Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A. Khotibul Umam
Hampir tujuh tahun, setiap hari menjelang terbenamnya matahari, seekor anjing selalu datang sendirian ke sebuah dermaga di tepi laut Kota Kawabata. Anjing itu duduk meringkuk dengan kedua kaki depan menyangga dagu, menatap matahari senja, mendengarkan irama riak gelombang yang saling berkejaran.
Anjing itu bernama Kirani. Ia termasuk anjing dari ras Akita Inu. Tubuhnya tak terlalu besar, ekornya panjang, bulunya halus berwarna abu-abu dan cokelat kehitaman. Dari moncong sampai matanya terdapat sepasang garis putih tipis yang membuatnya terlihat lebih manis.
Bentuk dermaga itu hampir mirip dengan jembatan: berlantai papan dengan pagar pembatas terbuat dari batang-batang kayu berukuran kecil. Ujung dermaga yang menghadap ke arah terbenamnya matahari, berjarak sekitar dua ratus meter dari bibir pantai. Di ujung dermaga itulah si anjing duduk, menunggu dan berharap seseorang akan kembali, seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun yang begitu ia rindukan, gadis berambut hitam lurus yang wajahnya selalu dihiasi senyum ceria, gadis bermata sipit yang senang mengenakan sweter berwarna merah jambu, gadis yang tak lain adalah majikannya sendiri.
Ia ingin sekali menjilat-jilat pipi ranum kemerahan majikannya sambil menyalak-nyalak manja dan mengibas-ngibaskan ekornya pelan seperti tujuh tahun lalu ketika ia masih seekor anjing kecil yang lucu dan menggemaskan. Namun sekarang sudah tidak bisa lagi, majikannya telah pergi, entah kapan kembali.
Anjing itu menatap matahari yang mulai turun perlahan. Di benaknya terbayang betapa si gadis sangat baik, sangat menyayanginya. Ia ingat ketika setiap pagi, si gadis selalu mengantarkan makanan kesukaannya ke kandangnya. Ia ingat ketika sebelum berangkat sekolah, si gadis selalu menciumnya, mengelus-elus kepalanya dan melambaikan tangan untuknya. Dan yang paling tak bisa ia lupakan adalah saat majikannya itu rela duduk berlama-lama di salon hewan, hanya untuk menunggunya dimandikan dan dirias secantik mungkin.
Dan setiap sore, menjelang matahari terbenam, si gadis selalu mengajaknya ke dermaga itu. Sebelum berangkat dengan berjalan kaki dari rumahnya yang berjarak beberapa ratus meter dari pantai, si gadis mengikatkan tali penuntun berwarna hitam ke leher anjing itu. Begitu sampai, mereka duduk di ujung dermaga menunggu detik-detik lenyapnya matahari di ufuk barat.
Menjelang senja kali ini, bukan hanya anjing itu yang datang ke dermaga, beberapa orang juga berdatangan untuk menyaksikan matahari terbenam: sepasang kekasih yang masih mengenakan seragam sekolah, sepasang suami-istri yang kelihatannya baru menikah, dan sepasang kakek-nenek.
Anjing itu masih di sana, wajahnya yang lesu pasti akan membuat kita iba jika melihatnya langsung. Ia tak mempedulikan orang-orang di belakangnya. Sepasang kekasih itu berangkulan menyandarkan tubuh mereka pada pagar pembatas dermaga, seperti dalam sebuah film, si gadis berdiri di depan dengan kedua tangan terentang ke samping, rambutnya meliuk-liuk tertiup angin, si lelaki berdiri di belakangnya.
Waktu terasa begitu cepat berlalu, petang mulai turun menyelimuti bumi yang ringkih. Orang-orang itu pergi, mungkin mereka pergi dengan niat akan kembali lagi keesokan harinya, seperti anjing itu. Kini dermaga itu sepi, hanya tinggal si anjing yang semenjak datang, posisi duduknya tetap tak bergeser sedikit pun.
Anjing itu tak tahu kapan majikannya akan kembali. Ia teringat perpisahannya dengan majikannya di ujung dermaga itu, tujuh tahun lalu. Saat itu, beberapa jam sebelum berangkat ke dermaga, si anjing melihat majikannya dimarahi sang ayah di ruang tamu.
"Sudahlah, tak usah kamu lanjutkan sekolahmu lagi! Buat apa juga?" ujar ayahnya.
"Tapi aku masih ingin sekolah, ayah."
"Kalau ayah sudah bilang tidak, ya tidak!"
Lelaki bertubuh gempal dengan mata sipit itu pergi. Tangis si gadis pun pecah. Si anjing berusaha menghiburnya dengan berguling-guling dan menyalak-nyalak manja di lantai. Tapi usahanya sia-sia, wajah si gadis tetap berselimut mendung.
Gadis itu mengangkat si anjing, mendudukkannya di kursi. "Aku tidak lulus, Kirani! Kamu tahu? Aku tidak lulus…!" gumam si gadis di depan wajah anjingnya. "Ayah melarangku melanjutkan sekolah lagi! Apa yang harus kulakukan?" Si anjing hanya mengeluarkan suara lolongan lirih, seakan mengerti apa yang dirasakan majikannya.
Berhari-hari kemudian, gadis itu lebih banyak berdiam diri di dalam kamar, sering kali duduk di dekat jendela. Dan sudah berhari-hari ia tidak pergi ke dermaga.
Tujuh hari kemudian, si anjing melihat majikannya memakai sweter merah jambu dan rok bermotif bunga-bunga sakura, majikannya memasang tali penuntun itu di leher si anjing. Si anjing tahu sore itu majikannya akan mengajaknya pergi ke dermaga, sebelumnya ia mengira majikannya tidak akan pergi ke dermaga itu lagi, tapi dugaan anjing itu salah.
Mereka pun sampai di dermaga beberapa saat menjelang terbenamnya matahari. Seperti biasa, mereka duduk di ujung dermaga, menghadap ke arah jatuhnya senja.
Gadis itu diam dalam duduknya, wajahnya sendu, entah apa yang ada di pikirannya. Biasanya ia selalu bercerita kepada si anjing tentang kejadian-kejadian lucu yang ia alami di sekolah. Bahkan, si gadis pernah bercerita tentang seorang lelaki yang menyatakan cinta kepadanya, Sarmin namanya. Dan si anjing selalu menjadi pendengar yang baik tanpa perlu berkomentar apa-apa.
Anjing itu bingung, ketika sudah setengah jam yang lalu matahari terbenam menyisakan hawa dingin yang dibawa angin laut, majikannya masih belum beranjak dari duduknya. Seharusnya beberapa menit setelah matahari surup, ia akan beranjak dan mengajak anjing itu pulang. Si anjing khawatir melihat majikannya sesekali menjambak-jambak rambutnya sendiri.
Malam pun makin merambat, bulan berbentuk setengah lingkaran tersenyum kecut di atas kepala mereka. Si gadis masih diam, anjing itu melolong-lolong kecil, seakan mengajak majikannya pulang karena malam sudah makin larut.
Malam itu cahaya berpendar dari lampu-lampu perahu yang tertambat di tengah laut. Ketika si gadis bangkit, anjing itu senang dan ikut bangkit, ia mengira majikannya akan segera mengajaknya pulang. Tapi si anjing salah lagi, si gadis bangkit bukan untuk pulang, gadis itu justru mengikat tali penuntun si anjing pada pagar pembatas, beberapa langkah dari ujung dermaga. Anjing itu menjadi makin kebingungan.
Setelah mengikat tali itu erat-erat, gadis itu jongkok di depan si anjing. Anjing itu pun menjilat-jilat pipinya. "Sudah kuputuskan, Kirani, aku akan pergi sekarang juga. Selamat tinggal, aku akan menunggumu di surga…" ia memeluk si anjing erat, mengelus-elus kepalanya, menciumi wajahnya, setelah itu berjalan pelan ke ujung dermaga, kemudian terjun ke laut setelah melambaikan tangannya kepada si anjing.
Anjing itu menyalak-nyalak keras, mencoba berlari menghampiri majikannya, tapi langkahnya terhalang oleh tali itu. Si anjing mencoba menggigitnya, tapi gagal, tali itu terlalu kuat, entah terbuat dari apa. Dan sepanjang malam itu, si anjing hanya bisa melolong-lolong lirih, menyanyikan lagu kehilangan.
Keesokan paginya, ayah si gadis datang ke dermaga, wajahnya terlihat sangat khawatir, mungkin karena anaknya tidak pulang. Ia pun menemukan si anjing terikat di pagar pembatas dermaga itu. Lelaki itu kaget. "Di mana anakku, Kirani?" tanya ayah gadis itu. "Siapa yang telah mengikatmu di sini?" Anjing itu hanya melolong-lolong kecil yang entah apa maksudnya.
Dan begitulah, sejak hari itu, si anjing selalu datang sendirian ke dermaga itu, beberapa saat sebelum matahari terbenam. Anjing itu duduk meringkuk menatap senja, sesekali melolong-lolong kecil, seakan-akan memanggil gadis itu dan memintanya kembali. Ia baru akan pulang ketika gelap telah benar-benar menyelimuti bumi yang makin ringkih, dan akan kembali pada esok yang mungkin tak pasti.
Kutub, 2017
A. Khotibul Umam, lahir di Sumenep, Madura, Jawa Timur. Menulis puisi dan prosa, aktif berproses di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta. Beberapa karyanya telah tersiar di beberapa media lokal dan nasional. Kini tinggal di Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA NEGERI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurnia Effendi
Koloni burung Hong yang migrasi dari Tanah Cina
memenuhi langit Lasem.
Ukel rambatan dihamparkan untuk sarang mereka
di waktu malam.
Dibujuk turun dengan aroma getih ayam
: Warna merah yang mengalahkan pertaruhan.
(2)
Tamu-tamu dari Eropa itu menjinjing buket:
bebungaan yang dipetik dari kebun.
Tulip, gladiol, viola, krisan, mawar, dan sirih.
Mari kekalkan di sini, di selembar tapih.
Kelak dipadu kebaya bagi perempuan sugih.
Sore hari naik delman dari Wirodeso ke Pekalongan.
(3)
Kembali ke ngarso dalem, sebelum lampu-lampu padam.
Setelah digambar lilin gondorukem, jarit ini direndam warna sogan.
Masih terdengar lirih mijil pada tanggal-tanggal ganjil
dari pendopo Keraton Surakarta yang dilintasi wangi mangir.
Meski di sini perjalanan wastra berakhir, jangan
kemasyuran Laweyan dibiarkan lingsir.
Jakarta, 2017
LASEM
Aku burung yang – pada sebuah takdir – terbakar
menjadi abu. Selamanya tak kunjung sampai kepada-Mu
Para pesungging meniru tubuhku
dengan canting dan semerbak gondorukem.
Pada hamparan wastra, aku tak lagi terbang.
Dikutuk wangi kembang yang sulur-sulurnya
berkelindan membelit sepasang kaki, yang
melangkah lekas dalam lipatan wiru, yang
tak menoleh lagi pada masa lalu.
"Hong!"
Kalian memanggilku.
Seketika teringat sepasang funiks yang berangkat piknik.
Jauh. Dan tak kembali lagi.
Aku burung yang – pada selembar hikayat – terperangkap
panas lilin. Selamanya tak pernah hinggap pada jendela-Mu
Dari negeri seberang laut utara, tak ada seorang
perompak pun mengejarku.
Mereka tahu: persinggahan ini abadi.
Dikepung warna darah, aku kehilangan arah.
Menjadi dewa yang dipuja lebih dari sementara.
Samar-samar kudengar seruan menyeberangi zaman:
"Hong! Hong!"
Jakarta, 2017
Kurnia Effendi menulis puisi dan cerpen di media massa sejak 1978. Buku puisi terbarunya Hujan Kopi dan Ciuman (2017). Pada Juli-Agustus 2017, mengikuti program residensi penulis di Belanda dengan beasiswa Kemdikbud RI.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo