Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Festival Sinema Prancis, 31 Mei-15 Juni di Jakarta, kali ini berlangsung tanpa begitu banyak publikasi. Tapi tradisi film Prancis mutakhir kali ini sanggup memperlihatkan kekayaannya yang beragam. Ada film seperti Le Pianiste yang menyentuh dan kaya warna humanis. Ada pula Taxi 3 yang justru mendekati model Hollywood. Berikut adalah film-film pilihan yang kami anggap mewakili film Prancis umumnya.
Perjuangan Menolak Kompromi
|
Paris 1942. Di sebuah apartemen, Jean Aurenche yang penulis skenario tengah asyik berdiskusi tentang selembar naskah film dengan seorang aktris jelita. Mereka di tempat tidur. Kecupan-kecupan ringan belum usai, mendadak terdengar ledakan bom di kejauhan. Di jendela, langit malam berubah-ubah kuning dan merah. Jean termangu, lalu bergegas keluar saat ledakan makin dekat.
Sirine menderu-deru. Beberapa bangunan terkena bom yang dijatuhkan pesawat-pesawat Nazi Jerman. Keesokan hari, keadaan normal. Jean kembali bekerja di studio Continental, yang merupakan firma sinematografi milik orang Jerman yang memproduksi film-film Prancis. Walaupun roda produksi berjalan, kekakuan menyelimuti para awak film. Terutama figur sentral sutradara Maurice Tourneur (dimainkan Philippe Morier-Genoud) yang kelewat gusar. Ia menginginkan anak buahnya berkolaborasi dengan pemerintah pendudukan Jerman.
Komplikasi kolaborasi itu saat bersamaan justru mengentalkan perjuangan Jean Devaivre, asisten sutradara berbakat. Diam-diam ia memasok informasi berharga kepada agen Inggris. Ia mengayuh sepeda ke pelosok jauh, mengunjungi keluarga tercinta sambil menjalankan kegiatan mata-mata yang kadang mengundang bahaya.
Film karya Bertrand Tavernier sepanjang tiga jam ini menyuguhkan suatu episode penting duo Jean. Walaupun tidak selalu bekerja bersama, keduanya adalah orang terkemuka film Prancis periode New Wave pada 1940-an. Film tampil dalam gambar yang memikat. Di film yang berdasarkan kisah nyata ini, Bertrand, yang pernah memenangi Oscar dari film Round Midnight, memasukkan sentuhan romantisme Prancis.
Ada gemerincing sampanye di atas makan malam terhormat, wanita-wanita rupawan nan anggun, serta adibusana yang detail era 1940-an. Sementara itu, Jacques Gamblin, yang memerankan tokoh Jean Devaivre, bermain cemerlang. Pantaslah kalau ia diganjar penghargaan Aktor Terbaik di Festival Film Berlin 2002.
Tersesat di Belantara Cinta
|
Apa salahnya jadi jurnalis komunis? Awalnya, Bruno (dimainkan Daniel Auteuil) adalah seseorang yang mencari jatidiri. Ia telah mengarungi jalan panjang untuk mengukuhkan ideologi pilihannya, sebuah jalan intelektual yang biasa ditempuh mereka yang romantis. Namun, di sebuah episode hidupnya yang semrawut, ia larut dalam petualangannya dari satu wanita cantik ke wanita cantik lain. Sampai di sini, tak jelas lagi apa yang hendak digapainya sepanjang hidup.
Bruno, wartawan pada surat kabar komunis, perlahan memang kehilangan keyakinannya karena hal-hal yang sentimental di sepanjang jalan. Tapi karya Pascal Bonitzer yang mengawali perfilman sebagai penulis skenario ini seolah terpotong jadi dua. Bagian pertama menyuguhkan keriangan dan humor.
Tapi adegan salah pengertian antara Emmanuelle Devos dan Ludivine Sagnier di pintu keberangkatan sebuah bandara menjadimomentum Bonitzer dalam mengolah komedi ringan yang brilian ini. Hidup Bruno bertambah runyam. Ia beranjak dari kebingungan yang satu ke kebingungan berikutnya. Antara istrinya yang bernama Gaelle, kekasih mudanya Nathalie, dan prinsipnya yang goyah karena perubahan sejarah.
Di bagian kedua, alur film beranjak dari kamar mandi yang bermandikan cahaya matahari. Suasana agak surealis. Cerita bergulir makin serius. Ketika dipanggil pamannya, wali kota sebuah kota kecil di daerah Grenoble, Prancis, ia terpikat oleh seorang perempuan bernama Beatrice. Percintaan intens dengan Beatrice berjalan terus, tapi rasa frustrasi dalam diri Bruno tak kunjung sirna. Ketika Beatrice meninggalkannya tanpa pesan, dengan mudah ia bermain cinta dengan wanita lain. Ia larut, bahkan tersesat, dalam proses tak berujung ini.
Jelas sekali Bruno makin jatuh. Sebagai komunis, ia tak tahu lagi apa jawaban pasti pertanyaan tentang runtuhnya Tembok Berlin. Ia terpikat oleh Mathilde, atase media massa istri teman lamanya, Gerard. Sedangkan Anne, istrinya, bertualang dengan seorang laki-laki lain. Bruno mengakhiri kebingungan dan rasa frustrasinya yang panjang setelah seorang lelaki menembakkan pistol ke arahnya. Ia mati.
Dwi Arjanto
Sebuah Nasib, Sebuah Keputusan
|
Bagi Leo Sheperd (Gerard Depardieu), hidup itu dilematis. Hanya satu pilihan di antara dua alternatif: menjadi ayah yang baik, atau sastrawan dunia. Dan Leo lebih suka menjadi sastrawan.
Itulah pilihan yang akhirnya menghadapkannya pada dua hal sekaligus. Hadiah Nobel Kesusastraan di Stockholm dipetiknya di usianya yang paruh baya. Tapi, di luar itu, ia menghadapi karma lain. Dalam perjalanannya dengan sebuah sepeda motor ke Stockholm, sekonyong-konyong anak kandungnya sendiri, Paul (diperankan Guillaume Depardieu), muncul dan menculiknya.
Paul pemuda dengan batin yang luka, dan kini ia menggugat: mengapa dirinya terasingkan seperti itu. Paul hidup dalam ketakutan, kenangan-kenangan pahit, yang selalu mengalir dalam perjalanan penculikan.
Jacob Berger, sutradaranya, mengaduk semua masa lalu dalam sebuah alunan drama penuh ironi. Sutradara berhasil menampilkan adegan menyayat saat Paul merindukan ayahnya. Demikian pula tatkala sikap ayahnya itu ternyata membuatnya terpuruk ke jurang heroin. Tak terkecuali ketika dia berhasil lolos darinya. Menyayat, tapi Leo membungkam dirinya dengan kalimat: "Tak ada yang peduli ketika seorang Hemingway, misalnya, memukuli istrinya. Apakah aku punya pilihan jadi ayah yang baik, sementara aku harus menulis dengan baik?"
Paul kemudian tumbuh dengan pelbagai trauma yang berpangkal pada perlakuan buruk sang ayah. Seumur-umur Paul, juga kakaknya, Virginia (Sylvie Testud), menjadi "pesuruh" ayahnya. Namun, penderitaan kedua anaknya kini mengganggu Leo, yang selalu khawatir akan kariernya selaku penulis.
Berger tidak memberi sebuah konklusi selain membiarkan perasaan penontonnya turut berkecamuk dalam emosi tiap pemain. Tapi setidaknya keelokan alam Eropa membius dalam kamera Pascal Marti. Bagaimana tidak, film ini praktis merekam perjalanan Leo dari rumahnya di pegunungan Alpine di Swiss menuju Swedia.
Endah W.S.
Hollywood dari Tanah Prancis
|
Tak ada yang istimewa di hari itu bagi Daniel (Sammy Naceri). Seperti biasa, ia menerima seorang penumpang dengan gaya seenaknya. "Tunggu sampai saya selesai makan," katanya. Tapi di situlah letak istimewanya: tanpa ekspresi luar biasa, ia menerbangkan taksinya seringan kapas. Ia menerbangkan kertas-kertas di loket jalan tol, melampaui kecepatan kereta api TGV, dan meninggalkan mobil patroli polisi jauh di belakang.
Kita tahu, film Taxi 3 adalah sebuah perlawanan terhadap film-film Hollywood yang begitu dominan dan menggurita. Dan ini sudah terjadi sejak seri pertamanya, Taxi 1 (1998). Taxi 3 dibuka dengan pembicaraan Daniel dengan aktor Sylvester Stallone di dalam mobil. Mereka berbincang tentang bahan bakar mobil yang istimewa. Daniel menegaskan bahwa bahan bakarnya bukan nitroyang biasa dipakai di film Hollywood seperti The Fast and Furious.
Pembicaraan Daniel-Stallone berakhir dengan tibanya sang mobil di bandara, dan Stallone dijemput oleh sebuah helikopter. Sutradara mempertahankan karakter seorang Rambo, sosok Amerika berkepribadian sangat militeristik dan hanya piawai berbicara dalam bahasa kekerasan, di adegan itu. Tentu saja, adegan itu lebih mendekati sebuah cemooh ketimbang pujian terhadap Amerika.
Amerika tetap digambarkan nomor dua setelah Prancis, tapi Taxi 3 ternyata mengikuti rasa humor yang terkandung dalam film-film Hollywood, seraya rajin mengumbar kelucuan berlebihan, tidak masuk akal. Inti ceritanya, membahas sebuah gang perampok berseragam Sinterklas, seolah terlupakan manakala sutradara dan penulis skrip sibuk menonjolkan adegan-adegan lucu.
Alkisah, tersebutlah pasangan Daniel (Sammy Naceri) dan Emilien (Frédéric Diefenthal) yang sering mengutak-atikmobilnya sehingga melampaui kecepatan mobil pada umumnya. Mereka hidup dan bersinggungan dengan tokoh-tokoh tetap lainnya seperti Lilli (Marion Cotillard), pacar Daniel yang galak, Petra (Emma Sjöberg), pacar Emilien, dan komisaris Gilbert (Bernard Farcy) yang bodoh tapi sok tahu. Dari pertemuan berbagai karakter itu, mengalirlah kisah klasik: kejar-kejaran antara polisi dan perampok. Para perampok selalu dapat melepaskan diri karena mereka punya sebuah mobil besar berkecepatan luar biasa.
Sebagai sebuah film layar lebar, Taxi 3 memperlihatkan Luc Bessonproduser dan penulis film ini sejak Taxi 1memperlakukan produknya seperti serial televisi. Para tokohnya mengalami masa pacaran, kawin, mempunyai anak. Mungkin, jika Besson masih merasa belum cukup, ia akan membuat seri Taxi berikutnya tentang anak-cucu Daniel dan Emilien. Mungkin saja, sejauh itu laku.
F. Dewi Ria Utari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo