Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Perempuan-perempuan citeko

Sejak saat remaja sampai jadi ibu, para wanita di desa citeko, purwakarta, telah akrab dengan tanah liat, bahan utama pembuatan genting & bata. ternyata wanita lebih telaten membuat genting.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEREMPUAN itu seperti genting. Ia jadi tempat berlindung dikala bingung dan tempat berteduh di saat rusuh. Ungkapan seperti ini barangkali bukan saja ada di Desa Citeko, Purwakarta. Tapi yang jelas hubungan antara genting dan wanita di Kecamatan Plered itu sangat erat. Sejak saat remaja sampai jadi ibu, para wanita di Desa Citeko telah akrab dengan tanah liat bahan utama genting dan bata. Bahkan ketika masih bocah, wanita Citeko seperti sudah hafal dengan warna cokelat tanah bahan genting dan bata yang mereka olah. Sementara itu, ibu-ibu meninabobokkan sibiran tulang di antara bongkahan tanah basah, sambil bekerja dalam pondok pengolahan. Citeko, 100 km di selatan Jakarta, sejak dulu dikenal sebagai daerah penghasil genting dan batu bata. Sekitar 5 juta genting per bulan dipasarkan di wilayah Jawa Barat. Di antara seribu pengusaha penghasil bahan bangunan yang tersebar di Jawa Barat, justru 75 pengusaha tersebut berpangkalan di Desa Citeko. Usaha genting dan bata rakyat itu mampu menyerap tenaga kerja hingga 50 ribu orang--dan mereka itu 70 persen lebih terdiri atas kaum Hawa. Wanita memang lebih telaten bekerja. Dan membuat genting memang memerlukan ketelatenan. Sedangkan lelaki Desa Citeko kelihatannya lebih senang bekerja sebagai buruh tani dan buruh bangunan. Daya pikat yang beda ini justru karena penghasilannya yang lebih besar. Sebagai buruh harian, para wanita itu memperoleh rata-rata 1.000 rupiah per hari. Tetapi, sebagai pekerja borongan, upah mereka 2 rupiah per bata. Dan sehari mereka bisa menghasilkan 1.500 buah genting. "Lumayan, bisa bantu Ibu untuk belanja dapur dan untuk jajan," kata Maimunah, 11 tahun. Anak yang dipanggil Mumun ini menggunakan waktu lowongnya selepas sekolah. Bahkan teman sebayanya kebanyakan bekerja di pengolahan genting itu, karena tak lagi melanjutkan sekolah, seusai SD. Namun, senyum para perempuan Citeko itu tetap kelihatan. Mereka bisa hidup, bergairah, dan seakan tumbuh bersama tanah cokelat. Dan itu memang mereka cintai secara turun-temurun. Burhan Piliang Rini P.W.I.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus