Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Akhirnya mereka dapat kampus

Peresmian kampus akademi pembangunan masyarakat desa (apmd) di yogya oleh sri sultan hamengkubuwono. mahasiswa apmd dididik jadi pegawai negeri untuk desa. (pdk)

13 Maret 1982 | 00.00 WIB

Akhirnya mereka dapat kampus
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
JARANG sekali Sultan Hamengkubuwono IX hadir dalam upacara resmi di Yogyakarta. Tapi akhir Februari lalu, Gubernur DIY ini muncul di kampus Akademi Pembangunan Masyarakat Desa (APMD). Karenanya, peristiwa ini termasuk penting. Sultan menandatangani prasasti peresmian kampus APMD itu, suatu monumen bekas Tentara Pelajar (TP) Brigade 17, yang diusahakan oleh Yayasan Pendidikan 17. YP 17 mengelola 67 sekolah yang tersebar di Ja-Tim, Ja-Teng, DIY, Ja-Bar dan Lampung, tapi hanya APMD ini yang akademi. Sisanya dari TK sampai SMA. Modal utama akademi ini semangat juang, ciri khas usaha yang dirintis bekas tentara pelajar. Didirikan 17 November 1965, dengan restu Ipik Gandamana, Menteri PMD waktu itu, akademi ini hidup dengan keprihatinan. Semula menempati satu ruang di gedung Panti Pemuda, Yogyakarta, ia kemudian sering berpindah tempat, tergantung gedung mana yang bisa disewanya. Pernah ia menempati gedung SD Lempuyangan, lalu Pagelaran Kraton Yogya. Gedung BPA UGM, dan gedung Wanita Demangan. Baru dua tahun lalu ia mulai membangun kampus di atas tanah milik sendiri, di Timoho, pinggiran timur Yogya. Sekarang telah berdiri 3 unit gedung berlantai 2 untuk kuliah, dan 1 unit gedung untuk perpustakaan. Inilah yang diresmikan Sultan. Biayanya Rp 726 juta, termasuk sumbangan Dep P&K sebesar Rp 66 juta. Sultan sangat mengharapkan agar APMD menyiapkan kader yang akan terjun ke desa. "Saya yakin, desa di masa datang menjadi sasaran pembaruan," ujar Sultan. "APMD dapat mencetak pegawai-pegawai bagi desa, yang bisa menjawab tantangan desa itu sendiri." APMD memang telah membuktikannya. Alumni sebanyak 1.002 orang--sebagian besar sudah terjun ke pedesaan. Setidaknya, instansi pemerintah yang menangani masalah desa. Lambat "APMD memang tempat menceuk kader pembangunan yang langsung menangani pedesaan," kata Suyitno BA, 32 tahun, seorang alumninya. Suyitno kini Pjs. Kasi Pendidikan dan Ketrampilan pada Direktorat Pembangunan Desa Prop. DIY. "Kurikulum APMD siap pakai," katanya. Bekerja sejak 1975 dan berkeliling dari satu desa ke desa lainnya ia merasakan kekurangan hanya dalam masalah teknis. Misalnya, "untuk mengurusi proyek Inpres Bangdes." Tapi bagaimana menghadapi orang desa dengan segala problemanya, katanya, tidak ada kesulitan lagi. Kurikulum APMD lebih banyak berpedoman pada jurusan Sosiatri Fakultas Sospol UGM. Malah dalam tahun 1970 dan 1971, beberapa mata kuliah APMD pernah bergabung dengan mahasiswa jurusan sosiatri Fak Sospol UGM. Dibanding akademi swasta lainnya di Yogya, misalnya Akademi Perindustrian, APMD termasuk lambat perkembangannya. Dari tahun 1969 sampai sekarang tetap status terdaftar. Tetapi menurut mahasiswanya, ujian negara agak lancar: 2 kali setahun. Yang diuji hanya 10 dari 42 mata kuliah, yaitu: Pancasila, PKK, kepemimpinan, metodelogi riset, demografi, pembangunan pertanian, irigasi an komunikasi, SoSiologl masyarakat kota dan desa, tata desa, transmigrasi. Ujian semuanya diselenggarakan di UGM. "Sarana pendidikan cukup," kata Hudiono, Ketua Umum Senat Mahasiswa APMD. Ada ruang perpustakaan yang komplit. Cuma Hudiono mengkritik beberapa dosen yang kurang memperhatikan soal ujian. "Ujian kedua sebenarnya untuk memberikan kesempatan bagi yang tak lulus ujian pertama, tetapi pengumuman ujian pertama sangat telat. Mahasiswa banyak yang kecewa," kata Hudiono. Praktek kerja, yang sering dilaksanakan di daerah Purworejo (Ja-Teng), dinilainya cukup baik, antara lain menyusun daftar inventaris desa. Tentu saja Departemen Dalam Negeri paling banyak menampung tamatan APMD. Begitu ujian negara selesai, ujian calon pegawai dari Departemen Dalam Negeri menyusul. Tak heran jika sebagian besar alumni APMD sekarang ini adalah pegawai negeri dalam lingkungan Depdagri. Uang kuliah per tahun Rp 100.000. Masa kuliah mereka umumnya 4 sampai 5 tahun. "Cita-cita saya memang bekerja di desa dan membina desa, kata Agus Roni, mahasiswa yang sudah pernah diterjunkan di daerah Lampung. "Masuk akademi ini bukan tempat pelarian." Bagi mereka yang suka usil, kampus APMD sering dijuluki "kampung desa." Mungkin karena mahasiswanya lebih sederhana. Namun banyak kesan, kampus ini sangat tertutup. Di kalangan dosen ada rangan berbicara dengan pers. Direktur APMD, Drs. M. Sutopo mengaku ia selalu sangat sibuk. Ia sulit ditemui wartawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus