ORANG memperingati suatu peristiwa sejarah untuk lebih mengerti
dunianya yang sekarang. Tapi ada juga yang ingin menarik
pelajaran dari masa lampau.
Demikianlah orang kelihatan sekarang ramai memperingati 40 tahun
Perang Pasifik, mungkin karena ada hubungan antara Perang Dunia
ke-2 dan depresi ekonomi, yang kili juga seperti dialami dunia.
Tahun 1929, terjadi keruntuhan pasaran uang, yang saunpai
kira-kira pertengahan tahun 1930-an dan menjelma menjadi depresi
ekonomi. Depresi ekonomi ini menimbulkan gerakan otoriterisme
militerisme dan totaliterisme seperti Fasisme di Italia dan
Nazisme di Jerman. Hal ini menjadikan Perang Dunia ke-2 suatu
pergulatan ideologis, khususnya di Eropa yang tidak terlibat
sejak perang revolusi Prancis (1789-1815).
Tidak semua ideologi totaliter setaraf dan sama artinya. Ada
-perbedaan banyak antara Fasisme Italia dan Fasisme Jerman dan
keduanya berbeda dari militerisme Jepang. Di samping itu,
dibandingkan dengan perang di Eropa, Perang Pasifik sebenarnya
tidak demikian ideologis sifatnya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa depresi ekonomi dan status
internasional masing-masing negara menimbulkan reaksi dari
golongan menengah, khususnya dari lapisan bawahan dari golongan
itu. Sentimen ini menimbulkan gerakan massa. Gerakan massa ini
dipakai oleh elite untuk menegakkan status quo masyarakat yang
diancam oleh kaum buruh dan lainnya.
Satu hal yang penting dicatat di sini adalah bahwa otoriterisme
dapat hidup berdampingan dengan gerakan massa, bahkan bisa
cocok. Di Jepang, yang mendukung militerisme juga datang dari
perwira dan tentara yang berkasta rendah dan bukan dari golongan
bangsawan tradisional. Slogan politiknya sering kedengaran
sosialistis, nasionalistis dan kerakyatan, tapi pelaksanaannya
adalah masalah lain. Yang membuat Jerman, Italia atau Jepang
totaliter adalah karena seakan-akan gerakan politik ini mewakili
"Kehendak Nasional" masing-masing rakyat.
Teori Domino
Ada aspek yang sama dalam pola agresi dan ekspansi negara-negara
"totaliter". Ini berjalan dari satu agresi ke agresi lain,
sehingga jatuhnya suatu negara menjatuhkan negara yang lain. Ini
yang setelah Perang Dunia ke-2 melahirkan istilah "teori
domino", yakni jatuhnya suatu kesatuan politik menyebabkan
jatuhnya yang lainlain secara beruntun.
Ternyata memang ada struktur negara atau masyarakat yang lemah
yang mudah jadi korban ideologi totaliter. Ini kita lihat di
Eropa, khususnya pada agresi Jerman-Nazi, dicaploknya secara
damai Austria, Cekoslowakia dan kemudian jatuhnya, dengan
kekerasan militer, Polandia, Skandinavia, Nederland, Belgia,
Prancis dan lain-lain negara Eropa daratan.
Di Asia, perkembangan Jepang lebih lambat dan menurut pola yang
agak lain daripada Jerman di Eropa. Setelah modernisasi Jepang
(1870), negara ini mencaplok Korea, Taiwan, beberapa pos di Cina
dan pulau-pulau di Pasifik.
Demikianlah dalam tahun 1930-an Jepang mendirikan negara
Manchukuo dari provinsi Tiongkok yang disebut Manchuria.
Manchukuo ini didirikan dengan kepala negara HenriPu-yi, kaisar
terakhir dinasti Ch'ing yang lalu jadi kaisar boneka Jepang di
anchukuo.
Dari sinilah hubungan dengan negara-negara Barat mulai memburuk.
Lebih-lebih ketika Jepang memperluas agresinya ke pedalaman Cina
sendiri, Barat melihat dengan cemas bahwa keserakahan Jepang
tidak dapat dibatasi. Puncaknya tercapai ketika dalam bulan Juli
1941 Jepang mencaplok Indocina secara damai, karena negara
induknya, Prancis yang kalah terhadap Jerman, dapat ditekan.
Dengan jatuhnya daerah Asia Tenggara yang pertama, yang sejak
itu sampai kini tetap dalam pergolakan, maka tetangganya
Thailand menjadi sekutu Jepang. Pesawat-pesawat pengebomnya
dapat mencapai tujuan militer di lalaya dan Singapura. Setelah
Pearl Harbor satu persatu koloni Barat ini jatuh ke tangan
Jepang.
Pelajaran dari kejadian itu adalah bahwa negara-negara lemah
mudah sekali jatuh ke tangan musuh yang bertekad. Kita melihat
berlakunya teori domino. Runtuhnya suatu negara merubuhkan yang
lain. Dalam waktu tiga bulan hampir seluruh imperium Inggris dan
Belanda yang diperintah dengan dalil-dalil efisiensi, praktis
dan zakelyk (rasional) menguap demikian saja. Sic Transit Gloria
Mulyadi! (Segala sesuatu di dunia ini adalah fana!).
Hancurnya dengan demikian cepat imperium Barat ikut serta
menghancurkan berbagai mitos. Dalam kaitan dengan penjajahan,
selalu ada unsur kekuatan militer yang kuat: rakyat Asia percaya
bahwa mereka dijajah karena penjajah itu kuat secara militer.
Khususnya di Hindia Belanda, di mana gerakan nasionalis melihat
bahwa penjajahan adalah sebagian besar karena kekuatan fisik si
penjajah.
Si penjajah sendiri, seperti terlihat dari semua ucapan dan
bahan-bahan lain dalam menghadapi ancaman Jepang, percaya bahwa
kekuatan militer mereka adalah betul kuat. Namun terbukti bahwa
ini tidak benar. Anehnya Jepang juga menduga bahwa kekuatan
Barat di Asia adalah jauh lebih kuat daripada kenyataan. Dengan
singkat, dalam tiga bulan peperangan Pasifik merupakan hancurnya
mitos dan juga suatu periode ilusi yang meletus berkepingan.
Jepang Cahaya Asia
Jatuhnya imperium Barat ke tangan Jepang bukan suatu pembebasan
dari penjajahan. Daerah jajahan jadi hasil buah rampasan pihak
yang menang. Penaklukan adalah unsur Tata Baru, Kemakmuran
Bersama Asia Raya dan kepentingan penaktuk ini yang jadi ukuran
kebijaksanaan.
Dri permulaan sesudah kemenangan-kemenangan mereka pun Jepang
lebih insyaf daripada Barat, bahwa mereka sedang dalam keadaan
perang mati-matian. Politik Jepang di Indonesia antara tahun
1942 sampai 1945 selalu di antara persoalan kolonial
yangberkisar pada eksploatasi ekonomi dan pemeliharaan
tata-tenterem di satu pihak, dan di lain pihak, kepentingan
peperangan. Kepentingan ini mengharuskan Jepang melibatkan
penduduk dalam isu persiapan melawan sekutu. Pada gilirannya,
mereka mempersoalkan kemerdekaan Indonesia.
Sebaliknya, Hindia Belanda dalam menghadapi Jepang lebih berat
pada soal pemeliharaan status quo kolonial. Tata tenterem negara
adalah yang utama. Persoalan peperangan melawan Jepang bahkan
tidak dapat mengganggunya.
Berlawanan dengan politik Hindia Belanda, Jepang tidak memiliki
kepentingan demikian besar di Jawa yang agraris dan padat
penduduk. Imamura, penguasa tertinggi pemerintah pendudukan
Jepang di Indonesia, dari permulaan berpendapat bahwa harus ada
konsesi pada pergerakan nasional bila Jepang tidak mau mengalami
nasib yang sama seperti Belanda. Dari permulaan Imamura memiliki
hubungan baik dengan Sukarno, Hatta, tokoh nasional yang pandai
berpidato, yang pandai sebagai "demagog" (kata Belanda) dan
pembakar semangat rakyat.
Kecuali tokoh-tokoh nasionalis, Jepang juga mengajak tokoh-tokoh
Islam untuk membantunya dalam perlawanan menghadapi sekutu.
Kebijaksanaan yang terakhir ini berlawanan sekali dengan politik
Hindia Belanda terhadap Islam. Jepang dalam hal ini hanya
memikirkan kepentingan perang, dan Islam dilihatnya sebagai
kekuatan anti-Barat yang paling potensial.
Jepang juga mempersiapkan rakyat untuk berperang. Ini
membangkitkan suatu gerakan massa, yang akhirnya akan rnenuju
pada mobilisasi secara militer sebagian rakyat. Apa lagi
perkembangan peperangan yang setelah setahun berjalan tidak
menguntungkan Jepang. Amerika merebut kembali pulau demi pulau,
angkatan laut Jepang makin lumpuh. Makin unggulnya Sekutu, makin
besar dorongan bagi Jepang untuk menghadiahkan kemerdekaan pada
Indonesia.
Meskipun begitu, Jepang sebenarnya menentang dilembagakannya
gerakan massa dan kekuatan rakyat Indonesia lain. Jepang
membubarkan perwakilan rakyat yang di zaman Belanda memang ada,
biarpun tidak banyak berarti bagi masyarakat.
Jepang juga membubarkan partai-partai politik zaman kolonial.
Gerakan massa yang dibangkitkan Jepang adalah di sekitar simbol
dan slogan antisekutu yang ada pada gerakan nasional. Pribadi
pemimpin lebih berarti daripada organisasi itu sendiri. Yang
dipentingkan oleh Jepang adalah gaya dan pemanggungan politik.
Permainan simbolisme dan slogan adalah demikian sehingga setiap
orang yang tercakup olehnya harus bersikap. Namun tidak ada
dampak apa pun karena tidak adanya lembaga-lembaga. Gaya dan
emosi menggantikan efisiensi dan rasionalisme sebagai dalil
pemerintahan kolonial, karena kalau Hindia Belanda mementingkan
ekonomi maka Jepang menekankan kepentingan perang.
Jepang akhirnya kalah dalam peperangan yang dimulainya. Namun,
ironi lagi dari sejarah, apa yang ingin direbut dengan kekerasan
akan jatuh ke tangan Jepang, secara damai: yakni pengaruh
ekonomi yang luas di Asia Tenggara.
Mungkin keberhasilan Jepang dalam menguasai ekonomi di Asia
Tenggara mengungkapkan perubahan dari sifat-sifat imperium.
Dahulu suatu imperium itu adalah organisasi politik dan militer,
tetapi setelah Perang Dunia ke-2, dengan perekonomian raksasa
seperti dimiliki Jepang, dan Amerika Serikat, maka dominasi
dapat dilakukan tanpa organisasi politik dan militer yang mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini