JARANG sekali Sultan Hamengkubuwono IX hadir dalam upacara resmi
di Yogyakarta. Tapi akhir Februari lalu, Gubernur DIY ini muncul
di kampus Akademi Pembangunan Masyarakat Desa (APMD). Karenanya,
peristiwa ini termasuk penting.
Sultan menandatangani prasasti peresmian kampus APMD itu, suatu
monumen bekas Tentara Pelajar (TP) Brigade 17, yang diusahakan
oleh Yayasan Pendidikan 17. YP 17 mengelola 67 sekolah yang
tersebar di Ja-Tim, Ja-Teng, DIY, Ja-Bar dan Lampung, tapi hanya
APMD ini yang akademi. Sisanya dari TK sampai SMA.
Modal utama akademi ini semangat juang, ciri khas usaha yang
dirintis bekas tentara pelajar. Didirikan 17 November 1965,
dengan restu Ipik Gandamana, Menteri PMD waktu itu, akademi ini
hidup dengan keprihatinan. Semula menempati satu ruang di gedung
Panti Pemuda, Yogyakarta, ia kemudian sering berpindah tempat,
tergantung gedung mana yang bisa disewanya. Pernah ia menempati
gedung SD Lempuyangan, lalu Pagelaran Kraton Yogya. Gedung BPA
UGM, dan gedung Wanita Demangan. Baru dua tahun lalu ia mulai
membangun kampus di atas tanah milik sendiri, di Timoho,
pinggiran timur Yogya. Sekarang telah berdiri 3 unit gedung
berlantai 2 untuk kuliah, dan 1 unit gedung untuk perpustakaan.
Inilah yang diresmikan Sultan. Biayanya Rp 726 juta, termasuk
sumbangan Dep P&K sebesar Rp 66 juta.
Sultan sangat mengharapkan agar APMD menyiapkan kader yang akan
terjun ke desa. "Saya yakin, desa di masa datang menjadi sasaran
pembaruan," ujar Sultan. "APMD dapat mencetak pegawai-pegawai
bagi desa, yang bisa menjawab tantangan desa itu sendiri."
APMD memang telah membuktikannya. Alumni sebanyak 1.002
orang--sebagian besar sudah terjun ke pedesaan. Setidaknya,
instansi pemerintah yang menangani masalah desa.
Lambat
"APMD memang tempat menceuk kader pembangunan yang langsung
menangani pedesaan," kata Suyitno BA, 32 tahun, seorang
alumninya. Suyitno kini Pjs. Kasi Pendidikan dan Ketrampilan
pada Direktorat Pembangunan Desa Prop. DIY. "Kurikulum APMD siap
pakai," katanya. Bekerja sejak 1975 dan berkeliling dari satu
desa ke desa lainnya ia merasakan kekurangan hanya dalam masalah
teknis. Misalnya, "untuk mengurusi proyek Inpres Bangdes." Tapi
bagaimana menghadapi orang desa dengan segala problemanya,
katanya, tidak ada kesulitan lagi.
Kurikulum APMD lebih banyak berpedoman pada jurusan Sosiatri
Fakultas Sospol UGM. Malah dalam tahun 1970 dan 1971, beberapa
mata kuliah APMD pernah bergabung dengan mahasiswa jurusan
sosiatri Fak Sospol UGM.
Dibanding akademi swasta lainnya di Yogya, misalnya Akademi
Perindustrian, APMD termasuk lambat perkembangannya. Dari tahun
1969 sampai sekarang tetap status terdaftar. Tetapi menurut
mahasiswanya, ujian negara agak lancar: 2 kali setahun. Yang
diuji hanya 10 dari 42 mata kuliah, yaitu: Pancasila, PKK,
kepemimpinan, metodelogi riset, demografi, pembangunan
pertanian, irigasi an komunikasi, SoSiologl masyarakat kota dan
desa, tata desa, transmigrasi. Ujian semuanya diselenggarakan di
UGM.
"Sarana pendidikan cukup," kata Hudiono, Ketua Umum Senat
Mahasiswa APMD. Ada ruang perpustakaan yang komplit. Cuma
Hudiono mengkritik beberapa dosen yang kurang memperhatikan soal
ujian. "Ujian kedua sebenarnya untuk memberikan kesempatan bagi
yang tak lulus ujian pertama, tetapi pengumuman ujian pertama
sangat telat. Mahasiswa banyak yang kecewa," kata Hudiono.
Praktek kerja, yang sering dilaksanakan di daerah Purworejo
(Ja-Teng), dinilainya cukup baik, antara lain menyusun daftar
inventaris desa.
Tentu saja Departemen Dalam Negeri paling banyak menampung
tamatan APMD. Begitu ujian negara selesai, ujian calon pegawai
dari Departemen Dalam Negeri menyusul. Tak heran jika sebagian
besar alumni APMD sekarang ini adalah pegawai negeri dalam
lingkungan Depdagri.
Uang kuliah per tahun Rp 100.000. Masa kuliah mereka umumnya 4
sampai 5 tahun. "Cita-cita saya memang bekerja di desa dan
membina desa, kata Agus Roni, mahasiswa yang sudah pernah
diterjunkan di daerah Lampung. "Masuk akademi ini bukan tempat
pelarian."
Bagi mereka yang suka usil, kampus APMD sering dijuluki "kampung
desa." Mungkin karena mahasiswanya lebih sederhana. Namun banyak
kesan, kampus ini sangat tertutup. Di kalangan dosen ada
rangan berbicara dengan pers. Direktur APMD, Drs. M. Sutopo
mengaku ia selalu sangat sibuk. Ia sulit ditemui wartawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini