Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Rezeki Di Atas Kuburan

Tempat-tempat makam keramat yang mendatangkan penghasilan bagi penduduk sekitarnya atau pemda setempat yang berasal dari para ziarah. (ds)

9 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMPLEKS makam keramat Syekh Burhanuddin di Ulakan, Padang Pariaman, 5 7 km sebelah utara Kota Padang, Sumatera Barat selalu ramai, terutama menjelang puasa dan lebaran. Malam hari tak ubahnya seperti pasar malam. Bangunan-bangunan darurat didirikan oleh para pedagang yang memanfaatkan keramaian pengunjung kuburan itu. Di sana bisa dibcli segala macam alat rumah tangga, pakaian sampai radio dan teve. Alat kecantikan juga laku keras, harganya memang lebih murah dari harga toko di Padang. Pihak pemda, yang memiliki kawasan tempat makam keramat itu, tentu juga mengambil manfaat dari kegiatan semacam itu. Misalnya Pemda Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Di sana, tepatnya di Gunung Kemukus, Desa Pendem, ada makam Raden Samodro dan Retno Ontrowulan, konon adalah sepasang kekasih pelarian dari Kerajaan Majapahit yang dianggap keramat. Pemda Sragen dalam tahun anggaran 1980/81 menargetkan pemasukan Rp 6 juta dari karcis masuk ke kuburan itu. Nampaknya bisa tercapai. Tahun sebelumnya masuk Rp 4.900.000 (dari target Rp 5 juta). Penduduk Desa Pendem juga banyak yang tersedot ke sana: berjualan makanan, menjadi tukang parkir, atau menyewakan tikar dan bantal bagi mereka yang ingin menginap. Barangkali para pengemiS (atau penduduk yang sengaja mengambil kesempatan meminta-minta yang paling berunung Misalnya di makam yekh Muhammad Arsyad Al-Banjary di Kelampayan, Kecamatan Astambul, Kalimantan Selatan. Lagipula banyak pula penziarah yang memang suka mengharnburkan uang receh kepada para pengemis dengan keykinan, "rezeki yang bakal datang akan berhamburan pula" Tapi tak sedikit pula yang memberi karena kesal dan merasa lebih baik melempar uang ketimbang diserbu pengemis. "Kalau tidak diberi, mereka akan membuntuti kita, bahkan menarik-narik tangan," kata seorang penziarah di Kelampayan. Gunung Kawi Jamaah yang pulang dari ibadah haji banyak yang mampir di makam Syekh Maulana Yusuf di Lakiung, Desa Katangka, Kecamatan Somba Ompu Kabupaten Gowa, Sul-Sel. Mereka memanjatkan syukur karena telah berhasil menunaikan rukun Islam kelima. Pada saat itulah orang Lakiung panen rezeki, kembang jualan mereka laris Begitu masuk kompleks makam, penziarah dikejar-kejar beberapa pemuda. Anak-anak muda itu lantas meletakkan kembang di sadel motor atau dalam mobil. Ketika penziarah mau pulan mereka dihadang, dimintai bayaran pembelian kembang setengah memaksa. Berbeda dengan pengemis di tempat lain, para pengemis tua di kompleks makam mBah Djoego dan mBah Kromoredjo di Gunung Kawi, di Jawa Timur berkelompok rapi. Mereka, ratusan orang jumlahnya, menunggu belas kasihan para penziarah dengan sabar. Penduduk sekitar makam, dari Dukuh Wonosari, Desa Kebobang, juga mendapat keuntungan dari "bisnis makam keramat" itu dengan membuka toko berjualan segala macam. Atau membuka rumah makan. Ada pula yang menjual ubi kayu dan agung, mentah atau matang. Dan tentu saja kembang dan kemenyan. Dari 14.000 jiwa penduduk desa, 40% di antaranya hidup dari "bisnis makam" itu. Misalnya, Warsini, 21 tahun, sejak masih bocah ikut ibunya menjual kemban hasil kebunnya sendiri. Sehari ia bisa mengantungi uang Rp 500 sampai Rp 2.000. Begitu pula ibunya. Ayahnya, Syamsuddin, pedagang kambing. Kambingnya sering dipesan penziarah untuk disembelih dalam upacara selamatan. "Tanpa penghasilan ini, hidup kami sekeluarga susah," kata Warsini. Yang jelas, pemda setempat juga tidak melewatkan kesempatan ini. Lihat saja: dari sektor pemasukan di terminal bis saja setahun tak kurang dari Rp 6,8 juta. Belum lagi pajak pembangunan lari sejumlah toko dan rumah makan, skitar RP 1,3 juta setahun. Gambaran paling khas dari sebuah desa yang mendapat rezeki dari makam keramat ialah Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara, Cirebon, Jawa Barat. Di sana ada makam Sunan Gunung Jati. Kuburan ini tiap hari dikunjungi orang. Di antara 642 rumah penduduk Astana, hanya 36 buah berupa gubuk. Selebihnya dari tembok. Mereka membuka tempat penitipan sepeda, motor atau mobil. Tarifnya Rp 50, Rp 100 dan Rp 250. "Setiap malam Jumat dari tempat penitipan seperti itu desa mendapat tambahan dana hampir Rp 25.000," kata Sukani juru tulis Dcsa Astana. Penduduk Astana yang mencari untung dengan berjualan makanan, minuman dan kembang seperti di makam-makam lain, tentu juga banyak. Yang menarik ratusan anak-anak dan orang tua warga Astana tiba-tiba beralih profesi sebagai pengemis. Pada hari-hari sepi saja, Kosim (8 tahun) mengaku berpenghasilan Rp 300 sehari Murid SD yang tak malu-malu mengemis selepas sekolah ini berkata: "Sehari paling banyak saya jajan Rp 100, kelebihannya saya berikan pada orang tua." Ia anak seorang buruh penggali pasir. Tapi rekor penghasilan paling tinggi dicapai oleh para juru kunci. Di makam ini ada 137 petugas pengurus makam. Mereka dibagi dalam 10 kelompok, masing-masing terdiri 14 orang. Setiap kelompok bertugas 14 hari berturut-turut selama sebulan. Tiap kelompok dipimpin oleh Bekel Sepuh dan Bekel Muda. Jeneng Di atas mereka ada Jeneng. Pada bulan Maulud, Jeneng bisa mendapat penghalsilan sampai Rp 800.000, Bekel sepuh sedikitnya Rp 500.000. Uang yang berasal dari penziarah itu dikumpulkan oleh Bekel, lantas dibagi sesuai dengan posisi masing-masing. Jeneng alias Kepala Juru Kunci makam Sunan Gunung Jati sekarang adalah Harun. Jabatan itu diperoleh turun-temurun dan diangkat dengan SK Sultan Cirebon. Jabatan Jeneng, ternyata menimbulkan semacam dualisme dalam pemerintahan desa. "Jeneng yang merupakan jabatan di luar pemerintahan desa, berpengaruh kuat terhadap sebagian besar penduduk, bahkan sampai di luar desa," tutur Sukani, pamong Desa Astana. "Jabatan kepala desa di sini tidak laku. Yang laku jabatan Jeneng, Bekel atau juru kunci, sebab jelas menghasilkan uang."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus