AMELZ telah tiada. Dan sejak 24 Februari, saat meninggalnya
tokoh tersebut, keluarga Bulan Bintang berkabung. Tigapuluh
tahun lamanya almarhum, bersama adiknya Amran Zamzami (itu Wakil
Presdir PT Krama Yudha, yang juga Ketua Gabungan Bridge
Indonesia) serta istri almarhum, Fatimah Zahra, bergulat untuk
tetap menghadirkan badan penerbitan Islam itu.
Sekarang, perusahaan keluarga yang terletak di daerah Kramat
Kwitang Jakarta ini diakui sebagai salah satu penyumbang
terpenting dunia pembaca Indonesia, khususnya masyarakat
muslimin yang luas. Berdiri pada 1951, sampai kini NV (dan sejak
1956 PT) Bulan Bintang sudah mengeluarkan 1.188 judul buku
(termasuk cetak ulang), atau 99 judul bila tidak dihitung cetak
ulang.
Subyek penerbitannya meliputi Tafsir Al Quran, Hadits, Sejarah,
Pendidikan, Tauhid, Filsafat, Psikologi, khususnya yang
bersangkut-paut dengan Islam --sampai buku-buku pelajaran
madrasah dan perguruan tinggi agama. Itu diterangkan Amran
Zamzami kepada TEMPO. Untuk golongan buku pelajaran, Departemen
Agama merupakan salah satu pembeli tetap sejak lama. Dari
departemen itu juga diterima piagam penghargaan, selain dari
Departemen P&K.
Kebesaran 1/7
Ali Audah, sastrawan yang juga salah seorang penerjemah
karya-karya filosof Islam Muhammad Iqbal, menyebut sumbangan
Bulan Bintang "besar sekali". Juga penulis dan orang Majelis
Ulama Indonesia Yunan Helmy Nasution. H.M. Baharthah, direktur
penerbit besar AlMa'arif di Bandung, menyebut ruang gerak Bulan
Bintang "hampir di semua bidang".
Memang, Baharthah ada menyatakan buku-buku Bulan Bintang
rata-rata maha', "tidak terjangkau masyarakat luas". Tapi Ali
Audah menyebut penerbitan Bulan Bintang "diperuntukkan bagi
golongan menengah ke atas". Berbeda dengan buku Al-Ma'arif yang
mayoritasnya ditujukan bagi "golongan bawah"-dan murah.
Tapi dilihat dari segi omzet eksemplar, produk Bulan Bintang (15
juta jilid dalam 30 tahun, atau « juta setahun) memang kalah jauh
dibanding misalnya Al-Ma'arif itu. Di tahun 1977, penerbit
Bandung tersebut menghitung telah berhasil memasarkan tiap tahun
10 juta buku. Bila jumlah itu dikurangi 15% untuk penerbitan
kitab (Zuran yang terus-menerus, 40% untuk buku-buku kecil macam
tuntunan salat praktis, serta 10% buku anak-anak (TEMPO 8
Oktober 1977) yakni jenisjenis yang bukan spesialisasi Bulan
Bintang, maka untuk jenis buku-buku yang juga diterbitkan Bulan
Bintang, Al-Ma'arif (dengan gayanya yang tetap rakyat) meraih
omzet 35% alias 3,5 juta. Dengan kata lain kebesaran Bulan
Bintang hanya 1/7-nya.
Namun Bulan Bintang memang berhasil mewakili "wajah Islam", atau
lapisannya yang "atas". Di antara para pengarang langganannya
misalnya tercatat Prof. Dr. Hamk.l M. Yunan Nasution, Prof.
Hasbi Ah-Shiddieqy, M. Natsir, Moh. Roem, Prof. Dr. Rasjidi,
Prof. A. Hasjmy, Dr. Zakiah Daradjat, H. Munawar Cholil, di
samping para tokoh Islam luar negeri lewat terjemah.
Perbedaan selanjutnya dengan penerbit Islam lain (Tintamas atau
Mutiara, misalnya) Bulan Bintang terhitung paling dekat dengan
"ideologi". Penerbit ini seakan "benteng Islam" di dunia buku,
meski bukan dalam hubungan dengan politik. Prinsip yang sejak
semula dipegang oleh si penjaga benteng, yakni menghidupkan
sarana da'ab, tadris dan ta'lim (seruan agama, pengkajian dan
pengajaran), memang banyak diwujudkan dalam bentuk 'membela
Islam'. Hanya saja caranya bukan dengan penerbitan brosur-brosur
polemik panas seperti yang misalnya (pernah) dilakukan penerbit
YAPI Surabaya. Melainkan memang ilmiah.
Itu pula sebabnya, dari Bulan Bintang tidak diharapkan
keluarganya buku-buku keislaman yang "kontroversial". Penerbit
ini misalnya mengeluarkan buku Prof. Dr. Harun Nasution, Islam
Ditinjau dari Berbagai Aspekna. Tapi tak lama kemudian
dikeluarkannya pula buku Prof. Rasjidi yang judulnya dimulai
dengan Koreksi . . . untuk menghantarn buku Nasution, yang
menurut Rasjidi "tidak Islami" itu. Dan dalam pengantar buku
kedua itu, penerbit merasa perlu minta maaf atas kekeliruan
pemilihan buku pertama . . .
Juga lewat Bulan Bintang Rasjidi menulis bukunya Koreksi . . .
(yang juga keras) kepada pikiran Nurcholish Madjid tentang
"sekularisasi". Bahkan seperti dituturkan Abdullah Faqih, 36
tahun, Kepala Bagian Redaksi/Produksi Bulan Bintang kepada
majalah Optimis, "Kami selalu berkonsultasi dulu dengan Pak
Rasjidi bila ada naskah yang tendensinya agak merugikan agama
Islam." Dan Rasjidi juga tokoh yang meletakkan dirinya dalam
posisi penjaga benteng.
Namun jangan dikira penerbit ini "sempit". Asal menurut pendapat
mereka sebuah naskah memang penting, jujur dan bermutu (atau
setidaknya ditulis oleh tokoh terpandang), walaupun dari luar
kalangan Islam, mereka terbitkan. Paling tidak itulah yang
terjadi dengan buku Dr. T.B. Simatupang, Laporan Dari Banaran.
Sedang Simatupang, bekas KSAD itu, betapa pun adalah sesepuh
Dewan Gereja-Gereja di Indonesia (DGI).
Juga catatan perjuangan lain dari O.F.M. Chalid Salim, yang
diberi judul Lima Belas Tahun Digul. Sedang Chalid, adik H. Agus
Salim itu, sejak di Digul jadi Katolik. Kebijaksanaan seperti
itu bahkan belum terdengar dari kalangan penerbit Kristen atau
Katolik. Barangkali juga tidak ada tokoh Islam yang menyerahkan
atau dimintai karangannya.
Sedang Dibenahi
Amelz sendiri (Abdul Manaf El Zamzami), memang juga pejuang.
Pengusaha asal Aceh ini, lahir 1921, jadi anggota Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) 1947-1950. Dan dari tahun itu
sampai 1959 berturut-turut anggota Parlemen RIS, Parlemen RI dan
Konstituante, mewakili Masjumi. Belum lagi berumur 20, pada
1940, sampai 1950, berturut-turut ia pemimpin redaksi majalah
Widjaja, Medan, redaktur majalah Fajar Asia, Singapura, dan
wartawan KB Antara di Aceh. Pernah menjadi Ketua I Ikapi, sampai
meninggalnya ia juga Presdir NV Tamaddun, Jakarta (sejak 1954)
dan Ketua I Yayasan Pembangunan PP Muhammadiyah sejak 1957.
Meninggal di RSCM akibat komplikasi darah tinggi (menurut
putranya, Fauzi,-kepada TEMPO), tokoh ini dikenal berdisiplin
keras. Namun sudah lebih dua tahun sebenarnya kepemimpinan Bulan
Bintang dipegang H. Amran Zamzami -- yang pelan-pelan melakukan
pembaruan. Ia didukung oleh Fauzi, 32 tahun, Master of Science
dari Illinois Institute of Technology, Chicago. Putra pertama
ini sejak tujuh bulan lalu duduk sebagai Kuasa Direksi.
H.M. Baharthah, pemilik Al-Ma'arif tadi, menyatakan bersyukur
bila kesinambungan Bulan sintang bisa dipelihara. Ia menunjuk
misalnya kasus yang tidak dikehendaki, seperti rubuhnya penerbit
Ganaco Bandung setelah meninggalnya sang pemilik dan pemimpin,
Oejeng Suwargana. Fauzi sendiri menyatakan, organisasi Bulan
Bintang bahkan sedang dibenahi. Ia menunjuk perlunya peningkatan
efisiensi kerja, dan pola pemasaran yang selama ini sebenarnya
belum ditemukan. Barangkali juga ada perubahan kebijaksanaan
dasardi sanasini. Fauzi sendiri mengharap bisa mengejar
peningkatan oplah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini