REVOLUSI IRAN
oleh Nasir Tamara, 446 halaman, Penerbit Sinar
Harapan, 1980
PEKERJAAN wartawan dimaksudkan untuk memberi tahu. Tapi soalnya:
sampai sejauh mana wartawan itu sendiri tahu? Dalam suatu
peristiwa besar dan cepat seperti perang atau revolusi, tanda
tanya itu bisa lebih menggelembung.
Revolusi Iran adalah contohnya. Inilah barangkali revolusi yang
paling terbuka untuk diikuti pers, malah mungkin mendapatkan
momentumnya karena peranan media. Ratusan wartawan datang ke dan
pergi dari dalamnya. Tapi orang Iran punya istilah untuk kontak
semacam ini: raft-o-amad. Arti harfiahnya pergi dan datang. Yang
terjadi bukanlah suatu interaksi yang mendalam.
Nasir Tamara, wartawan sinar Harapan, adalah salah satu dari
sedikit wartawan dari pelbagai negeri yang ikut perjalanan
bersejarah Ayatullah Khomeini dari pengasingannya di Prancis ke
tanahairnya, tak lama setelah Almarhum Reza Pahlevi pergi dari
tahta. Setahun setelah itu Nasir, yang tinggal di Paris, kembali
ke Iran untuk mengcover masalah disanderanya sejumlah diplomat
Amerika di Teheran. Dari kedua kepergian itu tulisannya
dikirimkan ke Jakarta. Dari pclbagai laporannya itu terbentuklah
buku tebal ini.
Megalomaniak
Kita di Indonesia memang beruntung bahwa ada wartawan Indonesia
yangJ, tanpa ragu dan cukup ongkos, pergi menyaksikan revolusi
Iran dari dekat untuk kita. Membaca laporan pelbagai media Barat
dari Teheran saja memang tak memuaskan. Bukan karena mereka
proshah atau pro-Amerika (banyak juga yang anti), tapi karena
kerangka referensi mereka tak selamanya cocok dengan kita.
Wartawan Italia, Oriana Fallaci, misalnya, dalam suatu tulisan
anti-Shah yang galak, hasil wawancaranya dengan Mohammad Reza
Pahlavi, menyebut Shah Iran itu sebagai "megalomaniak yang
sangat berbahaya", yang telah mulai melakukan "invasi ke Barat"
dengan membeli saham Pan American dan Fiat. Fallaci jelas
berbicara sebagai seorang Barat: dia tak melihat bahwa impian
Syah Iran untuk kebesaran adalah impian yang sulit dielakkan
seorang pemimpin negeri Dunia Ketiga, yang punya masa silam
yang hebat tapi berada di abad ke-20 yang memojokkan. Ia
menyebut dibelinya saham Pan Am dan Fiat sebagai "invasi",
semenatara itu adalah perdagangan biasa -- yang juga dilakukan
orang kulit putih ke Timur.
Nasir, alhamdulillah, bukan orang Italia. Keuntungan Nasir yang
lain, dalam melihat revolusi Iran, ialah bahwa ia (lahir di
Lampung tahun 1951) beragama Isiam. Dia tak merasa kaget atas
yang terjdi, dia tak bingung melihat peran km ulama yang
sangat menentukan daam revolusi itu. Ditambah dengan
kelwesannya bergaul, dia boleh dibilang tak cuma mengadakan
kontak jurnalistik yang sepintas.
Tapi betapa pun wartawan harus mengakui batasnya
sendiri--terutama bila dia harus menulis buku. Revolusi Iran
pada dasarnya adalah potret-potret selintas tentang suatu
perkembangan yang terpisah-pisah dan berlansung cepat. Sebagai
tulisan untuk koran. snapshots itu sangat kena. Tapi suatu
ikhtiar untuk mengombinasikan itu semua dengan suatu telaah
sosialekonomis, merupakan kerja yang tak mudah -- terutama bila
si penulis memang berangkat ke Iran tidak sebagai peneliti, dan
terutama bila ia tak diimbangi editor yang kuat.
Karena itulah dalam bagian-bagiannya dan merupakan snapshots
buku ini menarik, tapi secara keseluruhan (terasa kurang kompak
dan utuh. Disini, misalnya, ada analisa tentang arah pembangunan
di Iran--nampaknya dari bacaan --tapi ada juga terjemahan
wawancara wartawan lain. Judul-judul paragraf yang diberi angka
juga bisa menyesatkan: seakan jadi judul bab baru.
Meskipun demikian, buku ini tetap suatu analecta yang penting
tentang Revolusi Iran. Hanya harus dicatat Nasir Tamara bukanlah
sekedar penulis kronik yang tanpa rasa terlibat. Dan seperti
banyak tulisan lain tentang Iran menelang dan selama revolusi,
ada kehendak menjelaskan kenapa kekaisaran Pahlavi yang
mentereng itu begitu mudah rontok. Karena itu, ia cenderung
hanya mengorak apa yang salah dari sang Syah.
Apa yang salah dari Almarhum Reza Pahlavi merupakan daftar
panjang yang sebagian sudah berulang ditulis. Tap rolusi Iran
memang masih baru setahun. Sikap partisan belum reda. Sulit
untuk mengambil jarak, bersikap kritis ke segala sisi. Kesulitan
itu nampak juga pada Nasir: apalagi agaknya ia teramat dekat
dengan sumber ceritanya.
Itu tak berarti ia tak pernah kritis. Cerita tentang ekses-ekses
perlakuan orang Iran kini terhadap kaum minoritas non-Islam
ditampilkannya juga. Tentunya dengan berhati-hati. Sebab
begitulah: salah satu kerepotan orang Indonesia menulis tentang
revolusi yang berbendera Islam itu adalah bahwa ia harus
berhati-hati, baik itu demi untuk tak melukai orang seagama,
atau pun demi untuk tak dituduh berkacamata Barat.
Akibat buruknya tentu ada kita enggan berterus-terang tentang
hal-hal yang menurut hati kecil kita sendiri tidak terpuji. Kita
bahkan tak berani ragu, mungkin apa yang terjadi di Iran itu
menunjukkan belum siapnya suatu resep Islam untuk menyelesaikan
suatu revolusi dan mengelola sebuah negara.
Ataukah kita memang tak harus berpikir lagi? Nasir Tamara
mengutip, untuk semacam motto bagi bukunya, ucapan seorang lran,
bahwa imperialisme juga "sebuah penjajahan cara berpikir dan
cara hidup yang datang dari luar, terkadang secara halus tak
terlihat, merasuki suatu bangsa". Mungkin itulah pencerminan
semangat revolusi yang dipimpin Ayatullah homeini ini.
Tapi membersihkan diri dari "cara berpikir dan cara hidup yang
datang dari luar"--kalaupun itu mungkin--barangkali lebih cocok
sebagai seruan Pol Pot di Kamboja tempo hari. Saya tidak yakin
adakah itu seruan Islam--yang di Iran sendiri justru datang dari
luar, dan yang dalam sejarahnya tak gentar menemui alam pikiran
Yunani, kebudayaan Persia ataupun cara hidup di Indonesia.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini