Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mulai tertarik studi Jawa ketika kuliah di Cornell University, Ithaca, New York, Amerika Serikat.
Menulis buku pertama tentang Yogyakarta di bawah Sultan Mangkubumi.
Pindah ke Inggris agar dekat dengan para ahli Jawa di Belanda.
SUATU hari, tanpa mengetuk pintu, Merle Calvin Ricklefs masuk ke kamar studi saya dengan wajah muram dan langsung keluar air mata. Pemuda kelahiran Iowa, Amerika Serikat, 17 Juli 1943, itu menuturkan bahwa istrinya meminta cerai karena bosan dengan suasana akademis Cornel dan tidak mau ikut dia melakukan penelitian ke Jawa. Merle sangat mencintai studi Jawa dan harus kehilangan istri karenanya. Namun, kita tahu, sumbangannya terhadap studi sejarah Indonesia, khususnya Jawa, tidak terbantahkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu, kami adalah mahasiswa Jurusan Sejarah di Graduate School, Cornell University, Ithaca, New York, Amerika Serikat. Saya ingat, Merle mendaftar di Cornell setahun setelah saya. Saya tidak pernah lupa betapa, sejak awal kehadirannya di Cornell, ia telah asyik saja belajar bahasa Jawa. Jadi bisalah dipahami kalau ia akrab dengan Supomo, sang asisten dosen dalam bahasa Jawa. Kira-kira setahun setelah mulai belajar bahasa Jawa, Merle dan Supomo berhasil menerbitkan karya terjemahan dari sebuah kisah yang tertulis dalam bahasa Jawa baru. Saya dan Merle, menjelang akhir 1960-an, sama-sama kuliah di bawah pimpinan Profesor O.W. Wolters, penulis buku klasik tentang sejarah Sriwijaya, The Fall of Srivijaya in Malay History.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah lulus A-Exam, ujian sebelum dipersilakan menulis tesis doktor, Merle, entah mengapa, pindah ke London, Inggris. Dalam perjalanan pulang ke Indonesia pada 1967 untuk melakukan penelitian, saya sempat mampir di London dan bertemu dengan dia. Ketika itulah dia mengatakan bahwa ia tidak meninggalkan Cornell tapi untuk memudahkannya bolak-balik ke Belanda, negeri para ahli sejarah dan bahasa Jawa yang terkemuka, dan, tentu saja, agar ia lebih dekat dengan perpustakaan yang menyimpan naskah-naskah Jawa klasik. Maka bisalah dipahami juga kalau Merle berhasil menerbitkan karya bersama seorang ilmuwan Belanda tentang naskah dari sastra Jawa.
Kadang-kadang terasa aneh juga biografi Merle ini. Biasanya seorang calon doktor menyelesaikan lebih dulu tesisnya, barulah kemudian merencanakan kemungkinan tesis itu bisa diterbitkan. Tapi Merle lebih dulu menyelesaikan bukunya, barulah dengan bekal ini ia tampil mengambil ujian akhir yang disebut B-Exam. Ujian ini, bagi dia, tampaknya suatu keharusan akademis saja. Maka begitulah buku pertama, sebuah karya yang kini telah dianggap “klasik” berjudul Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792: A History of the Division of Java, diterbitkan pada 1974.
Setelah terbitnya buku ini, Merle tak hanya mulai terkenal sebagai sejarawan. Sebagai ilmuwan pun reputasinya makin naik saja. Terbitnya buku ini adalah awal dari proses makin kokohnya kedudukan Merle sebagai sejarawan “dunia Jawa”, baik dari sudut kuantitas maupun kualitas. Janganlah heran kalau dalam perjalanan kariernya sebagai pengajar dan guru besar di School of Oriental and African Studies, All Souls College, London; Monash University, Melbourne; Australian National University, Canberra; dan University of Melbourne, reputasi akademisnya makin kukuh. Maka bisalah dipahami juga kalau, ketika umur pensiun telah diterimanya, ia dengan lapang dada menerima pengangkatan sebagai profesor sejarah Asia Tenggara di National University of Singapore. Ketika semua kerja resmi telah dianggap berakhir, ia pun dengan tenang menerima kedudukan sebagai guru besar emeritus dari Australian National University dan Monash University.
Reputasi akademis dan sumbangan dalam dunia ilmu pengetahuan adalah jawaban terhadap berbagai penghargaan akademis yang diterima Merle dari Belanda, Australia, Amerika Serikat, dan Indonesia. Setelah buku tentang Mangkubumi--mungkin tokoh ini lebih mudah diingat sebagai Hamengku Buwono I, pendiri kedatuan Yogyakarta--diterbitkan pada 1974, buku ilmiah Merle yang kedua ialah studi yang berusaha membuka tabir di belakang naskah kesejarahan tradisional Jawa. Buku dengan judul Modern Javanese Historical Tradition: A Study of an Original Chronicle and Related Materials ini diterbitkan pada 1978. Buku ketiganya malah telah diterbitkan tiga kali--dengan perbaikan dan tambahan--dan telah pula diterjemahkan tiga kali dengan penerjemah yang berbeda-beda: A History of Modern Indonesia, ca 1300 to the Present (1981).
Merle Ricklefs mulai memperkenalkan rekonstruksi akademis tentang sejarah Indonesia yang, sebagaimana diakuinya, sangat banyak berkisah tentang Jawa. Tapi bukankah lebih dari setengah penduduk Indonesia adalah penduduk Jawa dan bukankah pula lokasi geografisnya menyebabkan pulau ini lebih banyak mengalami peristiwa yang meninggalkan kesan? Buku ketiganya itu sempat mengalami tiga kali penerbitan, tapi pengulangan cetak mengalami perubahan dan penambahan. Cetakan ketiga pada 2001 bahkan mengalami perubahan judul dengan tambahan kata “since c. 1200”. Dan bisalah dimaklumi juga kalau jumlah seksi sejarah modern juga bertambah, dari tiga menjadi enam--kisah tidak berhenti dengan The New Order since 1965, tapi sampai Indonesia since Soeharto.
Buku ini terbit dalam tiga versi terjemahan bahasa Indonesia dengan penerjemah dan penerbit yang berbeda-beda pula. Janganlah heran kalau susunan bab dari buku ini tidaklah sama dengan periodisasi sejarah Indonesia modern, yang biasa terdiri atas “zaman kolonial”, “zaman pendudukan Jepang”, “zaman revolusi”, dan seterusnya sesuai dengan pergantian rezim.
Ada sebuah buku terjemahan bahasa Indonesia dari Ricklefs yang teramat tebal (887 halaman) berjudul Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai Sekarang (2012). Buku ini aslinya dalam bahasa Inggris dan sesungguhnya jilid ketiga dari rangkaian buku tentang Islam di Jawa. Buku pertama adalah Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries (2006). Yang kedua berjudul Polarising Javanese Society: Islamic and other visions (c. 1830-1930) (2007). Buku yang untuk mudahnya disebut saja sebagai buku yang terakhir berjudul Soul Catcher: Java’s Fiery Prince Mangkunegara I, 1726-1795 (2018).
Di samping itu, ada beberapa buku yang ditulis Ricklefs bersama ilmuwan-ilmuwan lain. Ia juga menerjemahkan ke bahasa Inggris karya Profesor P.J. Zoetmulder, pastor dan mantan guru besar Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada yang sangat dihargai Ricklefs, yang berjudul Pantheism and Indian mysticism in an Indonesian setting (1995).
Senin pagi, akhir Desember 2019. Sebelum mulai mengerjakan apa-apa, saya iseng saja membuka telepon seluler. Seketika saya terkejut saat sebuah berita singkat yang terbaca ialah percikan rasa sedih yang diungkapkan seorang kawan yang baru saja mendapat kabar bahwa pembimbingnya semasa kuliah di Monash University, Australia, meninggal pada 29 Desember. Mantan pembimbing akademis yang tidak pernah dilupakannya itu ialah Merle.
Rasa sedih pun menyelinap dalam hati saya. Sudah dua-tiga tahun saya mengetahui bahwa Profesor Ricklefs mengidap penyakit yang tidak mudah disembuhkan. Merle Ricklefs pergi ke wilayah keabadian dengan meninggalkan sekian banyak karya akademis hasil kecintaan yang dipupuknya sejak 1965--tahun ketika ia mendaftar sebagai graduate student di jurusan sejarah dan bergabung dengan Program of Southeast Asian Studies, Cornell University. Selamat jalan, Merle.
TAUFIK ABDULLAH, ANGGOTA AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo