Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Potret kehancuran dari hindia

Pameran foto tentang kehidupan kerajaan di indonesia yang diadakan di balai erasmus, jakarta. delapan puluh foto digelar. menampilkan sisa-sisa kejayaan raja-raja. ambang menuju ke sebuah kehancuran

28 Juli 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPASANG mata itu menatap curiga. Karangasem telah lama jatuh. Pekik Jagaraga dan tulang-belulang prajurit Buleleng tinggal abu di bukit timur. Dari balik kedok dingin Gusti Ngurah Ktut Jelantik tersirat senyum getir. Wajah angkuh di akhir abad ke-19 itu direkam seorang fotografer tak bernama. Potret Raja Buleleng bersama ratu dan dua dayangnya yang menandakan "zaman baru" telah tiba di Hindia Belanda. Cultuurstelsel, tanam paksa, sudah dihapus dan diganti oleh "politik etis". Seratus tahun lamanya rekaman sejarah tersebut tersimpan di Koninklijk Instituut voor de Tropen. Dalam museum di Kota Amsterdam itu tersimpan 400 ribu lebih gambar dan foto dari bekas negara-negara jajahan Belanda. Dalam pameran "Kehidupan Kerajaan di Indonesia" di Balai Erasmus, Jakarta, dari tanggal 12 hingga akhir Juli ini, untuk pertama kali publik Indonesia bisa mengintip secuil dari sejarah itu. Delapan puluh foto eks akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 digelar. Sebagian merupakan karya-karya fotografer kondang Nieuwenhuis, Woodbury & Page, Bosman, dan Cephas yang peranakan Indo. Sesuai dengan judulnya, karya mereka menampilkan sisa-sisa kejayaan raja-raja Indonesia di paruh ketiga zaman penjajahan. Kemegahan memang masih milik para raja seperti Gusti Jelantik. Bukan cuma pada sepuhan emas songketnya dan pada ukiran gagang keris yang terselip di pungungnya. Tapi juga dari cara Gusti menapakkan kaki di paha seorang dayang, dengan segala kelumrahan. Toh ada kehampaan di balik segala upacara itu. Puncak kekuasaan Belanda terjadi pada saat "politik etis" setelah itu, awal dari kehancurannya. Sedangkan di Sumatera, perang Aceh tetap berkecamuk dengan hebatnya. Tapi di Jawa tak ada lagi Ratu Adil. Yang dinamakan keadilan oleh orang Belanda cuma penggerogotan sisa-sisa wibawa Mataram. Melalui Undang-Undang Desentralisasi, kekuasaan para raja dibagi-bagi. Begitu pula komitmen kolonialis terhadap pendidikan dan kesehatan, yang malah menjungkirbalikkan peran raja dalam tatanan masyarakat. Tiba-tiba kenyamanan dan "ilmu" bukan cuma hak si bangsawan. Dan di luar keraton, muncul "priayi-priayi kecil" terdidik yang mulai menanggalkan adat-adat lama. Semua terekam dengan jelas dalam foto-foto yang dipamerkan di Erasmus, tentang kemuliaan dan kemegahan yang hilang nilainya. Kehadiran fotografer di tengah singgasana keraton menghapuskan jarak yang ada selama ini, antara raja dan kawula. Mata lensa, secara kurang ajar, berani menatap balik kepada titisan dewa. Intimasi yang dianggap sakral lenyap pula. Contohnya di Istana Mangkunegaran awal abad ke-20. Potret putra Mangkoenagoro V yang didampingi penari serimpi menguak rahasia raja dengan lebar. Intimasi Sang Pangeran yang angkuh menjadi milik semua orang. Mungkin foto ini bukan cuma sebagai lelucon di antara residen di Batavia, malah jadi bahan gunjingan di rumah Lies dan Willem di Negeri Kincir Angin sana. Adakah ini pengaruh modernisasi dalam keraton (Mangkoenagoro VII salah satu dari ketua pergerakan Boedi Oetomo), atau merupakan tanda-tanda erosi sebuah jiwa? Fotografi memang tak menjawabnya secara verbal. Tapi di balik setiap kemilau beludru dan kuningan dalam gambar-gambar ini, ada terasa suatu kehancuran. Bisa dilihat pada pura setengah runtuh yang jadi latar belakang potret kerabat raja Karangasem. Juga, pada acara nikahnya Mangkoenagoro VII dengan Ratu Timur nan elok, pada 1920. Saat-saat penting pun menjadi lucu: di pojok gambar, dua pendamping menutup telinga dan matanya. Mereka ketakutan mendengar letupan bubuk flash yang dipakai fotografer untuk menerangi ruangan. Tengok pula potret para pangeran dan putri di Keraton Yogya. Ada bisikan kematian di situ: padamnya sebuah mitos. Maka, kita jadi mengerti senyum Gusti Jelantik yang sinis terhadap "zaman baru". Dalam segala kebesaran dan kemolekan, wajah putra-putri keraton tersebut malah menumbuhkan perasaan geli -- bukan rasa kagum, apalagi takut. Ketegaran memang berada di luar kungkungan keraton. Di antara dedaunan dan batang pohon rimbun, kepercayaan lahir bukan dari kulit baju, tapi dari picu senapan yang setiap saat siap ditembakkan. Inilah yang direkam Bosman dalam perantauannya ke Timor. Ada suatu keteguhan (bukan cuma keangkuhan) yang tercuat pada sosok Raja Amansari dan prajurit Meo yang mendampinginya. Mereka memang pemburu sejati yang tunduk pada hukum rimba. Demikian pula foto para bangsawan Sumatera yang direkam dengan indah oleh Nieuwenhuis. Sosok-sosok berwajah cekung -- yang mengisi bingkainya -- seolah siap menerkam bila diberi kesempatan. Ada api yang membara di mata mereka. Ada rencong dan siwah yang siap di pinggang untuk diayun ke hati musuh. Adakah foto-foto di Erasmus meledek seiarah kita? Jawabannya, tidak. Yang dipamerkan itu sebuah rekaman dari masa lampau yang justru perlu kita renungkan. Sebelum fotografi masuk keraton, sebagian raja kita telah lebih dulu mengundang penjajah menginjak hak-haknya. Serta sebagian lagi terus mengerang, dan mencakar sampai akhir hayat. Di Balai Erasmus kita menyaksikan roda nasib yang melahirkan Indonesia modern. Dan segalanya itu juga seperti peringatan: memang tidak ada yang kekal di dunia ini. Kembali, tengoklah potret Gusti Jelantik. Bukan lagi amarah dewata yang bersinar dari matanya. Yang tersisa adalah jerit manusia yang terjebak zaman. Yudhi Suryoatmodjo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus