Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gaya hindia belanda, gaya jepang

Politik jepang di indonesia berlawanan dengan politik belanda yang mengutamakan ketentraman negara. setelah perang dunia ke-2, jepang menguasai ekonomi asteng tanpa organisasi politik dan militer yang mahal.

13 Maret 1982 | 00.00 WIB

Gaya hindia belanda, gaya jepang
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
ORANG memperingati suatu peristiwa sejarah untuk lebih mengerti dunianya yang sekarang. Tapi ada juga yang ingin menarik pelajaran dari masa lampau. Demikianlah orang kelihatan sekarang ramai memperingati 40 tahun Perang Pasifik, mungkin karena ada hubungan antara Perang Dunia ke-2 dan depresi ekonomi, yang kili juga seperti dialami dunia. Tahun 1929, terjadi keruntuhan pasaran uang, yang saunpai kira-kira pertengahan tahun 1930-an dan menjelma menjadi depresi ekonomi. Depresi ekonomi ini menimbulkan gerakan otoriterisme militerisme dan totaliterisme seperti Fasisme di Italia dan Nazisme di Jerman. Hal ini menjadikan Perang Dunia ke-2 suatu pergulatan ideologis, khususnya di Eropa yang tidak terlibat sejak perang revolusi Prancis (1789-1815). Tidak semua ideologi totaliter setaraf dan sama artinya. Ada -perbedaan banyak antara Fasisme Italia dan Fasisme Jerman dan keduanya berbeda dari militerisme Jepang. Di samping itu, dibandingkan dengan perang di Eropa, Perang Pasifik sebenarnya tidak demikian ideologis sifatnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa depresi ekonomi dan status internasional masing-masing negara menimbulkan reaksi dari golongan menengah, khususnya dari lapisan bawahan dari golongan itu. Sentimen ini menimbulkan gerakan massa. Gerakan massa ini dipakai oleh elite untuk menegakkan status quo masyarakat yang diancam oleh kaum buruh dan lainnya. Satu hal yang penting dicatat di sini adalah bahwa otoriterisme dapat hidup berdampingan dengan gerakan massa, bahkan bisa cocok. Di Jepang, yang mendukung militerisme juga datang dari perwira dan tentara yang berkasta rendah dan bukan dari golongan bangsawan tradisional. Slogan politiknya sering kedengaran sosialistis, nasionalistis dan kerakyatan, tapi pelaksanaannya adalah masalah lain. Yang membuat Jerman, Italia atau Jepang totaliter adalah karena seakan-akan gerakan politik ini mewakili "Kehendak Nasional" masing-masing rakyat. Teori Domino Ada aspek yang sama dalam pola agresi dan ekspansi negara-negara "totaliter". Ini berjalan dari satu agresi ke agresi lain, sehingga jatuhnya suatu negara menjatuhkan negara yang lain. Ini yang setelah Perang Dunia ke-2 melahirkan istilah "teori domino", yakni jatuhnya suatu kesatuan politik menyebabkan jatuhnya yang lainlain secara beruntun. Ternyata memang ada struktur negara atau masyarakat yang lemah yang mudah jadi korban ideologi totaliter. Ini kita lihat di Eropa, khususnya pada agresi Jerman-Nazi, dicaploknya secara damai Austria, Cekoslowakia dan kemudian jatuhnya, dengan kekerasan militer, Polandia, Skandinavia, Nederland, Belgia, Prancis dan lain-lain negara Eropa daratan. Di Asia, perkembangan Jepang lebih lambat dan menurut pola yang agak lain daripada Jerman di Eropa. Setelah modernisasi Jepang (1870), negara ini mencaplok Korea, Taiwan, beberapa pos di Cina dan pulau-pulau di Pasifik. Demikianlah dalam tahun 1930-an Jepang mendirikan negara Manchukuo dari provinsi Tiongkok yang disebut Manchuria. Manchukuo ini didirikan dengan kepala negara HenriPu-yi, kaisar terakhir dinasti Ch'ing yang lalu jadi kaisar boneka Jepang di anchukuo. Dari sinilah hubungan dengan negara-negara Barat mulai memburuk. Lebih-lebih ketika Jepang memperluas agresinya ke pedalaman Cina sendiri, Barat melihat dengan cemas bahwa keserakahan Jepang tidak dapat dibatasi. Puncaknya tercapai ketika dalam bulan Juli 1941 Jepang mencaplok Indocina secara damai, karena negara induknya, Prancis yang kalah terhadap Jerman, dapat ditekan. Dengan jatuhnya daerah Asia Tenggara yang pertama, yang sejak itu sampai kini tetap dalam pergolakan, maka tetangganya Thailand menjadi sekutu Jepang. Pesawat-pesawat pengebomnya dapat mencapai tujuan militer di lalaya dan Singapura. Setelah Pearl Harbor satu persatu koloni Barat ini jatuh ke tangan Jepang. Pelajaran dari kejadian itu adalah bahwa negara-negara lemah mudah sekali jatuh ke tangan musuh yang bertekad. Kita melihat berlakunya teori domino. Runtuhnya suatu negara merubuhkan yang lain. Dalam waktu tiga bulan hampir seluruh imperium Inggris dan Belanda yang diperintah dengan dalil-dalil efisiensi, praktis dan zakelyk (rasional) menguap demikian saja. Sic Transit Gloria Mulyadi! (Segala sesuatu di dunia ini adalah fana!). Hancurnya dengan demikian cepat imperium Barat ikut serta menghancurkan berbagai mitos. Dalam kaitan dengan penjajahan, selalu ada unsur kekuatan militer yang kuat: rakyat Asia percaya bahwa mereka dijajah karena penjajah itu kuat secara militer. Khususnya di Hindia Belanda, di mana gerakan nasionalis melihat bahwa penjajahan adalah sebagian besar karena kekuatan fisik si penjajah. Si penjajah sendiri, seperti terlihat dari semua ucapan dan bahan-bahan lain dalam menghadapi ancaman Jepang, percaya bahwa kekuatan militer mereka adalah betul kuat. Namun terbukti bahwa ini tidak benar. Anehnya Jepang juga menduga bahwa kekuatan Barat di Asia adalah jauh lebih kuat daripada kenyataan. Dengan singkat, dalam tiga bulan peperangan Pasifik merupakan hancurnya mitos dan juga suatu periode ilusi yang meletus berkepingan. Jepang Cahaya Asia Jatuhnya imperium Barat ke tangan Jepang bukan suatu pembebasan dari penjajahan. Daerah jajahan jadi hasil buah rampasan pihak yang menang. Penaklukan adalah unsur Tata Baru, Kemakmuran Bersama Asia Raya dan kepentingan penaktuk ini yang jadi ukuran kebijaksanaan. Dri permulaan sesudah kemenangan-kemenangan mereka pun Jepang lebih insyaf daripada Barat, bahwa mereka sedang dalam keadaan perang mati-matian. Politik Jepang di Indonesia antara tahun 1942 sampai 1945 selalu di antara persoalan kolonial yangberkisar pada eksploatasi ekonomi dan pemeliharaan tata-tenterem di satu pihak, dan di lain pihak, kepentingan peperangan. Kepentingan ini mengharuskan Jepang melibatkan penduduk dalam isu persiapan melawan sekutu. Pada gilirannya, mereka mempersoalkan kemerdekaan Indonesia. Sebaliknya, Hindia Belanda dalam menghadapi Jepang lebih berat pada soal pemeliharaan status quo kolonial. Tata tenterem negara adalah yang utama. Persoalan peperangan melawan Jepang bahkan tidak dapat mengganggunya. Berlawanan dengan politik Hindia Belanda, Jepang tidak memiliki kepentingan demikian besar di Jawa yang agraris dan padat penduduk. Imamura, penguasa tertinggi pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia, dari permulaan berpendapat bahwa harus ada konsesi pada pergerakan nasional bila Jepang tidak mau mengalami nasib yang sama seperti Belanda. Dari permulaan Imamura memiliki hubungan baik dengan Sukarno, Hatta, tokoh nasional yang pandai berpidato, yang pandai sebagai "demagog" (kata Belanda) dan pembakar semangat rakyat. Kecuali tokoh-tokoh nasionalis, Jepang juga mengajak tokoh-tokoh Islam untuk membantunya dalam perlawanan menghadapi sekutu. Kebijaksanaan yang terakhir ini berlawanan sekali dengan politik Hindia Belanda terhadap Islam. Jepang dalam hal ini hanya memikirkan kepentingan perang, dan Islam dilihatnya sebagai kekuatan anti-Barat yang paling potensial. Jepang juga mempersiapkan rakyat untuk berperang. Ini membangkitkan suatu gerakan massa, yang akhirnya akan rnenuju pada mobilisasi secara militer sebagian rakyat. Apa lagi perkembangan peperangan yang setelah setahun berjalan tidak menguntungkan Jepang. Amerika merebut kembali pulau demi pulau, angkatan laut Jepang makin lumpuh. Makin unggulnya Sekutu, makin besar dorongan bagi Jepang untuk menghadiahkan kemerdekaan pada Indonesia. Meskipun begitu, Jepang sebenarnya menentang dilembagakannya gerakan massa dan kekuatan rakyat Indonesia lain. Jepang membubarkan perwakilan rakyat yang di zaman Belanda memang ada, biarpun tidak banyak berarti bagi masyarakat. Jepang juga membubarkan partai-partai politik zaman kolonial. Gerakan massa yang dibangkitkan Jepang adalah di sekitar simbol dan slogan antisekutu yang ada pada gerakan nasional. Pribadi pemimpin lebih berarti daripada organisasi itu sendiri. Yang dipentingkan oleh Jepang adalah gaya dan pemanggungan politik. Permainan simbolisme dan slogan adalah demikian sehingga setiap orang yang tercakup olehnya harus bersikap. Namun tidak ada dampak apa pun karena tidak adanya lembaga-lembaga. Gaya dan emosi menggantikan efisiensi dan rasionalisme sebagai dalil pemerintahan kolonial, karena kalau Hindia Belanda mementingkan ekonomi maka Jepang menekankan kepentingan perang. Jepang akhirnya kalah dalam peperangan yang dimulainya. Namun, ironi lagi dari sejarah, apa yang ingin direbut dengan kekerasan akan jatuh ke tangan Jepang, secara damai: yakni pengaruh ekonomi yang luas di Asia Tenggara. Mungkin keberhasilan Jepang dalam menguasai ekonomi di Asia Tenggara mengungkapkan perubahan dari sifat-sifat imperium. Dahulu suatu imperium itu adalah organisasi politik dan militer, tetapi setelah Perang Dunia ke-2, dengan perekonomian raksasa seperti dimiliki Jepang, dan Amerika Serikat, maka dominasi dapat dilakukan tanpa organisasi politik dan militer yang mahal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus