Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FESTIVAL kroncong tahun lalu masih diikuti oleh dua buah orkes
'gaya baru' dan 9 buah 'asli'. Tapi festival tahun ini - 14 s/d
17 Desember di TIM -- terasa menyedihkan. Peserta Asli hanya 7,
sementara Gaya Baru nihil.
Sebagaimana juga kelompok musik pop, riwayat kelompok OK sama
saja. Tak pernah bisa bertahan lama. Apabila bapak cukong sudah
tidak memelihara lagi, ambyarlah mereka. Suhardjono, pembicara
tunggal dalam diskusi yang menyertai festival tersebut,
melemparkan kertas kerja yang berjudul 'Keroncong Asli Dalam
Bentuk Dan Penyampaiannya'. "Kita tidak usah heran kalau para
pemain orkes keroncong sering pindah-pindah. Di mana ada bayaran
tinggi di situ mereka bermain, sebab dapur mereka harus
berkebulkebul," katanya. Biasa.
Senang Hati
Mengaku dahulunya lebih gemar orkes Hawaian, Suhardjono
menyarankan agar DKJ suka mensponsori pementasan OK di TIM.
Baginya, setelah jungkir-balik latihan, orang-orang itu tidak
cukup hanya nongol dalam festival yang setahun sekali. Ia sama
sekali tidak heran akan begitu sedikitnya pengikut Festival,
sementara begitu banyak nama perkulnpulan OK terdengar di
Jakarta. 'Janan kaget," ucapnya. "Seorang bisa merangkap jadi
pemain di beberapa OK. Mustahil kalau di Jakarta ini benar-benar
ada 45 Orkes Keroncong."
Ia mengingatkan, sejak Zaman Festival Gambir, keroncong hanya
beredar dengan akrab di angan dan telinga orang-orang gaek,
dengan sedikit peserta. Terhadap uraian ini musikus Slamet Abdul
Syukur segera bereaksi: "Kesan saya, setelah mendengar uraian
saudara, OK itu seperti musik pensiunan. Kayaknya para pemain
itu mempunyai rasa rendah diri."
Babak penyisihan lomba dihadiri hampir hanya oleh kerabat
pemain. Mereka sajalah yang gigih menembus hujan 14 Desember
itu. 7 orang juri kemudian menggugurkan salah satu peserta. Yang
lain masuk ke dalam babak final dengan mutu yang rata-rata
lebih bagus dari tahun yang lalu. Barangkali ini yang boleh
dianggap sedikit menggembirakan. Kemajuan tersebut terutama
sekali terasa pada aransemen. Mereka tidak hanya memperllatikan
intro atau koda. Semua finalis berbenah dengan apiknya.
OK Cakti Budhi Bakti, meskipun biluan dan pemainnya loyo, toh
menggarap ar.lnselnerl yang kuat untuk lagu wajib Keroncong
Fajar Pagi. Ia didukung biduan kawakan Masnun Satoto yang
telah berduet dengan sopan sekali. Sementara itu si manis Wiwiek
Sumbogo dari OK Irama Betawi menyanyikan Keroncong Tanam Padi
dengan bantuan biola yang meyakinkan. Meskipun orkes yang
disebut belakangan ini bermain sangat teknis, penampilannya
menarik. Mereka mengenakan baju warna merah dengan peci dan
celana krem.
Tidak Lebih Dari Pesta
OK Irama Eka tak tanggung-tanggung mengeluarkan Totok Salmon.
Itu lho juara Bintang Radio dan TV jenis Keroncong tahun silam.
Kelompok ini pakai surjan merah, plus blangkon. Sayang sekali
tidak kompak: hanya mengandalkan pemain flut, sementara yang
lain-lain tak mendapat bagian merata. Disambung dengan OK
Bintang Jakarta pimpinan Budiman yang bermain sangat santai.
Kalau beberapa pemain kelompok lain sampai melotot menghadapi
partitur, karena terlalu kepengin main baik, Bintang Jakarta itu
tenang-tenang saja. Pembagian kerjanya bagus, sementara
urat-urat mereka tetap kendor. Rasanya jiwa keroncong yang
mat-matan tak terlepaskan kendati mereka sedang diadu. Meskipun
si kebaya biru Sri Widadi, biduanita utamanya, terasa agak
mundur dibanding malam penyisihan, OK ini memberi kesan paling
meyakinkan.
Sidang juri yang terdiri dari Netty Herawati, Adikarso, Isbandi
(Ketua) Achmad S, Abdul Gani, lDr. Liberty Manik dan Sarjono,
kemudian menetapkan Bintang Jakarta sebagai pemenang 1. Nilai
yang dikumpulkannya hanya satu angka di atas pemenang ke-II
yakni OK Cakti Budhi Bhakti. OK Tetap Sehat menduduki juara III,
sementara pemenang harapan berturut-turut adalah Irama Eka,
Irama Betawi dan Irama Selecta.
Dibanding keputusan juri tahun lalu yang banyak menimbulkan
kasak-kusuk, kali ini selera juri dan penmton klop. Dalam pada
itu OK Tetap Sehat pantas dicatat karena konon pemain-pemainnya
gabungan OK Tetap Segar dan Senang Hati. Tia Suseno,
biduanitanya yang menonjol, masih berusia 17 tahun. Jelas belum
tua kan. Wajahnya ayu, suaranya bersih. Ia tidak tenggelam dalam
duet dengan jago tua Mulyono. "Saya sebetulnya senang nyanyi
pop," kata Tia. "Nyanyi keroncong sulit, selain harus sopan juga
banyak lekuk-lekuknya."
"Festival ini tidak lebih dari pesta saja. Menyelenggarakan yang
semula tidak ada menjadi ada," kata Slamet Abdul Syukur, Komite
Musik DKJ. Lalu katanya: "Keroncong sebenarnya tidak usah
tergantung dari pesta. Belum ada sebuah festival pun yang bisa
memuaskan semua pihak. Ini hallya sebuah sorotan saja, sebab
tanpa festival pun keroncong sudah subur."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo