BEBERAPA hari ini Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM),
Jakarta, merayakan ulangtahunnya ke-10 yang persis jatuh 10
Nopember lalu. Awal pekan depan sebuah pertemuan diadakan di
Jalan Cikini Raya 73. Yang akan bertukar fikiran dan kritik
adalah mereka yang mengelola TIM selama ini: para anggota Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) dan para bekas angota yang sudah mundur.
Di bawah ini sekedar tulisan Goenawan Mohamad, kebetulan salah
seorang bekas anggota DKJ "angkatan" pertama:
GAMBARAN tentang TIM dalam fikiran banyak orang rupanya masih
itu-itu juga. Dalam citra mereka, TIMlah pusat kesenian tempat
Sutardji Calzoum Bachri membacakan puisinya yang "aneh" seraya
mabuk bir. Tempat pementasan yang tak henti-hentinya dari
"teater absurd".
Maka harian Kompas pekan lalu menempatkan cerita (bukan berita)
utama dengan judul TIM Diharapkan Merakyat.
Kebanyakan harapan semacam itu mengandung kritik yang belum
jelas sebenarnya. Kita misalnya masih belum tahu apa persisnya
yang dimaksud dengan "merakyat". Lagipula seniman biasanya
bingung dengan permintaan seperti itu. Seorang penyair, atau
pelukis, atau sutradara yang suatu pagi bertekad "bismillah,
saya mau merakyat", akhirnya sadar: tatkala ia memasuki proses
kreatif, ia langsung tahu bahwa proses itu sering lebih kaya
ketimbang yang digariskan resep. Tekad besar, resep, doktrin,
aturan pakai -- itu memang buah kesibukan mereka yang berada di
luar proses mencipta.
Tapi dalam satu hal seorang anggota DKJ, atau seorang seperti
Amak Baldjun yang sehari-hari mengurusi acara TIM, tak akan
bingung. Ia tahu betul bahwa TIM bukan cuma pembacaan puisi
dengan bir. Di sana ada juga pembacaan terjemahan puitis Qur'an.
Bahwa TIM bukan cuma lakon lonesco atau Beckett, tapi juga
lenong, ketoprak, ludruk. Bahwa musik di Cikini Raya 73 itu
tidak cuma "musik kongkrit" atau Bach, Berlioz atau Beethoven,
tapi juga dangdut, gambang kromong atau tarling. Bahwa senirupa
yang dipamerkan tak cuma Rusli atau Jimmy Supangat atau keramik
Hilda Siddhartha -- yang dianggap "sulit" atau mengagetkan itu
-- tapi juga lukisan anak-anak atau tenunan rakyat.
Trisno Sumardjo (1968 - 1969)
TIM, dengan kata lain, sebenarnya sebuah panorama yang belum
sudah. Ketika almarhum Trisno Sumardjo (pelukis dan sastrawan
dipilih menjadi ketua DKJ yang pertama, ia sendiri mungkin baru
separuh menyadari itu. Dialah, bersama sahabatnya, pelukis
Oesman Effendi, yang sudah mencita-citakan sebuah pusat kesenian
di sebuah kota di Indonesia sejak mereka mendirikan majalah
Seniman di Yogya di akhir tahun 40-an. Waktu Gubernur Ali
Sadikin memenuhi cita-cita menahun itu dua dasawarsa kemudian,
oleh yang muda-muda diberikan kehormatan kepada Trisno Sumardjo
buat memimpin DKJ. Tapi apa yang akan dilakukannya?
Trisno Sumardjo meninggal, 1969. Tekanan darahnya-tinggi. Dalam
usianya yang agak lanjut, 53, serta tubuhnya yang ringkih, beban
TIM agaknya terlalu menekan baginya. Trisno, seperti yang
lain-lain, harus mengisi TIM dan karena itu harus menjawab
masalah dasar kesenian Indonesia.
Pada mulanya secara sederhana kegiatan kesenian di Jakarta
dibagi dua. Yang pertama adalah yang lazim disebut sebagai
"hiburan", yang bisa hidup tanpa subsidi karena ditopang peminat
yang sudah banyak. Yang kedua adalah sesuatu yang lebih serius,
lebih gelisah untuk mencari kemungkinan ekspresi baru dan karena
itu baru terbatas peminatnya. Yang terakhir ini, penting sebagai
sumber kreatifitas di masyarakat, memerlukan subsidi. TIM pada
dasarnya semula dimaksudkan untuk jenis yang seperti itu.
Tapi proses berjalan, pertanyaan baru tumbuh. Anggapan semula --
adanya "seni tinggi", dengan "seni pop" sebagai kelompok yang
terpisah-pisah -- kian tak memuaskan. Di bawah kepemimpinan Umar
Kayam, yang menggantikan Trisno Sumardjo, keterpisahan semacam
itu dengan lebih sadar dikocok kembali. Umar Kayam, sastrawan
dan ahli ilmu sosial yang santai, tak pernah terlalu tegar
dengan kategori-kategori. Ia asyik dengan hampir semua gejala
sosial-budaya yang tampak. Ia secara sengaja menjejerkan Kus
Bersaudara dengan Rendra. Ia menulis membela "pop". Trisno
Sumardjo, penterjemah Shakespeare, agaknya tak akan melakukan
itu.
"Gedongan"
Tapi memang siapa yang bisa memastikan bahwa kreatifitas akan
berhenti pas pada garis, dan tak menyeberangi batas tipis yang
dibikin-bikin antara yang "tinggi" dan yang "pop", antara yang
"modern" dengan yang "tradisionil", antara yang "sekolahan"
dengan yang "rakyat"? TIM pada babak kedua sejarahnya ini
merupakan tempat mencari. Pelbagai eksperimen berlangsung di
sini dengan pelbagai anasir itu, dalam kebebasan yang kebetulan
cukup tersedia. Pada dasarnya, inilah juga yang berlanjut di
bawah kepengurusan Ajip Rosidi sekarang.
Yang sebenarnya menarik ialah bahwa kesenian "rakyat" di TIM
bukan cuma mendapat tempat untuk hidup kembali ke masyarakat,
seperti nampak pada lenong atau topeng Betawi. Juga bukan tempat
orang kota yang "gedongan" pergi berdarmawisata sebentar untuk
"merakyat". Kesenian daerah pinggiran, khususnya pada seni
pertunjukan, terbukti berpengaruh kuat kepada seni yang lazimnya
disebut "modern".
Mereka yang menganggap teater Indonesia mutakhir sebagai
"absurd" (termasuk agaknya Bel Geduwel Beh Danarto) itu karena
tak mengetahui bahwa pengaruh teater orang kampung pinggiran
telah mengubah asas-asas sandiwara Indonesia yang semula hanya
mengikuti realisme Barat. Maka seorang teaterawan muda yang
mementaskan dengan bagus di sebuah gelanggang remaja (kabarnya
ada 140-an grup teater anak muda sekarang), ternyata terkejut
diperkenalkan dengan textbook model Amerika seperti yang
dipegangi kakak mereka dahulu. Itu bisa menunjukkan betapa luas
pengaruh pembaruan yang terjadi lewat TIM. Membesarnya publik
teater sendiri, kini, agaknya membuktikan bahwa perubahan itu
lebih cepat difahami oleh penonton yang tak pakai teori
ketimbang oleh para komentator dari jauh yang berteori.
"Merakyat" memang kata yang bisa berarti macam-macam. Tapi
agaknya sulit untuk diartikan sebagai penyajian satu corak, satu
garis, satu kebekuan. Mereka yang senang macapat dan tak senang
puisi Rendra tak bisa dipaksa untuk jadi pengunjung. Begitu pula
sebaliknya. Dalam pengalaman yang kongkrit, yang tak berpegang
kepada slogan para penganjur, "rakyat" tak pernah berarti
"rakyat-pada-umumnya". Selalu "rakyat" yang bervariasi.
Salah satu jasa TIM ialah menunjukkan kenyataan rakyat yang
bervariasi itu. Dan di dalamnya kultur pinggiran diberikan
haknya -- jauh ke luar kompleks Cikini Raya. TlM memberikan
pengalaman konkrit itu kepada para seniman. Disana ia berhadapan
dengan orang-orang yang langsung bisa memilih dan bereaksi
kepada yang disajikan di pentas.
Tapi mungkin juga itu sesuatu yang tidak cukup. TIM adalah
mekanisme seni pertunjukan. Akhirnya ia menyebabkan hampir tiap
cabang seni menjuruskan diri jadi seni pertunjukan: puisi
berarti pembacaan sajak yang gayeng, seni rupa berarti pameran
yang mengejutkan. Dalam proses itu, pemikiran bisa kekurangan
waktu dan tempat.
Pemikiran itulah mungkin yang agak kurang belakangan ini.
Mungkin karena DKJ sudah jadi suatu tempat kerja rutin, bukan
tempat bergosoknya ide yang bersemangat. Waktu memang bisa
memakan kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini