Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Qasim Soleimani tewas akibat serangan drone Amerika Serikat.
Meskipun ditakuti di medan perang, Soleimani kurang dikenal.
Iran mengidentifikasi lebih dari 100 kali percobaan pembunuhan.
SUASANA duka tecermin jelas di kantor Kedutaan Besar Iran di Indonesia, Jalan H O.S. Cokroaminoto, Nomor 110, Menteng, Jakarta, Selasa, 7 Januari lalu. Bendera hijau-putih-merah negara itu berkibar setengah tiang di halaman sejak tiga hari sebelumnya. Setidaknya ada tiga karangan bunga belasungkawa atas meninggalnya Komandan Pasukan Elite Al-Quds, Korps Garda Revolusi Iran, Mayor Jenderal Qasim Soleimani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mayor Jenderal Soleimani terbunuh ketika sedang memenuhi undangan Perdana Menteri Irak Adil Abdul-Mahdi. Drone MQ-9 Reaper milik militer Amerika menembakkan misil Hellfire H9X “Ninja” berpemandu laser ke arah serombongan mobil yang ditumpangi Soleimani saat keluar dari Bandar Udara Internasional Bagdad, Irak, 3 Januari lalu. Soleimani meninggal bersama Abu Mahdi al-Muhandis, pendiri milisi Kata’ib Hizbullah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Iran menyatakan masa berkabung tiga hari untuk menghormati Soleimani. “Kami berduka selamanya. Tapi negara berkabung cukup tiga hari,” kata Atase Pers Kedutaan Besar Iran di Indonesia, Ali Pahlevani Rad.
Ratusan orang, baik masyarakat umum maupun diplomat, datang memberikan belasungkawa. Mereka menuliskan kesan di sebuah buku di atas sebuah meja dengan foto Soleimani sebagai latar belakangnya. “Dia akan tetap selalu di hati rakyat sebagai pahlawan Iran dan pejuang melawan terorisme,” tulis Kepala Misi Rusia untuk ASEAN, Denis Fedorov, dalam buku itu. Menurut Ali, diplomat yang sudah datang antara lain dari Kedutaan Aljazair, Suriah, dan Rusia.
Pemakaman Soleimani di Teheran, Iran, 6 Januari lalu, dihadiri ratusan ribu orang yang penuh dengan teriakan “Mampuslah Amerika!”. “Kepergiannya tidak mengakhiri jalan atau misinya, tapi balas dendam yang kuat menunggu para penjahat yang memiliki darahnya dan darah para martir lain di tangan mereka,” ujar pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei.
Kendaraan yang mengangkut Jenderal Qasem Soleimani,dan dibom oleh drone Amerika Serikat di Irak, 3 Januari 2020./ Ahmad Al Mukhtar/via REUTERS
Iran membalas serangan itu dengan meluncurkan sekitar 20 rudal pada Rabu pagi, 8 Januari lalu, ke Pangkalan Udara Al-Asad, yang menjadi pusat operasi militer Amerika di Irak. Sekitar 1.500 tentara Amerika dan sekutunya bermarkas di sini. Sasaran serangan lain adalah pangkalan di Erbil, Irak utara, yang menjadi markas pasukan khusus Amerika dalam operasi melawan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Serangan rudal itu tampaknya sengaja meleset dan tak ada tentara Amerika yang menjadi korbannya.
Departemen Pertahanan Amerika menyatakan serangan itu dibenarkan sebagai langkah pembelaan diri. “Jenderal Soleimani secara aktif mengembangkan rencana untuk menyerang para diplomat Amerika dan pegawai di Irak dan di seluruh wilayah itu,” begitu menurut Departemen Pertahanan dalam pernyataan tertulisnya. “Serangan ini bertujuan menghalangi rencana serangan Iran di masa depan.”
Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo mengatakan serangan terhadap Soleimani itu diberikan atas perintah Presiden Donald Trump. Langkah Trump ini memicu kontroversi karena bisa membuat Amerika terperosok dalam perang, tapi tak memberikan bukti awal yang memadai kepada Kongres.
Mantan penyelidik kontraterorisme Biro Penyelidik Federal Amerika (FBI), Ali Soufan, mengatakan, terlepas dari masalah ekonomi yang menderanya, Iran yang mayoritas penduduknya menganut Syiah ini telah membentuk diri mereka menjadi salah satu kekuatan militer dan diplomatik utama di Timur Tengah. Pesaing utamanya adalah negara berpenduduk mayoritas Sunni, Arab Saudi. Menurut Soufan dalam artikelnya di CTC Sentinel, November 2018, arsitek utama dari kebijakan Iran ini adalah Soleimani.
Soleimani, kata Soufan, bertanggung jawab atas penciptaan busur pengaruh--yang oleh Iran disebut sebagai “Sumbu Perlawanan”--yang merentang dari Teluk Oman melalui Irak, Suriah, dan Libanon menuju pantai timur Laut Mediterania. “Meskipun dihormati di negara asalnya dan ditakuti di medan perang di Timur Tengah, Soleimani tetap tidak dikenal di Barat,” ucapnya.
“Soleimani adalah operator tunggal paling kuat di Timur Tengah saat ini dan tidak ada yang pernah mendengar tentang dia,” kata John Maguire, mantan perwira Badan Intelijen Pusat (CIA) di Irak.
Menurut New Yorker, Soleimani lahir pada 11 Maret 1957 di Desa Qanat-e Malek, Provinsi Kerman, Iran. Ada yang mengatakan bahwa dia lahir di Rabor, Iran timur. Reformasi agraria yang gagal yang diperkenalkan oleh Shah Reza Pahlavi, pemimpin Iran saat itu, sebagai bagian dari Revolusi Putih membuat ayah Soleimani, seorang petani kecil, berutang kepada pemerintah sekitar 9.000 real. Untuk membantu membayar utang, Soleimani meninggalkan sekolah pada usia 13 tahun dan bekerja di lokasi konstruksi di Kota Kerman.
Hidup Soleimani berubah saat terjadi Revolusi Islam yang dipimpin Ayatullah Khomeini pada 1979, yang memaksa Shah Reza Pahlavi kabur ke Amerika. Massa menyerbu Kedutaan Amerika dan menyandera stafnya, yang kemudian berujung pada putusnya hubungan diplomatik kedua negara. Pada saat revolusi meletus, Soleimani adalah seorang teknisi di otoritas air kota.
Soleimani lantas bergabung dengan Korps Garda Revolusi Iran. Debut militernya dimulai saat ia bersama unitnya dikirim untuk memadamkan pemberontakan separatis Kurdi. Namun kariernya meroket saat Irak, di bawah Saddam Hussein, menyerang Iran pada 22 September 1980. Soleimani dikirim ke garis depan pertempuran. Perang yang berlangsung 8 tahun dan merenggut hampir 1 juta nyawa dari kedua pihak ini membuatnya tenar.
Di radio Irak, Soleimani dikenal sebagai si pencuri kambing karena kerap pulang dari misi militer dengan membawa kambing. Dia lantas dipercaya memimpin Divisi 41 Tharallah. Setelah perang Irak-Iran berakhir, Soleimani dikirim pulang ke Kerman untuk berperang melawan geng narkotik. Dalam waktu tiga tahun, ia mengatasi masalah itu dan penduduk sangat berterima kasih atas perannya ini.
Tak banyak diketahui apa yang terjadi setelah itu sampai akhirnya Soleimani diangkat sebagai Komandan Al-Quds, salah satu unit elite dalam Korps Garda Revolusi Iran. Jenderal perang Irak Amerika Serikat, Stanley McChrystal, menggambarkan pasukan Quds sebagai organisasi yang fungsinya kira-kira sama dengan kombinasi antara CIA dan Komando Operasi Khusus Gabungan (JSOC) di Amerika.
Pada Agustus 1998, Taliban menyerbu Kota Mazar-i-Sharif, yang banyak dihuni warga Syiah suku Hazara. Meski ada desakan untuk menyerang Taliban, Soleimani mengusulkan agar memeranginya dengan membantu oposisinya, Pasukan Aliansi Utara. Itu adalah model perang proksi yang kemudian banyak dipakai dalam perang-perang Iran berikutnya.
Selain memerangi Taliban, tugas penting Soleimani saat itu adalah membantu kelompok militan Hizbullah menghadapi tentara pendudukan militer Israel di Libanon selatan. Ia bersama komandan militer Hizbullah, Imad Mugniyah, memimpin perang gerilya yang canggih, menggabungkan serangan, bom pinggir jalan, pelaku peledakan bom bunuh diri, dan serangan terhadap pos-pos pertahanan Israel. Israel akhirnya hengkang dari Libanon pada Mei 2000.
Soleimani melihat peluang untuk mengalahkan Taliban seusai serangan 11 September 2001 di Amerika. Peristiwa yang menewaskan sekitar 3.000 orang itu membuat Amerika berjanji menghancurkan Taliban, penguasa Afganistan, karena melindungi Al-Qaidah, organisasi yang dituding bertanggung jawab atas serangan itu.
Menurut pejabat Kementerian Luar Negeri Amerika, Ryan Crocker, pada 2011 itu ia terbang diam-diam ke Jenewa untuk bertemu dengan diplomat Iran, yang ternyata orangnya Soleimani. Menurut Crocker, mereka berbagi informasi tentang posisi pasukan Taliban dan kamp Al-Qaidah, tapi kerja sama itu berakhir setelah Presiden George W. Bush menyebut Iran sebagai bagian dari “axis of evil”.
Setelah menyerang Afganistan, dua tahun kemudian Amerika menyerang Irak dengan tudingan memiliki senjata pemusnah massal. Pada saat itu Soleimani sedang berada di Irak untuk membangun milisi Syiah. Ketika Saddam Hussein jatuh, dia sudah memiliki pasukan tempur bernama Brigade Badar. Milisi ini banyak mengincar mantan penguasa Irak, kaum Baath, dan, tentu saja, tentara Amerika.
Milisi lain yang didukung Iran, Tentara Mahdi, yang dipimpin ulama populis Muqtada al-Sadr, juga berkonfrontasi dengan Amerika. Merasa Sadr tidak dapat diprediksi dan sulit dihadapi, Soleimani membentuk milisi sendiri. Salah satu milisinya adalah Asaib Ahl al-Haq. Milisi ini mengklaim telah melakukan lebih dari 6.000 serangan sejak pembentukannya pada 2006 hingga mundurnya Amerika dari Irak pada 2011.
Serangan Amerika ke Irak juga membuat Iran dan Suriah menjadi lebih dekat. Menurut Ali Soufan, dua negara ini menyadari bahwa mereka bisa menjadi sasaran Amerika berikutnya. Untuk menghadapi invasi Amerika, Soleimani membantu menyalurkan milisi Sunni masuk ke Irak. Di sana mereka menyerang pasukan Amerika dan sering menggunakan bom yang disediakan Al-Quds.
Pada 2006, Soleimani sempat berhenti sejenak di Irak karena membantu Hizbullah di Libanon dalam memerangi Israel. Selama ketidakhadirannya, komandan Amerika di Irak mencatat penurunan tajam jumlah korban di seluruh negeri. Sekembali dari Libanon, Soleimani menulis pesan kepada komandan Amerika: “Saya harap Anda menikmati kedamaian dan ketenangan di Bagdad. Saya sibuk di Beirut!”
Saat pemerintah Presiden Suriah Bashar al-Assad menghadapi kelompok pemberontak bersenjata dan ISIS, Soleimani mendukungnya. Selain mengerahkan semua aset yang dibangun Al-Quds, Soleimani membujuk Irak untuk memungkinkan Iran menggunakan wilayah udaranya buat menerbangkan personel dan amunisi ke Damaskus. Jenderal James Mattis, yang pernah menjadi komandan pasukan militer Amerika di Timur Tengah, mengatakan, tanpa bantuan ini, pemerintah Assad akan runtuh.
Peran penting Soleimani yang lain adalah saat memerangi ISIS. Pada Juni 2014, ISIS merebut Mosul. Empat bulan kemudian, mereka mencapai pinggiran Bagdad. Dengan tidak adanya tentara Irak yang kredibel, proksi Soleimani bersama milisi lain turun tangan. Soleimani memerintahkan milisi Irak, yang ditugasi membela Assad, untuk kembali dan menyelamatkan Irak.
Para milisi ini tergabung dalam Pasukan Mobilisasi Populer (PMF), payung organisasi untuk koordinasi dengan pemerintah di Bagdad. Sebagian besar anggota pasukan ini penganut Syiah, tapi tidak semua di bawah kendali langsung Soleimani. Namun ini pasukan Soleimani yang paling besar. Dalam perang melawan ISIS, Soleimani terlihat berada di garis depan pertempuran.
Menurut New York Times, konflik selama 2014-2017 adalah contoh yang jarang terjadi antara Iran dan Amerika Serikat berjuang di sisi yang sama. Dalam beberapa kesempatan, Amerika memukul ISIS dari udara, sementara Soleimani mengarahkan pasukan darat melawan kelompok milisi bersenjata itu.
Di Barat, Soleimani dipandang sebagai kekuatan klandestin di belakang kampanye terorisme internasional Iran. Amerika dan Israel pada 2011 menetapkan dia sebagai teroris. Departemen Keuangan Amerika memberikan sanksi kepada Soleimani karena perannya dalam mendukung Assad dan bersekongkol dengan terorisme.
Dalam kumpulan kawat intelijen Iran yang diterbitkan baru-baru ini oleh The Intercept dan New York Times, ada persaingan sengit antara Pasukan Quds dan agen intelijen utama Iran lain. Banyak yang mengkritik perang proksi Soleimani di Irak dan cara milisi sekutunya menangani penduduk Sunni di sana melemahkan kepentingan jangka panjang Iran di wilayah tersebut.
Berbagai peran ini membuat Soleimani menjadi incaran banyak pihak. “Lebih dari 100 kali upaya pembunuhan terhadap Soleimani dan bisa digagalkan,” ucap Ali Pahlevani Rad. Salah satunya, kata dia, terjadi di Provinsi Kerman, tahun lalu, ketika sekelompok orang berupaya membunuh Soleimani tapi berakhir dengan penangkapan sebagian besar pelakunya.
Di dalam negeri, Soleimani mendapat pengakuan tinggi. Pada Februari 2019, ia diberi anugerah kehormatan militer tertinggi Ordo Zolfaghar dan menjadi tentara pertama yang menerima penghargaan ini. Dalam sambutan saat memberikan penghargaan ini, Ayatullah Ali Khamenei mengatakan: “Republik Islam membutuhkannya selama bertahun-tahun lagi. Tapi saya berharap pada akhirnya ia mati sebagai martir.”
ABDUL MANAN (NEWYORKER, NEW YORK TIMES, TEHRAN TIMES, REUTERS)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo