Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Perginya seorang penjaga benteng

Penerbit bulan bintang kehilangan pengasuh. amelz (bersama istri dan adiknya) berhasil membangun ciri khas untuk penerbit yang mewakili kalangan-formal-atas islam. namun diterbitkan juga buku tokoh kristen dan katolik.

13 Maret 1982 | 00.00 WIB

Perginya seorang penjaga benteng
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
AMELZ telah tiada. Dan sejak 24 Februari, saat meninggalnya tokoh tersebut, keluarga Bulan Bintang berkabung. Tigapuluh tahun lamanya almarhum, bersama adiknya Amran Zamzami (itu Wakil Presdir PT Krama Yudha, yang juga Ketua Gabungan Bridge Indonesia) serta istri almarhum, Fatimah Zahra, bergulat untuk tetap menghadirkan badan penerbitan Islam itu. Sekarang, perusahaan keluarga yang terletak di daerah Kramat Kwitang Jakarta ini diakui sebagai salah satu penyumbang terpenting dunia pembaca Indonesia, khususnya masyarakat muslimin yang luas. Berdiri pada 1951, sampai kini NV (dan sejak 1956 PT) Bulan Bintang sudah mengeluarkan 1.188 judul buku (termasuk cetak ulang), atau 99 judul bila tidak dihitung cetak ulang. Subyek penerbitannya meliputi Tafsir Al Quran, Hadits, Sejarah, Pendidikan, Tauhid, Filsafat, Psikologi, khususnya yang bersangkut-paut dengan Islam --sampai buku-buku pelajaran madrasah dan perguruan tinggi agama. Itu diterangkan Amran Zamzami kepada TEMPO. Untuk golongan buku pelajaran, Departemen Agama merupakan salah satu pembeli tetap sejak lama. Dari departemen itu juga diterima piagam penghargaan, selain dari Departemen P&K. Kebesaran 1/7 Ali Audah, sastrawan yang juga salah seorang penerjemah karya-karya filosof Islam Muhammad Iqbal, menyebut sumbangan Bulan Bintang "besar sekali". Juga penulis dan orang Majelis Ulama Indonesia Yunan Helmy Nasution. H.M. Baharthah, direktur penerbit besar AlMa'arif di Bandung, menyebut ruang gerak Bulan Bintang "hampir di semua bidang". Memang, Baharthah ada menyatakan buku-buku Bulan Bintang rata-rata maha', "tidak terjangkau masyarakat luas". Tapi Ali Audah menyebut penerbitan Bulan Bintang "diperuntukkan bagi golongan menengah ke atas". Berbeda dengan buku Al-Ma'arif yang mayoritasnya ditujukan bagi "golongan bawah"-dan murah. Tapi dilihat dari segi omzet eksemplar, produk Bulan Bintang (15 juta jilid dalam 30 tahun, atau « juta setahun) memang kalah jauh dibanding misalnya Al-Ma'arif itu. Di tahun 1977, penerbit Bandung tersebut menghitung telah berhasil memasarkan tiap tahun 10 juta buku. Bila jumlah itu dikurangi 15% untuk penerbitan kitab (Zuran yang terus-menerus, 40% untuk buku-buku kecil macam tuntunan salat praktis, serta 10% buku anak-anak (TEMPO 8 Oktober 1977) yakni jenisjenis yang bukan spesialisasi Bulan Bintang, maka untuk jenis buku-buku yang juga diterbitkan Bulan Bintang, Al-Ma'arif (dengan gayanya yang tetap rakyat) meraih omzet 35% alias 3,5 juta. Dengan kata lain kebesaran Bulan Bintang hanya 1/7-nya. Namun Bulan Bintang memang berhasil mewakili "wajah Islam", atau lapisannya yang "atas". Di antara para pengarang langganannya misalnya tercatat Prof. Dr. Hamk.l M. Yunan Nasution, Prof. Hasbi Ah-Shiddieqy, M. Natsir, Moh. Roem, Prof. Dr. Rasjidi, Prof. A. Hasjmy, Dr. Zakiah Daradjat, H. Munawar Cholil, di samping para tokoh Islam luar negeri lewat terjemah. Perbedaan selanjutnya dengan penerbit Islam lain (Tintamas atau Mutiara, misalnya) Bulan Bintang terhitung paling dekat dengan "ideologi". Penerbit ini seakan "benteng Islam" di dunia buku, meski bukan dalam hubungan dengan politik. Prinsip yang sejak semula dipegang oleh si penjaga benteng, yakni menghidupkan sarana da'ab, tadris dan ta'lim (seruan agama, pengkajian dan pengajaran), memang banyak diwujudkan dalam bentuk 'membela Islam'. Hanya saja caranya bukan dengan penerbitan brosur-brosur polemik panas seperti yang misalnya (pernah) dilakukan penerbit YAPI Surabaya. Melainkan memang ilmiah. Itu pula sebabnya, dari Bulan Bintang tidak diharapkan keluarganya buku-buku keislaman yang "kontroversial". Penerbit ini misalnya mengeluarkan buku Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspekna. Tapi tak lama kemudian dikeluarkannya pula buku Prof. Rasjidi yang judulnya dimulai dengan Koreksi . . . untuk menghantarn buku Nasution, yang menurut Rasjidi "tidak Islami" itu. Dan dalam pengantar buku kedua itu, penerbit merasa perlu minta maaf atas kekeliruan pemilihan buku pertama . . . Juga lewat Bulan Bintang Rasjidi menulis bukunya Koreksi . . . (yang juga keras) kepada pikiran Nurcholish Madjid tentang "sekularisasi". Bahkan seperti dituturkan Abdullah Faqih, 36 tahun, Kepala Bagian Redaksi/Produksi Bulan Bintang kepada majalah Optimis, "Kami selalu berkonsultasi dulu dengan Pak Rasjidi bila ada naskah yang tendensinya agak merugikan agama Islam." Dan Rasjidi juga tokoh yang meletakkan dirinya dalam posisi penjaga benteng. Namun jangan dikira penerbit ini "sempit". Asal menurut pendapat mereka sebuah naskah memang penting, jujur dan bermutu (atau setidaknya ditulis oleh tokoh terpandang), walaupun dari luar kalangan Islam, mereka terbitkan. Paling tidak itulah yang terjadi dengan buku Dr. T.B. Simatupang, Laporan Dari Banaran. Sedang Simatupang, bekas KSAD itu, betapa pun adalah sesepuh Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI). Juga catatan perjuangan lain dari O.F.M. Chalid Salim, yang diberi judul Lima Belas Tahun Digul. Sedang Chalid, adik H. Agus Salim itu, sejak di Digul jadi Katolik. Kebijaksanaan seperti itu bahkan belum terdengar dari kalangan penerbit Kristen atau Katolik. Barangkali juga tidak ada tokoh Islam yang menyerahkan atau dimintai karangannya. Sedang Dibenahi Amelz sendiri (Abdul Manaf El Zamzami), memang juga pejuang. Pengusaha asal Aceh ini, lahir 1921, jadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) 1947-1950. Dan dari tahun itu sampai 1959 berturut-turut anggota Parlemen RIS, Parlemen RI dan Konstituante, mewakili Masjumi. Belum lagi berumur 20, pada 1940, sampai 1950, berturut-turut ia pemimpin redaksi majalah Widjaja, Medan, redaktur majalah Fajar Asia, Singapura, dan wartawan KB Antara di Aceh. Pernah menjadi Ketua I Ikapi, sampai meninggalnya ia juga Presdir NV Tamaddun, Jakarta (sejak 1954) dan Ketua I Yayasan Pembangunan PP Muhammadiyah sejak 1957. Meninggal di RSCM akibat komplikasi darah tinggi (menurut putranya, Fauzi,-kepada TEMPO), tokoh ini dikenal berdisiplin keras. Namun sudah lebih dua tahun sebenarnya kepemimpinan Bulan Bintang dipegang H. Amran Zamzami -- yang pelan-pelan melakukan pembaruan. Ia didukung oleh Fauzi, 32 tahun, Master of Science dari Illinois Institute of Technology, Chicago. Putra pertama ini sejak tujuh bulan lalu duduk sebagai Kuasa Direksi. H.M. Baharthah, pemilik Al-Ma'arif tadi, menyatakan bersyukur bila kesinambungan Bulan sintang bisa dipelihara. Ia menunjuk misalnya kasus yang tidak dikehendaki, seperti rubuhnya penerbit Ganaco Bandung setelah meninggalnya sang pemilik dan pemimpin, Oejeng Suwargana. Fauzi sendiri menyatakan, organisasi Bulan Bintang bahkan sedang dibenahi. Ia menunjuk perlunya peningkatan efisiensi kerja, dan pola pemasaran yang selama ini sebenarnya belum ditemukan. Barangkali juga ada perubahan kebijaksanaan dasardi sanasini. Fauzi sendiri mengharap bisa mengejar peningkatan oplah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus