki, 24 tahun, dengan senapan mesin di pundak. Sepuluh serdadu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) lainnya?umumnya menyandang senapan Kalashnikov?berderet mengekor di belakang saya. Tersaruk-saruk saya mengikuti gerak kaki gerilyawan itu. Lampu senter hanya boleh menyala sekilas. Menengok ke belakang, saya melihat bayang-bayang moncong senapan mereka seperti lembing yang diacungkan.

Setelah menempuh perjalanan udara dari Jakarta beberapa hari sebelumnya?dalam sebuah misi negosiasi pembebasan juru kamera RCTI yang disandera GAM sejak Juni 2003?saya kini berhadapan dalam situasi yang tak menentu. Ada kabar waktu gencatan senjata yang diberikan TNI tak akan diperpanjang. Saya dan lima wartawan lain yang menjadi jaminan bagi pembebasan Ferry harus siap-siap menjadi tawanan. Setelah Ersa Siregar (tewas dalam kontak senjata GAM dan TNI pada Desember tahun lalu) dan Ferry Santoro, barangkali inilah giliran saya. Malam itu saya bersandar pada mungkin. Saya bersandar pada angin.

Di puncak bukit di Peudawa, Aceh Timur, kami berhenti ketika bertemu tanah agak datar. Pasukan bersiap ambil posisi untuk merebahkan badan. Marzuki, komandan regu yang akrab dipanggil Si Jek, menggelar plastik dilapisi tikar pandan dan mengatur letak tidur anggota pasukan.

Jek berbadan kekar. Ia mengenakan celana jins dan kaus ketat warna gelap. "Silakan tidur," katanya tersenyum. Saya berbaring di sampingnya. Senapan mesin miliknya diatur dalam posisi siaga. Moncong bedil diarahkan ke satu-satunya jalan masuk menuju tempat kami berbaring. Jek membuka kaki penyangga senapan mesinnya.

Meski terlihat tua, senapan itu jadi andalan. Serdadu GAM menyebut senjata produksi 1951 itu Arsha. Magasin yang tampak seperti kaleng rantang dan menempel di bawah laras sudah tak ada. Untaian peluru dibiarkan terjuntai. Jek bangga dengan mesin pembunuh itu. Tembakannya, kata dia, masih dahsyat dan mampu menebas pohon sampai roboh. "Suaranya seperti gonggongan anjing," katanya.

Lalu Jek membongkar isi tasnya. Ia memberi saya sebungkus kecil biskuit dan seteguk air. Kami semua belum sempat makan malam ketika harus naik ke bukit itu. Dia menarik kain sarung sambil duduk mencangkung. Sambil membakar rokok dalam kurungan sarung, Jek menenangkan saya. "Jangan cemas, Anda tamu kami. Di sini Anda pasti aman," ujarnya.

Dia sempat juga memberikan petunjuk singkat cara menghadapi kontak senjata. Katanya, kalau mau selamat harus tiarap dan merangkak sesuai dengan petunjuk pimpinan regu. Jangan berada jauh dari pasukan apa pun yang terjadi. Jangan juga berani-berani melarikan diri saat kontak senjata. "Peluru tak mengenal Anda wartawan atau bukan," ujarnya.

Saya menelan ludah. Arloji saya menunjukkan pukul 2.30 pagi. Tiga setengah jam lagi, batas gencatan senjata berakhir. Jek menyuruh saya tidur sebentar, tapi mata saya tak bisa memicing. Suara nyamuk berdenging. Saya teringat anak saya berusia tiga tahun dan istri yang tengah hamil tiga bulan?kedua manusia yang membuat saya begitu mensyukuri hidup.

Tadi siang semuanya masih berjalan lancar. Hari itu, Minggu 16 Mei lalu, adalah hari kedua pelepasan sandera oleh Panglima Operasi GAM Wilayah Peurelak, Teungku Ishak Daud.

Di Aceh Timur, Ishak adalah komandan pemberontak yang paling dicari TNI. Umurnya 44 tahun. Badannya tegap dengan parut luka di lengan kanan dekat siku. Serdadunya bersenjata lengkap. Logistik pasukannya lebih kuat dibanding GAM di kawasan lain.

Lahir di Ide Rayeuk, Aceh Timur, Ishak pernah ditangkap tentara karena menyerang pos ABRI Masuk Desa (AMD) dan merampas 21 pucuk senjata milik TNI pada Maret 1990. Ketika itu, dalam baku tembak, dua tentara Indonesia dan dua bocah yang berada di dekat pos ikut tewas.

Tak lama ditahan, Ishak kabur ke Malaysia. Malang baginya, ia kemudian ditangkap lagi dalam sebuah operasi intelijen bersama Indonesia-Malaysia. Ia dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Setahun di bui, Ishak Daud bersama 30 tahanan politik asal Aceh mendapat amnesti dari Presiden B.J. Habibie.

Selepas dari penjara, Ishak sempat "merantau" ke Jakarta dengan dibantu oleh sejumlah aktivis LSM. Di Jakarta Ishak berulah: ke mana-mana ia selalu membawa bendera GAM kecil yang kerap dipakainya di leher. Ishak juga meminta dipertemukan dengan Duta Besar Amerika Serikat, Belanda, dan perwakilan PBB di Jakarta. Di kantor PBB, Ishak memaksa menelepon sekretaris jenderal badan dunia itu.

Di tangan Ishak kini ada ratusan tahanan sipil. Setelah melalui negosiasi alot dan berulang kali batal, akhirnya Ishak mau melepas Ferry dan sejumlah lainnya.

TNI memberikan waktu gencatan senjata selama 36 jam terhitung mulai pukul 6.00 tanggal 15 Mei untuk proses pelepasan sandera. Soal ini ternyata juga masih tarik-ulur. Ishak meminta jeda senjata bisa berlangsung sampai 17 Mei 2004. TNI keberatan kecuali GAM serius menunjukkan niat baik dengan pelepasan sandera pada tiap hari itu. Selain itu, Ishak juga mengajukan syarat lain: ada wartawan yang menginap sehari di lokasi. Alasannya, kehadiran wartawan itu diperlukan untuk menjamin agar proses pembebasan sandera tak dikhianati kedua pihak.

Penguasa Darurat Militer Daerah, Palang Merah Internasional (ICRC), dan Palang Merah Indonesia (PMI) setuju enam wartawan itu masuk ke lokasi. "Kita harus menginap agar Ishak percaya proses ini serius," ujar Imam Wahyudi, Wakil Pemimpin Redaksi RCTI?salah satu dari enam wartawan itu. Selain Imam, ada Munir (wartawan lokal RCTI di Aceh), Nani Afrida (The Jakarta Post), Husni Arifin (Republika), Solahudin (Aliansi Jurnalis Independen), dan saya sendiri.

Sabtu, 15 Mei, tim kami masuk ke lokasi di Lhok Jok, Peudawa, Aceh Timur. Enam wartawan plus seorang kurir berjalan di depan. Di belakang kami menyusul mobil ICRC dan PMI serta pengacara GAM Alamsyah Hamdani. Alamsyah juga membawa istri dan dua anak Ishak Daud.

Dusun kecil yang kami tuju terletak di kaki bukit. Jaraknya 62 kilometer dari Langsa, ibu kota Kabupaten Aceh Timur. Di perbatasan, empat orang bersenjata sempat mendadak muncul dari balik rerimbunan semak. Mereka menggeledah tas penumpang dan seisi mobil. Hanya sebentar, setelah itu tim dipersilakan lewat menuju meunasah (surau), di samping masjid setengah jadi.

Satu jam kemudian Ishak Daud baru muncul. Dia mengenakan kaus oblong dengan tas peluru tergantung di pinggang. Meski bergerilya, Ishak tampil rapi dan tampan. Celananya jins hitam dengan sepatu bot kulit warna krem. Ia menyandang AK-47.

Ishak datang dari arah bukit bersama sekitar sekompi pasukan. Wajah mereka berkilat-kilat oleh keringat. Sejumlah serdadu mengarak bendera GAM dan menancapkannya di sepanjang pagar masjid. "Hari ini seperti ada zona damai saja," kata Ishak bergurau. Matahari tegak lurus di atas kepala. Dahan nipah tak bersuara.

Damai memang turun di Lhok Jok siang itu. TNI tepat janji dengan menarik semua pasukannya selama gencatan senjata. Serdadu GAM mengaku mereka tak menemui TNI berpatroli. Meski tak ada "senggolan" saat gerilyawan turun gunung, wajah para serdadu GAM masih tegang. "TNI akan mengepung tempat ini. Tapi kita sudah bikin antisipasi," ujar Ishak. Istri Ishak Daud, Cut Rosmawati, dan dua anaknya menunggu di pelataran masjid. Ishak menemui istrinya. Saat menggendong Ambiya, sang anak, air mata Ishak menetes.

Hari itu Ishak berjanji akan membebaskan 22 sandera. Tapi sampai tengah hari tahanan tak kunjung tiba. Ishak tampak gugup ketika ICRC menagih janji. Dia menjelaskan perlu waktu untuk mengumpulkan sandera di titik tertentu.

Lewat tengah hari, akhirnya muncul satu truk penuh berisi manusia. Suara truk menderu seperti menahan bawaan agar tak meluncur kencang ke bawah. Di bak belakang manusia berjubel: wajah-wajah pasi dengan tubuh kurus tanpa tenaga.

Semua tahanan itu dibawa ke rumah sakit di Langsa. Dari kota di Aceh Timur itu dikabarkan gencatan senjata tetap berlaku 36 jam seperti rencana semula.

Ketika malam merayap datang, kami duduk di surau. Ada yang ngobrol dengan gerilyawan atau sekadar tidur melepas penat. Hari itu kami disuguhi nasi dengan lauk gulai inti pohon pisang. "Besok kita akan menjemput Ferry dan tahanan lain," kata Ishak.

Besoknya, Ahad, ternyata tak gampang mendapatkan Ferry. Sejak pagi, ICRC sudah menunggu. Mobil dinas ICRC memang tak menginap di surau. "Standar operasi ICRC memang tak mengizinkan kami menginap di tempat yang tak netral," ujar Gotzon Onandia Zarrabe, opsir lapangan lembaga itu. Berkali-kali saya melihat Zarrabe, lelaki jangkung asal Spanyol itu, mencecar Ishak Daud tentang pembebasan Ferry.

Sampai tengah hari, belum ada kejelasan nasib sang juru kamera. Ishak mengeluh karena banyak prajurit TNI yang masih melakukan operasi di lapangan. Posisi Ferry, kata Ishak, kini terkunci di Rambung Lhop, tak jauh dari Keude Geurubak. Matahari makin condong ke barat. Tenggat gencatan senjata kian menjepit. "Sekarang sudah pukul satu siang," ujar Zarrabe cemas.

Ishak mengatakan Ferry bisa dijemput lebih cepat dengan menggunakan mobil. Satu mobil ICRC berpelat diplomatik dan satu Kijang?ditumpangi Munir dan Alfian, aktivis sebuah LSM lokal di Aceh?dikirim menembus hutan ke titik yang telah ditentukan. Sebelum berangkat, Ishak memberikan syarat: Ferry harus dibawa dengan kawalan dua prajurit bersenjata.

Pukul 15.00, Ferry tiba di pos GAM di Lhok Jok. Pria itu tampak kerempeng dengan kaus oblong biru yang lusuh. Tas ranselnya penuh tambalan dan jahitan tangan. Di matanya saya tak melihat cahaya. Kantong mata yang memberat. Senyum yang terasa dipaksakan. Imam Wahyudi memeluknya erat. Keharuan membungkus Lhok Jok. "Dulu celana saya ukuran 36, sekarang 28," ujarnya.

Munir berkisah bahwa mereka nyaris menjemput ajal saat membawa Ferry keluar. Ketika mereka masuk ke Rambung Lhop, tempat itu ternyata dijaga rapat TNI. Bahkan mobil ICRC pun dicegat dengan kokangan senjata. Untunglah, pada saat kritis itu, Munir menelepon Penguasa Darurat Militer Daerah, Mayor Jenderal Endang Suwarya. "Kami baru lewat setelah Pak Endang bicara langsung dengan prajurit itu," ujar Munir.

Dari Rambung Lhop, mereka masuk sedikit ke pelosok. Di sebuah tempat, muncullah Ferry dengan dua pengawalnya. Kedua prajurit bersenjata Kalashnikov itu masuk ke dalam mobil Kijang bersama Ferry.

Ketegangan berikutnya terjadi saat rombongan meninggalkan lokasi. Di sebuah pos, aparat TNI berniat memeriksa kedua kendaraan. Umar, 30 tahun, tentara GAM yang duduk di sebelah kiri Ferry, bersiaga. Kunci senapan AK-47 miliknya sudah dibuka. Ia berbisik kepada Munir, "Kalau pintu dibuka TNI, senapan saya akan menyalak". "Saya pikir kami mati semua," ujar Munir. Untunglah, prajurit TNI itu hanya melongok kaca jendela yang tak dibuka. Mobil itu lewat dengan aman. Umar kembali mengunci senapannya.

Batas waktu jeda senjata kian sempit. Jam sudah menunjuk pukul 4 sore. Tak banyak waktu tersisa untuk membawa Ferry ke Langsa. Ishak masih ngotot bahwa Ferry masih dalam status tahanan GAM. Besok Senin baru secara resmi dia akan diserahkan ke ICRC. Melalui negosiasi yang alot, Ishak akhirnya membolehkan Ferry dibawa ke Langsa dengan status "dipinjam" ICRC untuk dikembalikan besok pagi. Kami berenam berembuk. Ishak menginginkan kami tinggal agar ada jaminan Ferry dan ICRC kembali besok pagi. Kami setuju. Ishak Daud sedikit tenang.

Malamnya kabar buruk itu datang. TNI tak akan memperpanjang gencatan senjata. Dengan kata lain, keadaan akan kritis karena TNI bisa menyerbu kapan saja, dan ICRC tak akan mungkin membawa Ferry kembali ke Lhok Jok. "Tempat itu akan digempur habis," ujar Alamsyah, yang gagal bernegosiasi dengan TNI. Ada kabar, ICRC mundur dari proses ini dan Zarrabe bersiap pulang ke Jakarta.

Wartawan lain yang menunggu di Langsa panik. Ada yang mengusulkan agar mereka menerobos Lhok Jok untuk menjemput kami. Tapi niat itu urung karena ada celah bertemu dengan Penguasa Darurat Militer.

Ishak yang waswas langsung membuat instruksi. Semua pasukan dikumpulkan di halaman masjid. Bunyi kokangan serempak 120 senjata membuat malam kian mencekam. Lima wartawan dipisah menjadi empat kelompok. Tiap grup itu dikawal oleh sepuluh orang. Kami tak punya pilihan. Ishak mengajak kami semua naik ke gunung. Hanya Nani Afrida yang ditinggal bersama warga sipil. Saat itu, semua usaha kami untuk melobi perpanjangan jeda senjata telah gagal. Sekon memberat. Menit berhenti.

Marzuki menarik kembali senapannya. Dia berbisik kepada saya bahwa kontak senjata sangat mungkin pecah pagi ini. "TNI hanya 200 meter dari kita," ujarnya sambil menunjuk satu puncak bukit kecil di seberang. Di balik bukit itu prajurit TNI, kata Jek, sudah siaga. Saya menarik napas bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.

Tiba-tiba ada nyala senter menembus daun nipah. Cahayanya berkedip-kedip. Ternyata itu kode dari Ishak Daud yang berada dalam posisi siaga di bukit sebelah. Jek tersenyum. "Perang batal. Kita masuk zona damai lagi," katanya.

Rupanya ada lampu hijau dari TNI pada saat genting itu. Mayjen Endang memperpanjang jeda senjata sampai 17 Mei pukul 24.00. Ishak Daud gembira. Seekor lembu akan disembelih besok pagi untuk syukuran melepas Ferry dan ratusan sandera lain.

Drama itu berakhir. Menjelang subuh saya meninggalkan bukit. Di langit masih ada sisa bintang. Hutan nipah mengelilingi saya. Kabut pagi turun....

Nezar Patria (Aceh Timur)


Detik-detik Menegangkan Itu

Sabtu, 15 Mei 2004
09.00 WIB
1. Tim ICRC, PMI, enam wartawan, dan Alamsyah Hamdani, pengacara Ishak Daud, masuk ke Lokasi. Titik jemput berasa di halaman masjid Raudlatul Jannah dusun Lhok Jok, Buket Kuta, sekitar 50 km dari Langsa. Saat itu, datang juga istri Ishak dan dua orang anaknya.

Sabtu, 15 Mei
14.00 WIB
2. Sebanyak 22 tahanan GAM turun gunung. Sesuai perjanjian enam wartawan menginap di lokasi.

Minggu, 16 Mei
16.00 WIB
3. Ferry berhasil dijemput di daerah Rambung Lhop. Ishak ingin Ferry menginap di Lhok Jok untuk menghadiri acara resmi pelepasan sandera dari GAM ke ICRC. Tapi TNI menuntut Ferry segera dibawa ke Langsa.

4. ICRC membawa Ferry ke Langsa dan berjanji akan mengembalikannya esok hari. Untuk meyakinkan Ishak, enam wartawan bersedia menginap semalam lagi di lokasi.

Senin, 17 Mei
01.00 WIB
5. Perundingan perpanjangan waktu jeda, buntu. Ishak merasa dibohongi. Keputusan nekad diambil, enam wartawan dibawa ke hutan bukit sebagai jaminan dan pasukan GAM bersiaga tempur.

Senin, 17 Mei
04.00 WIB
6. TNI memutuskan memperpanjang waktu jeda senjata sampai 24.00. Ishak memerintahkan semua pasukan turun gunung. Enam wartawan dikembalikan ke lokasi sejam kemudian.

7. Ferry pun kembali ke Lhok Jok untuk acara pelepasan resmi.

Senin, 17 Mei
14.30 WIB
8. Acara pelepasan dimulai. Sekitar 133 tahanan dilepas berikut Ferry Santoro. Satu jam kemudian GAM mundur ke arah gunung. Semua tahanan diangkut ambulans.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus