KOMPLEKS makam keramat Syekh Burhanuddin di Ulakan, Padang
Pariaman, 5 7 km sebelah utara Kota Padang, Sumatera Barat
selalu ramai, terutama menjelang puasa dan lebaran. Malam hari
tak ubahnya seperti pasar malam. Bangunan-bangunan darurat
didirikan oleh para pedagang yang memanfaatkan keramaian
pengunjung kuburan itu.
Di sana bisa dibcli segala macam alat rumah tangga, pakaian
sampai radio dan teve. Alat kecantikan juga laku keras, harganya
memang lebih murah dari harga toko di Padang.
Pihak pemda, yang memiliki kawasan tempat makam keramat itu,
tentu juga mengambil manfaat dari kegiatan semacam itu. Misalnya
Pemda Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Di sana, tepatnya di Gunung
Kemukus, Desa Pendem, ada makam Raden Samodro dan Retno
Ontrowulan, konon adalah sepasang kekasih pelarian dari Kerajaan
Majapahit yang dianggap keramat.
Pemda Sragen dalam tahun anggaran 1980/81 menargetkan pemasukan
Rp 6 juta dari karcis masuk ke kuburan itu. Nampaknya bisa
tercapai. Tahun sebelumnya masuk Rp 4.900.000 (dari target Rp 5
juta). Penduduk Desa Pendem juga banyak yang tersedot ke sana:
berjualan makanan, menjadi tukang parkir, atau menyewakan tikar
dan bantal bagi mereka yang ingin menginap.
Barangkali para pengemiS (atau penduduk yang sengaja mengambil
kesempatan meminta-minta yang paling berunung Misalnya di
makam yekh Muhammad Arsyad Al-Banjary di Kelampayan, Kecamatan
Astambul, Kalimantan Selatan. Lagipula banyak pula penziarah
yang memang suka mengharnburkan uang receh kepada para pengemis
dengan keykinan, "rezeki yang bakal datang akan berhamburan
pula" Tapi tak sedikit pula yang memberi karena kesal dan merasa
lebih baik melempar uang ketimbang diserbu pengemis. "Kalau
tidak diberi, mereka akan membuntuti kita, bahkan menarik-narik
tangan," kata seorang penziarah di Kelampayan.
Gunung Kawi
Jamaah yang pulang dari ibadah haji banyak yang mampir di makam
Syekh Maulana Yusuf di Lakiung, Desa Katangka, Kecamatan Somba
Ompu Kabupaten Gowa, Sul-Sel. Mereka memanjatkan syukur karena
telah berhasil menunaikan rukun Islam kelima. Pada saat itulah
orang Lakiung panen rezeki, kembang jualan mereka laris Begitu
masuk kompleks makam, penziarah dikejar-kejar beberapa pemuda.
Anak-anak muda itu lantas meletakkan kembang di sadel motor atau
dalam mobil. Ketika penziarah mau pulan mereka dihadang,
dimintai bayaran pembelian kembang setengah memaksa.
Berbeda dengan pengemis di tempat lain, para pengemis tua di
kompleks makam mBah Djoego dan mBah Kromoredjo di Gunung Kawi,
di Jawa Timur berkelompok rapi. Mereka, ratusan orang jumlahnya,
menunggu belas kasihan para penziarah dengan sabar. Penduduk
sekitar makam, dari Dukuh Wonosari, Desa Kebobang, juga mendapat
keuntungan dari "bisnis makam keramat" itu dengan membuka toko
berjualan segala macam. Atau membuka rumah makan. Ada pula yang
menjual ubi kayu dan agung, mentah atau matang. Dan tentu saja
kembang dan kemenyan. Dari 14.000 jiwa penduduk desa, 40% di
antaranya hidup dari "bisnis makam" itu.
Misalnya, Warsini, 21 tahun, sejak masih bocah ikut ibunya
menjual kemban hasil kebunnya sendiri. Sehari ia bisa
mengantungi uang Rp 500 sampai Rp 2.000. Begitu pula ibunya.
Ayahnya, Syamsuddin, pedagang kambing. Kambingnya sering dipesan
penziarah untuk disembelih dalam upacara selamatan. "Tanpa
penghasilan ini, hidup kami sekeluarga susah," kata Warsini.
Yang jelas, pemda setempat juga tidak melewatkan kesempatan ini.
Lihat saja: dari sektor pemasukan di terminal bis saja setahun
tak kurang dari Rp 6,8 juta. Belum lagi pajak pembangunan lari
sejumlah toko dan rumah makan, skitar RP 1,3 juta setahun.
Gambaran paling khas dari sebuah desa yang mendapat rezeki dari
makam keramat ialah Desa Astana, Kecamatan Cirebon Utara,
Cirebon, Jawa Barat. Di sana ada makam Sunan Gunung Jati.
Kuburan ini tiap hari dikunjungi orang. Di antara 642 rumah
penduduk Astana, hanya 36 buah berupa gubuk. Selebihnya dari
tembok.
Mereka membuka tempat penitipan sepeda, motor atau mobil.
Tarifnya Rp 50, Rp 100 dan Rp 250. "Setiap malam Jumat dari
tempat penitipan seperti itu desa mendapat tambahan dana hampir
Rp 25.000," kata Sukani juru tulis Dcsa Astana. Penduduk Astana
yang mencari untung dengan berjualan makanan, minuman dan
kembang seperti di makam-makam lain, tentu juga banyak.
Yang menarik ratusan anak-anak dan orang tua warga Astana
tiba-tiba beralih profesi sebagai pengemis. Pada hari-hari sepi
saja, Kosim (8 tahun) mengaku berpenghasilan Rp 300 sehari Murid
SD yang tak malu-malu mengemis selepas sekolah ini berkata:
"Sehari paling banyak saya jajan Rp 100, kelebihannya saya
berikan pada orang tua." Ia anak seorang buruh penggali pasir.
Tapi rekor penghasilan paling tinggi dicapai oleh para juru
kunci. Di makam ini ada 137 petugas pengurus makam. Mereka
dibagi dalam 10 kelompok, masing-masing terdiri 14 orang. Setiap
kelompok bertugas 14 hari berturut-turut selama sebulan. Tiap
kelompok dipimpin oleh Bekel Sepuh dan Bekel Muda.
Jeneng
Di atas mereka ada Jeneng. Pada bulan Maulud, Jeneng bisa
mendapat penghalsilan sampai Rp 800.000, Bekel sepuh sedikitnya
Rp 500.000. Uang yang berasal dari penziarah itu dikumpulkan
oleh Bekel, lantas dibagi sesuai dengan posisi masing-masing.
Jeneng alias Kepala Juru Kunci makam Sunan Gunung Jati sekarang
adalah Harun. Jabatan itu diperoleh turun-temurun dan diangkat
dengan SK Sultan Cirebon. Jabatan Jeneng, ternyata menimbulkan
semacam dualisme dalam pemerintahan desa. "Jeneng yang merupakan
jabatan di luar pemerintahan desa, berpengaruh kuat terhadap
sebagian besar penduduk, bahkan sampai di luar desa," tutur
Sukani, pamong Desa Astana. "Jabatan kepala desa di sini tidak
laku. Yang laku jabatan Jeneng, Bekel atau juru kunci, sebab
jelas menghasilkan uang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini