Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tak Jaya di Natuna

Pemerintah tak kompak menghadapi manuver kapal-kapal Cina di Laut Natuna Utara. Problem lawas yang terus berulang.

11 Januari 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Joko Widodo mengunjungi pangkalan militer di Natuna, Laut Cina Selatan, Indonesia, 8 Januari 2020. Reuters/Handout

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jumlah kapal Cina yang menerobos wilayah Indonesia makin meningkat pada Desember 2019.

  • Menghadapi manuver kapal Cina, pemerintah sempat tak satu suara.

  • Penjagaan atas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna pun lemah.

MENTERI Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mohammad Mahfud Mahmodin terkejut saat menatap layar di hadapannya pada Jumat, 3 Januari lalu. Menampilkan hasil pantauan radar di Laut Natuna Utara yang ditunjukkan Kepala Badan Keamanan Laut Laksamana Madya Purnawirawan Achmad Taufiqoerrochman, layar itu dipenuhi 30 titik menyala tanda kehadiran kapal Cina. Padahal, lima hari sebelumnya, menjelang tahun berganti, hanya ada tiga kapal ikan dan dua kapal penjaga pantai milik Cina di sana.

Bukan hanya Mahfud. Semua peserta rapat koordinasi yang membahas kondisi di perairan Natuna juga terkaget-kaget. Kapal-kapal asing yang masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia itu terdeteksi karena menyalakan automatic identification system (AIS). “Akhir-akhir ini mereka seperti provokatif karena menyalakan AIS,” ujar Mahfud menceritakan isi rapat itu kepada Tempo di kantornya, Kamis, 9 Januari lalu.

Rapat itu dihadiri jajaran menteri dan pejabat bidang politik, seperti Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, serta Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto. Dalam pertemuan tersebut, kata tiga peserta yang hadir di situ, Prabowo sempat mengungkapkan kejengkelannya atas kehadiran kapal-kapal Cina. Sebab, pada pertengahan Desember 2019, ia berkunjung ke negara itu untuk membahas kerja sama pertahanan. Prabowo berjanji menghubungi Menteri Pertahanan Cina Jenderal Wei Fenghe.

Mahfud membenarkan info bahwa Prabowo menyinggung kunjungannya ke Cina. Kepada para peserta rapat, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu meminta pengamanan di Laut Natuna Utara, yang juga dikenal sebagai Laut Cina Selatan, dipertebal. Namun tiga sumber tersebut bercerita, pemerintah memutuskan menghindari konfrontasi dengan Cina. Sebab, Prabowo dalam pertemuan itu membahas kondisi alat utama sistem persenjataan Indonesia yang kalah jauh dibanding Cina. Termasuk jumlah kapal perang yang dimiliki TNI. Ditemui Tempo, anggota staf khusus Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, enggan menanggapi pernyataan Prabowo dalam rapat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan 1 Laksamana Madya TNI Yudo Margono menunjukkan pergerakan kapal Coast Guard asing dari Pesawat Boeing 737 di Laut Natuna, 4 Januari 2020. ANTARA/M Risyal Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menghindari konfrontasi, rapat memutuskan mendorong kapal Badan Keamanan Laut berada di barisan depan penjagaan wilayah Natuna Utara. Sedangkan kapal milik Angkatan Laut ditempatkan di belakang. Alasannya, kata Mahfud, Bakamla bukan militer, melainkan lembaga sipil yang tidak berperang.

Mahfud juga meminta Menteri Luar Negeri Retno Marsudi tidak membuka ruang negosiasi dengan pemerintah Cina. Sebab, Laut Natuna Utara telah diakui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982 sebagai wilayah Indonesia. Konvensi ini pun sudah diratifikasi pemerintah Cina.

Dalam jumpa pers seusai pertemuan, Retno menyatakan Indonesia telah menolak klaim Cina atas Laut Natuna Utara yang didasari Nine Dash Line atau sembilan garis putus. Ini adalah patokan yang digunakan negara itu untuk menandai wilayah di Laut Cina Selatan. Jika menggunakan standar tersebut, Indonesia berpotensi kehilangan sekitar 83 ribu kilometer persegi luas laut di Natuna.

Peta wilayah klaim Cina dan lima negara lainnya di wilayah Laut Cina Selatan.

Seusai pertemuan, Prabowo bertemu dengan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Anggota staf khusus Luhut, Atmadji Sumarkidjo, yang menemani bosnya, bercerita bahwa pertemuan itu membahas kekuatan militer Indonesia, termasuk kapal milik TNI. Menurut Atmadji, Luhut meminta Prabowo memperkuat penjagaan di Natuna. Seusai pertemuan tersebut, Prabowo justru menyatakan akan menyelesaikan persoalan itu dengan santai. “Kita cool saja. Bagaimanapun, Cina negara sahabat,” ujarnya. Luhut juga menyatakan persoalan di Natuna Utara tak perlu dibesar-besarkan.

Sikap dua menteri itu mengundang kritik dari berbagai kalangan. Ketua Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat Meutya Hafid mengatakan seharusnya Prabowo sebagai Menteri Pertahanan tidak menunjukkan sikap lembek terhadap pelanggaran kedaulatan wilayah Indonesia. “Pemerintah seharusnya satu suara. Ini soal kedaulatan kita,” ujar politikus Partai Golkar itu.

Juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, mengatakan pernyataan Prabowo tidak berarti permisif terhadap pelanggaran wilayah Indonesia. Sedangkan Atmadji Sumarkidjo menjelaskan bahwa Luhut tak ingin persoalan Natuna memperbesar sentimen terhadap etnis Cina di negara ini. “Pak Luhut menyadari sentimen suku, ras, agama, serta antar-golongan akan muncul lagi,” ujarnya.

Gusar dengan tudingan lembek, Luhut pun bertemu dengan Mahfud seusai rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada Senin, 6 Januari lalu. Keduanya menaiki mobil yang sama menuju kantor Mahfud. Kepada Mahfud, Luhut menyatakan memiliki sikap yang sama dan tak mau berkompromi terhadap manuver kapal Cina. “Pak Luhut bilang enggak usah gaduh karena Natuna memang milik Indonesia,” katanya. Luhut juga menyatakan kedaulatan negara akan tetap terjaga tanpa harus berperang dengan Cina. “Kami bukan budak negara mana pun,” ujar mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan tersebut.

Pada Rabu, 8 Januari lalu, Presiden Jokowi pun mengunjungi Natuna. Dia mengklaim kedatangannya itu untuk memastikan penegakan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. “Kenapa di sini hadir Bakamla dan Angkatan Laut? Untuk memastikan penegakan hukum yang ada di sini,” katanya.

•••

KEDATANGAN Jokowi ke Natuna tak hanya sekali itu. Antara Juni 2016 dan Mei 2017, Presiden tiga kali berkunjung ke sana. Visitasi pertama dilakukan tiga hari setelah empat kapal perang Indonesia mengejar dan menangkap 12 kapal Cina yang menerobos wilayah Natuna pada 20 Juni 2016. Saat itu, Angkatan Laut mengeluarkan tembakan peringatan yang mengenai satu kapal Cina. Namun, setelah kunjungan itu, Cina, juga Vietnam, masih melanggar batas wilayah.

Rudi M. Said, nelayan asal Pulau Ranai, Kabupaten Natuna, bercerita, pada 28 Desember 2019, dia memergoki sekitar 20 kapal asing, sebagian besar dari Vietnam, memanen ikan di wilayah Indonesia dengan menggunakan pukat harimau. Menurut dia, kapal Cina pun pernah memasuki perairan di sekitar Ranai pada Oktober 2019. Saat itu, perahunya didekati kapal penjaga pantai asal Cina. Kapten kapal memerintahkan Rudi dan dua rekannya menyingkir dan kembali ke Pulau Ranai.

Kapal Rajawali milik Rudi dibuntuti kapal Cina tersebut. “Kami tidak mau bertahan dan mengambil risiko meskipun itu daerah Indonesia,” ujar Rudi. Setelah peristiwa itu, Rudi makin waswas saat mencari ikan.

Rekaman video dari KRI Tjiptadi-381 menghalau kapal Coast Guard China, di Laut Natuna Utara, Riau, Indonesia, 30 Desember 2019. Reuters/Dispen Koarmada 1

Kepala Badan Keamanan Laut Achmad Taufiqoerrochman mengatakan kapal nelayan asing, terutama dari Cina, kerap datang pada akhir tahun. Alasannya, saat itu Cina mengalami musim dingin, yang mengakibatkan ikan di sana bermigrasi ke daerah lain, termasuk ke Natuna Utara.

Pada 19 Desember 2019, kapal Badan Keamanan Laut mendatangi lokasi yang diduga disinggahi sekitar 50 kapal asal Cina. Namun, setelah kapal Bakamla menempuh 12 jam perjalanan, hanya ada dua kapal di lokasi itu, yang kemudian diusir. “Kami selalu menyatakan kapal mereka ada di wilayah perairan Indonesia,” ujar petugas Bakamla di kapal KN Tanjung Datu 301, Bintang Dimas Maharani. Setelah itu, jumlah kapal asing terus meningkat di perairan tersebut.

Masalahnya, Badan Keamanan Laut tak bisa setiap hari mengawasi wilayah itu karena keterbatasan anggaran. Tahun lalu, Bakamla hanya mendapat sekitar Rp 450 miliar. Jika dipakai untuk menjaga laut setiap hari, dana itu habis pada bulan keempat. Menurut Taufiqoerrochman, kapal milik lembaganya pun kalah cepat dibandingkan dengan kapal penjaga pantai Cina.

Mantan koordinator staf khusus Satuan Tugas 115 Anti-Pencurian Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Mas Achmad Santosa, mengatakan lembaganya juga sulit mengawasi seluruh kawasan Natuna. Faktor anggaran menjadi penyebabnya pula. Pada 2016, kapal milik Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan dalam setahun bisa berlayar sekitar 330 hari. Tapi, dua tahun kemudian, kapal itu hanya bisa melaut sekitar 160 hari.

Ketidakhadiran Indonesia di Natuna juga disebabkan oleh minimnya kapal nelayan yang melaut di perairan itu. Sebab, menurut Mahfud Md., ada peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan yang membatasi ukuran kapal tangkap sebesar 150 gross tonnage dan kapal angkut sebesar 200 GT. Rencananya, aturan itu akan diperbaiki dalam waktu cepat. Setelah itu, pemerintah bakal mengerahkan nelayan dari utara Jawa ke Natuna. Tak hanya itu, pemerintah pun berencana membangun pangkalan militer di kawasan tersebut.

Menurut Duta Besar Cina untuk Indonesia, Xiao Qian, dalam permasalahan Natuna Utara, negaranya dan Indonesia ibarat teman baik yang sedang berbeda pandangan. Karena itu, dia yakin masalah ini bisa diselesaikan secara baik. “Kami punya hubungan baik di banyak area, tapi teman baik kadang punya perspektif berbeda,” ujarnya.

HUSSEIN ABRI DONGORAN, RAYMUNDUS RIKANG, FRANCISCA CHRISTY, ASHEANTY PAHLEVI (PONTIANAK), YOGI EKA SAHPUTRA (NATUNA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus