Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengenang Munawir adalah mengenang pemikiran-pemikiran "segar".
Bagi sebagian kaum intelektual kita, mantan Menteri Agama yang meninggal dunia pada usia 79 tahun itu, Jumat pekan lalu, banyak menorehkan kenangan akan berbagai gagasan, meski tak semuanya orisinal.
Pemikiran dasarnya: kontekstualisasi dan reaktualisasi agama. Sebuah percakapan pemikiran yang sangat memikat, meski mengandung resistensi di kalangan orang ramai. Bagaimana agar ajaran Islam diimplementasikan tidak secara kaku, sehingga sesuai dengan semangat zaman. "Jilbab tidak wajib," katanya suatu ketika. Ide pembaruannya merambah dari bunga bank, zakat, sampai kedudukan wanita. Ia banyak mengutip pemikir mutakhir, misalnya cendekiawan Sudan Abdullah Ahmed An-Naim atau Ustad Mahmoud Muhammad Thaha, yang dikenal menggeluti masalah Islam dan hak asasi, jauh sebelum pemikiran mereka populer di kalangan anak muda kini.
Munawir mulanya bercita-cita masuk Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Tetapi ayahnya, Kiai Mughaffir, pemimpin pesantren kecil di Klaten, Jawa Tengah, seorang ahli nahwu (gramatika Arab), tidak mampu membiayainya. Lulus Sekolah Tinggi Islam Mambaul Ulum Solo, dia mengajar di SD Islam Gunungjati, Ungaran. Ketika pecah revolusi kemerdekaan, ia menjadi penghubung markas pertempuran di Salatiga dan kelaskaran Islam.
Munawir muda adalah Munawir yang energetik, aktif, dan berani. Ia memang banyak menggugat pemikiran klise yang ada saat itu. Pada umur 20-an, misalnya, di Jakarta ia menulis sebuah buku, Mungkinkah Negara Indonesia Bersendi Islam?, yang kemudian membuat Bung Hatta terperangah dan memanggilnya. Bung Hatta melihat ada potensi pada dirinya.
Melalui Bung Hatta, ia beroleh pekerjaan di Seksi Arab/Timur Tengah Departemen Luar Negeri. Dari sini harapannya belajar di luar negeri terkabul. Tetapi bukan di Kairo, melainkan di Inggris. Ia mendalami ilmu politik dan hubungan internasional di Universitas Exeter, 1953. Ketika menjabat sekretaris III KBRI di Washington, DC, ia belajar di Universitas Georgetown. Dan meraih gelar M.A. untuk filsafat politik dengan tesis Indonesia's Moslem Parties and Their Political Concepts (1959).
Sejak itu karier diplomatiknya menanjak mulus. Ia pernah menjadi duta besar Emirat Arab (merangkap Bahrain, Qatar). Ia diangkat sebagai Dirjen Politik Departemen Luar Negeri, 1980. Tiga tahun kemudian ia menjadi Menteri Agama di Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) dan diteruskan di Kabinet Pembangunan V (1988-1993). Ketika menjabat, perhatiannya banyak dicurahkan pada fakta kemajemukan agama, upaya toleransi, dan dialog agama.
Suatu kali dalam seminar Agama dan Pluralitas Bangsa pada 1980-an, ia bercerita ketika menjalani pendidikan diplomat di Inggris, oleh lektornya ia diberi sebuah buku kecil berjudul Diplomasi, karangan veteran diplomat Inggris Helnickolson. Di situ disebutkan salah satu kategori manusia yang tidak mampu menjadi diplomat atau kepala negara adalah pendeta, misionaris, atau ulama. Sebab, keputusan mereka akan cenderung bias.
Agaknya pernyataan itu tertancap terus di benaknya. Sebab, saat menjadi Menteri Agama, alih-alih mengupayakan supremasi kelompok mayoritas Islam, Munawir justru berusaha keras menjalin harmoni. Pada saat Timor Leste masih bagian dari republik ini, sebagai Menteri Agama ia pernah melarang pendirian masjid besar di Dili Timur. Karena, menurut dia, itu sangat tidak etis, sebelum katedral yang ada di sana diperbaiki.
Dengan pengalamannya yang segudang dan perspektif pemikirannya yang cenderung humanis, itulah sebabnya ia dipandang tepat menjadi Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pada masa Munawir memegang jabatan itulah, kasus 27 Juli ditetapkan sebagai kasus pelanggaran hak asasi manusia. Dua tahun di Komnas HAM (1996-1998), ia lalu mengundurkan diri?karena alasan kesehatan. Ia memilih berada di rumah sembari menikmati musik gambus, musik yang menurut dia dapat membuatnya at home.
Munawir dikebumikan di Pemakaman Giri Tama Tonjong, Parung Km. 35, Bogor, setelah enam minggu dirawat karena komplikasi stroke. "Bapak tidak mengalami kesulitan yang berarti saat sakratul maut," kata Musta'in, putra ketiganya. Kepada keluarganya, Munawir berpesan bahwa dia tidak mau dimakamkan di taman makam pahlawan.
Kita kehilangan seorang pluralis. Tapi gagasannya masih banyak beredar di antara kita.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo