Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia cacat. Sejak berumur tiga tahun ia menderita cerebral palsy dan polio. Kakinya lumpuh, tak kuat menyangga tubuhnya sendiri. Untuk bergerak jauh ia harus digendong atau menggunakan kursi roda.
Di kalangan pekerja seni di Yokohama dia dikenal sebagai orang yang gigih memperjuangkan tempat bagi orang tunadaksa untuk mengekspresikan tubuhnya. Ia membentuk teater Taihen, pelesetan dari kata Jepang, hentai, yang berarti aneh. Dalam teater itu ia bereksperimen menyajikan repertoar-repertoar tubuh orang cacat.
Dan malam itu di Taman Ismail Marzuki, perempuan keturunan Korea ini menampilkan salah satu nomor ciptaannya: Howl Under the Moon. Di lantai, mulanya ia menyeret-nyeret tubuhnya ke arah sinar. Kepalanya dihiasi alang-alang. Ia seperti menangis dan berulang menyeka pelupuknya. Di tengah panggung yang rembang, lalu kedua tangannya meliuk-liuk mengikuti suara musik. Ia mengguling-gulingkan tubuhnya yang dibalut baju mirip kebaya. Ketika musik padam, seraya mendongakkan kepala ke arah sorot lampu, ia melolong serupa serigala.
Manri Kim perempuan itu. Umurnya 54 tahun. Ada perasaan ganjil ketika menyaksikan bagaimana ia berusaha mengeksplorasi tubuhnya. Kita lihat di panggung ia menggelesot. Kakinya sama sekali tak bergerak. Ia menggeser tubuhnya dengan tangan ke lantai. Kakinya yang lemas itu, namun bisa ia tekuk-tekuk sampai ke punggung belakang mendekati kepala, menciptakan imaji tubuh yang aneh. Sosok tubuhnya yang memang tak proporsional itu makin terlihat ganjil.
Keganjilan itulah yang tak hendak ditutup-tutupi. Ia melihat selama ini masyarakat menstigmatisasi bahwa tubuh orang cacat itu sesuatu yang jelek, sesuatu yang harus disembunyikan. Apalagi dalam dunia tari, suatu dunia tempat tubuh yang ideal menjadi pujaan. Padahal, menurut Kim, tubuh orang cacat memiliki kemungkinan-kemungkinan yang tidak dimiliki oleh penari biasa. Ada ciri-ciri khas tubuh orang cacat yang berbeda dengan tubuh sempurna. Bila sejatinya tari adalah eksplorasi dimensi tubuh, menurut dia, tubuh orang cacat mampu memperkaya dimensi itu.
”Mulanya saya ingin mengetahui anatomi tubuh saya sendiri,” katanya. Ia awalnya melakukan olahraga tubuh bagi orang tunadaksa. Lama-lama ia memikirkan sebuah karya. Sebuah koreografi. Ia berkeras bahwa tubuh seorang cacat bisa masuk seni serius. Untung, di Yokohama tinggal seorang ”raksasa” dunia tari Jepang bernama Kazuo Ohno. Ia dikenal sebagai pelopor butoh. Sebuah gerakan pemberontakan tari di Jepang, yang mengeksplorasi sisi-sisi rapuh, kelam, gelap, sekarat manusia. Mereka menolak ideologi balet yang menonjolkan kemolekan tubuh. Umur Ohno kini 101 tahun.
”Saya banyak dibantu oleh beliau,” ungkap Kim. Pernah, pada 1998, penari butoh legendaris itu bahkan menyutradarai pementasan Kim yang berjudul My Mother. Ohno, diakuinya, banyak memberikan inspirasi bagi pementasannya. Kini putra Kazuo Ohno, Yoshito Ohno, menjadi sutradara dalam Howl Under the Moon.
Para pengamat sering menganggap butoh menampilkan semangat ”the aesthetic of ugly”. Malam itu agaknya spirit tersebut yang diusung Kim. Ia tidak membubuhi repertoarnya dengan percakapan. Hanya mengandalkan tubuh cacatnya semata. Setelah melolong itu, ia berganti-ganti penampilan. Ia kemudian muncul menggunakan topi laken hitam dan rompi seperti seorang mafia kate. Lagu klasik mengalun. Ia duduk, menggelesot, tenang, seolah menatap dari kegelapan sebuah bar. Lalu ia muncul lagi dengan berkemben dan berkerudung kain. Musik Bali menusuk ruangan. Tangannya membuka-menutup, mempermainkan kain. Pundaknya berkedat-kedut. Dan tangannya seolah mengibas-ngibas. ”Ini menampilkan perjalanan seorang perempuan yang berlika-liku,” katanya.
Manri Kim mewarisi darah seni dari ibunya, Honju Kim, penari Korea yang aktif menari tari tradisional di Jepang pada zaman Perang Dunia II. Di Jepang pula Kim lahir dan besar. Di sana, sejak kecil ia sudah terbiasa menonton pementasan sang ibu. Ia juga suka membaca kisah-kisah mitologi negara lain. Inspirasi Howl Under the Moon, misalnya, adalah kisah Panji Semirang—yang dibacanya dari sebuah buku.
”Saya ingin mengubah sudut pandang dunia tari,” katanya. Mengapa tari harus selalu menampilkan tubuh dari sisi keelokannya semata?
Seno Joko Suyono, Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo