DUA titik tolak yang jauh berbeda kelihatan di Ruang Pameran
Taman Ismail Marzuki, dua minggu di pertengahan puasa ini.
Sejumlah karya--oleh Suatmadji-mencoba bergaya pop dan memberi
komentar sosial. Sejumlah yang lain, karyua Syaiful Adnan,
bertolak dari kaligrafi Arab. Dua gaya itu sama-sama lagi
populer di kalangan senirupawan muda kita. Yang satu diresmikan
oleh kelompok Seni Rupa Baru (yang sudah bubar). Sedang model
kaligrafi dipopulerkan oleh sejumlah nama, antara lain A.D.
Pirous, Sadali, Amri Yahya, dan juga dengan diselenggarakannya
pameran kaligrafi tradisional Cirebon beberapa tahun lewat oleh
Dewan Kesenian Jakarta.
"Saya ingin membuat poster untul almarhum pelawak Basijo," kata
Suatmadji, 28 tahun, lulusan Sekolah Tinggi Senirupa Indonesia
Asri, Yogya. Sebuah bidang berlatar kuning, yang dihias dengan
sejumlah tulisan "exclusif", lalu gambar wajah Basijo berukuran
kecil ditempel, ada juga gambar wajah ketawa dan orang naik
kuda.
"Saya ingin menampilkan segala macam kegiatan wanita," katanya
pula. Itu merupakan penjelasan sebuah karyanya, merupakan gambar
kepala seorang cewek yang dipadu sejumlah tempelan gambar wanita
dengan berbagai macam aksi.
Suatmadji memang patut dipuji dalam soal menggambarnya, juga
teknik kolasenya. Semua unsur senirupa yang dihadirkan pada
bidang gambarnya menyatu, menjelma menjadi elemen senirupa,
bukan lagi materi. Karya-karyanya memberi kesan warna segar
yang berpadu dengan kelam. Tiga bayangan lelaki berseragam,
hitam, dengan pas diseruak oleh warna biru dan kuning yang
membentuk sesosok gadis membawa seberkas bunga. Itu kalau
dianggap semua unsur yang ada di bidang gambarnya sebagai unsur
non-figuratif.
Masalahnya kemudian, perpaduan itu ternyata tak berbicara --
cuma bergumam. Itulah mengapa dibutuhkan penjelasan: ini poster
Basijo (pelawak Yogya terkenal yang sudah almarhum), atau ini
gambar kegiatan wanita yang aneh-aneh.
Sebuah Pesta
Hubungan antara figur satu dan lainnya dengan bentuk
berbeda--gambar bangunan, misalnya, tau hanya sesapu warna --
tak memberi satu imaji. Tiga bayangan hitam dan gadis, Basijo
dan "eksklusif", satu bayangan hitam dan gedung pencakar langit,
tak berada dalam satu bahasa. Bak sebuah kalimat rerdiri dari
sejumlah kata yang tak membentuk arti.
Ini bisa lebih jelas bila dibanding senilukis kaligrafi Syaiful
Adnan, 23 tahun, yang masih mahasiswa STSRI Asri. Sudah barang
tentu hanya yang paham tulisan Arab bisa membacanya. Tapi mereka
yang tak tahu pun masih bisa menangkap sesuatu dari situ. Dan
orang tak mencoba bertanya-tanya karena sudah jelas bahwa itu
memang ayat atau lafal-lafal.
Ada suasana musikal yang amat dominan pada karya Syaiful. Ada
suasana ungkapan rasa syukur: sebuah pesta setelah berupaya.
Dan berbeda dari senilukis kaligrafi Sadali atau Pirous, pelukis
kelahiran Solok, Sumatera Barat ini benar-benar menggarap
sepenuh bidang--tak hanya memfokuskan pada kaligrafinya. Ia tak
hanya menggarap huruf, tapi keseluruhannya. Yang muncul pertama
adalah suasana. Ini kaligrafi liris, dan bukan figuratif.
Surat Al-Baqarah 285, bersuasana biru muda, bertulisan merah dan
sejumlah coret-coret garis yang menyerupai huruf Arab, yang
dengan latar dan tulisan ayat tersebut membentuk satu mood.
Sementara Surat Yunus 44 bersuasana umum, tapi meyakinkan dengan
warna oker dan coklatnya "Sesungguhnya Aku tak berlaku zalim
kepada siapa juga, melainkan orang-orang itulah yang menzalimi
diri sendiri."
Syaiful masuk Sekolah Seni Rupa Indonesia di Padang, lulus 1975
dan 1977 ia memang berniat mencipta lukisan bertolak dari
kaligrafi Quran. Sebuah lagi gaya senilukis ayat suci.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini