Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Perhitungan pendek, 10 tahun

Pusat kesenian tim merayakan ulang tahun ke-10. banyak orang menganggap tim hanya tempat baca puisi & minum bir. padahal, kini, disana sudah ada pula pembacaan terjemahan qur'an secara puitis. (kbd)

25 November 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA hari ini Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, merayakan ulangtahunnya ke-10 yang persis jatuh 10 Nopember lalu. Awal pekan depan sebuah pertemuan diadakan di Jalan Cikini Raya 73. Yang akan bertukar fikiran dan kritik adalah mereka yang mengelola TIM selama ini: para anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan para bekas angota yang sudah mundur. Di bawah ini sekedar tulisan Goenawan Mohamad, kebetulan salah seorang bekas anggota DKJ "angkatan" pertama: GAMBARAN tentang TIM dalam fikiran banyak orang rupanya masih itu-itu juga. Dalam citra mereka, TIMlah pusat kesenian tempat Sutardji Calzoum Bachri membacakan puisinya yang "aneh" seraya mabuk bir. Tempat pementasan yang tak henti-hentinya dari "teater absurd". Maka harian Kompas pekan lalu menempatkan cerita (bukan berita) utama dengan judul TIM Diharapkan Merakyat. Kebanyakan harapan semacam itu mengandung kritik yang belum jelas sebenarnya. Kita misalnya masih belum tahu apa persisnya yang dimaksud dengan "merakyat". Lagipula seniman biasanya bingung dengan permintaan seperti itu. Seorang penyair, atau pelukis, atau sutradara yang suatu pagi bertekad "bismillah, saya mau merakyat", akhirnya sadar: tatkala ia memasuki proses kreatif, ia langsung tahu bahwa proses itu sering lebih kaya ketimbang yang digariskan resep. Tekad besar, resep, doktrin, aturan pakai -- itu memang buah kesibukan mereka yang berada di luar proses mencipta. Tapi dalam satu hal seorang anggota DKJ, atau seorang seperti Amak Baldjun yang sehari-hari mengurusi acara TIM, tak akan bingung. Ia tahu betul bahwa TIM bukan cuma pembacaan puisi dengan bir. Di sana ada juga pembacaan terjemahan puitis Qur'an. Bahwa TIM bukan cuma lakon lonesco atau Beckett, tapi juga lenong, ketoprak, ludruk. Bahwa musik di Cikini Raya 73 itu tidak cuma "musik kongkrit" atau Bach, Berlioz atau Beethoven, tapi juga dangdut, gambang kromong atau tarling. Bahwa senirupa yang dipamerkan tak cuma Rusli atau Jimmy Supangat atau keramik Hilda Siddhartha -- yang dianggap "sulit" atau mengagetkan itu -- tapi juga lukisan anak-anak atau tenunan rakyat. Trisno Sumardjo (1968 - 1969) TIM, dengan kata lain, sebenarnya sebuah panorama yang belum sudah. Ketika almarhum Trisno Sumardjo (pelukis dan sastrawan dipilih menjadi ketua DKJ yang pertama, ia sendiri mungkin baru separuh menyadari itu. Dialah, bersama sahabatnya, pelukis Oesman Effendi, yang sudah mencita-citakan sebuah pusat kesenian di sebuah kota di Indonesia sejak mereka mendirikan majalah Seniman di Yogya di akhir tahun 40-an. Waktu Gubernur Ali Sadikin memenuhi cita-cita menahun itu dua dasawarsa kemudian, oleh yang muda-muda diberikan kehormatan kepada Trisno Sumardjo buat memimpin DKJ. Tapi apa yang akan dilakukannya? Trisno Sumardjo meninggal, 1969. Tekanan darahnya-tinggi. Dalam usianya yang agak lanjut, 53, serta tubuhnya yang ringkih, beban TIM agaknya terlalu menekan baginya. Trisno, seperti yang lain-lain, harus mengisi TIM dan karena itu harus menjawab masalah dasar kesenian Indonesia. Pada mulanya secara sederhana kegiatan kesenian di Jakarta dibagi dua. Yang pertama adalah yang lazim disebut sebagai "hiburan", yang bisa hidup tanpa subsidi karena ditopang peminat yang sudah banyak. Yang kedua adalah sesuatu yang lebih serius, lebih gelisah untuk mencari kemungkinan ekspresi baru dan karena itu baru terbatas peminatnya. Yang terakhir ini, penting sebagai sumber kreatifitas di masyarakat, memerlukan subsidi. TIM pada dasarnya semula dimaksudkan untuk jenis yang seperti itu. Tapi proses berjalan, pertanyaan baru tumbuh. Anggapan semula -- adanya "seni tinggi", dengan "seni pop" sebagai kelompok yang terpisah-pisah -- kian tak memuaskan. Di bawah kepemimpinan Umar Kayam, yang menggantikan Trisno Sumardjo, keterpisahan semacam itu dengan lebih sadar dikocok kembali. Umar Kayam, sastrawan dan ahli ilmu sosial yang santai, tak pernah terlalu tegar dengan kategori-kategori. Ia asyik dengan hampir semua gejala sosial-budaya yang tampak. Ia secara sengaja menjejerkan Kus Bersaudara dengan Rendra. Ia menulis membela "pop". Trisno Sumardjo, penterjemah Shakespeare, agaknya tak akan melakukan itu. "Gedongan" Tapi memang siapa yang bisa memastikan bahwa kreatifitas akan berhenti pas pada garis, dan tak menyeberangi batas tipis yang dibikin-bikin antara yang "tinggi" dan yang "pop", antara yang "modern" dengan yang "tradisionil", antara yang "sekolahan" dengan yang "rakyat"? TIM pada babak kedua sejarahnya ini merupakan tempat mencari. Pelbagai eksperimen berlangsung di sini dengan pelbagai anasir itu, dalam kebebasan yang kebetulan cukup tersedia. Pada dasarnya, inilah juga yang berlanjut di bawah kepengurusan Ajip Rosidi sekarang. Yang sebenarnya menarik ialah bahwa kesenian "rakyat" di TIM bukan cuma mendapat tempat untuk hidup kembali ke masyarakat, seperti nampak pada lenong atau topeng Betawi. Juga bukan tempat orang kota yang "gedongan" pergi berdarmawisata sebentar untuk "merakyat". Kesenian daerah pinggiran, khususnya pada seni pertunjukan, terbukti berpengaruh kuat kepada seni yang lazimnya disebut "modern". Mereka yang menganggap teater Indonesia mutakhir sebagai "absurd" (termasuk agaknya Bel Geduwel Beh Danarto) itu karena tak mengetahui bahwa pengaruh teater orang kampung pinggiran telah mengubah asas-asas sandiwara Indonesia yang semula hanya mengikuti realisme Barat. Maka seorang teaterawan muda yang mementaskan dengan bagus di sebuah gelanggang remaja (kabarnya ada 140-an grup teater anak muda sekarang), ternyata terkejut diperkenalkan dengan textbook model Amerika seperti yang dipegangi kakak mereka dahulu. Itu bisa menunjukkan betapa luas pengaruh pembaruan yang terjadi lewat TIM. Membesarnya publik teater sendiri, kini, agaknya membuktikan bahwa perubahan itu lebih cepat difahami oleh penonton yang tak pakai teori ketimbang oleh para komentator dari jauh yang berteori. "Merakyat" memang kata yang bisa berarti macam-macam. Tapi agaknya sulit untuk diartikan sebagai penyajian satu corak, satu garis, satu kebekuan. Mereka yang senang macapat dan tak senang puisi Rendra tak bisa dipaksa untuk jadi pengunjung. Begitu pula sebaliknya. Dalam pengalaman yang kongkrit, yang tak berpegang kepada slogan para penganjur, "rakyat" tak pernah berarti "rakyat-pada-umumnya". Selalu "rakyat" yang bervariasi. Salah satu jasa TIM ialah menunjukkan kenyataan rakyat yang bervariasi itu. Dan di dalamnya kultur pinggiran diberikan haknya -- jauh ke luar kompleks Cikini Raya. TlM memberikan pengalaman konkrit itu kepada para seniman. Disana ia berhadapan dengan orang-orang yang langsung bisa memilih dan bereaksi kepada yang disajikan di pentas. Tapi mungkin juga itu sesuatu yang tidak cukup. TIM adalah mekanisme seni pertunjukan. Akhirnya ia menyebabkan hampir tiap cabang seni menjuruskan diri jadi seni pertunjukan: puisi berarti pembacaan sajak yang gayeng, seni rupa berarti pameran yang mengejutkan. Dalam proses itu, pemikiran bisa kekurangan waktu dan tempat. Pemikiran itulah mungkin yang agak kurang belakangan ini. Mungkin karena DKJ sudah jadi suatu tempat kerja rutin, bukan tempat bergosoknya ide yang bersemangat. Waktu memang bisa memakan kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus