Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Raja Semalam Sudah Turun Takhta

Saidi Kamaluddin, maestro teater dulmuluk, sudah tak kuat lagi tampil. Dari 21 grup yang dia bina, hanya satu-dua yang bertahan.

2 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Raja: Adindaku Perdana Menteri. Sepanjang hari, apakah kabar keadaan negeri ramai? Engkau nyata bilang pasti untuk aku ketahui.

Perdana Menteri: Daulat tuan hamba bijak bestari. Sebenarnya sahaya berperi. Tuan hamba bertanya tentang negeri, negeri ramai tidak berperi, rakyat berkumpul dalam negeri, aman dan makmur setiap hari. Begitu saya berperi kepada tuan hamba berdiri.

Potongan dialog antara Raja dan Perdana Menteri itu mengalir lancar dari mulut Saidi Kamaluddin, maestro teater rakyat dulmuluk, di rumah kontrakannya di Griya Asri Gandus di pinggiran Kota Palembang, Sumatera Selatan, dua pekan lalu.

Pria kelahiran Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, 68 tahun silam itu bertubuh tinggi besar. Dalam dulmuluk, dia biasa didapuk menjadi raja, sehingga Saidi pun dijuluki ”Raja Semalam”.

”Saya sedih, sekarang banyak festival dulmuluk, tapi rohnya sudah banyak yang hilang, seperti tak diguna kannya lagi pantun dalam dialog dan pemakaian organ sebagai pengganti musik tradisio nal,” ujarnya di rumah bertipe sangat sederhana yang dia tinggali bersama empat anak dan dua cucunya.

Pertunjukan dulmuluk berawal dari kesenangan Wan Bakar, pedagang keturunan Arab yang datang ke Palembang pada awal abad ke-20, melisankan kisah Raja Abdul Muluk dari syair Melayu Klasik Syair Sultan Abdul Muluk. Banyak orang mengira syair itu ciptaan Raja Ali Haji, tapi buku Maestro Seni Tradisi (2008) yang diterbitkan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata dan Asosiasi Tradisi Lisan menyatakan Raja Saleha, saudara perempuan Raja Ali Haji, menerbitkan pertama kali syair itu pada 1847 dengan judul Keja yaan Kerajaan Melayu.

Kepandaian Wan Bakar melisankan syair itu membuat dulmuluk jadi terkenal dan digelar di berbagai acara. Dalam perkembangannya, dia bersama murid-muridnya menambahkan gendang, terbang, biola, tetawak (gong), dan jidur (gendang besar) dalam pertunjukannya. Bahkan, pada 1919, pertunjukan tak lagi monolog, tapi dialog dua orang atau lebih disertai gerak tubuh dan kostum khusus.

Dulmuluk mencapai puncak kejayaannya pada 1960-an dan 1970-an. Ada puluhan kelompok dulmuluk di Palembang saat itu dan mereka berpentas hingga Pulau Bangka dan Belitung. Kamaluddin, ayah Saidi, adalah murid Wan Bakar yang menurunkan kesenian ini kepada anak-anaknya. Saidi mulai bergabung pada 1952 dan memainkan banyak peran, terutama tokoh raja, yang membuatnya terkenal.

”Kalau jadi raja, saya paling sering. Katanya gagah dan berwibawa,” ujar Saidi. Nama Saidi makin mencorong pada 1990-an setelah Arjo, kakaknya yang dianggap dedengkot dulmuluk, tak main lagi hingga akhir hayatnya.

Menurut Saidi, banjir order dulmuluk biasa terjadi pada saat musim panen di daerah pinggiran. Sekali pentas dia mematok Rp 2 juta, yang dibagi untuk 20 pemain, musik, sewa pakaian, dan lainnya. ”Masing-masing kadang bawa pulang Rp 40 ribuan saja,” katanya.

Kini orderan sepi. Orang juga lebih suka meminta syair yang lucu-lucu saja. Pantun tentang kebajikan dan adat serta kisah dulmuluk sudah tak disu kai karena bertele-tele. ”Kalau mau dulmuluk asli, dua hari dua malam belum tentu selesai karena ceritanya panjang. Tapi sekarang kan bisa diringkas dengan muncul raja, adegan lucu-lucuan, berperang, dan ditutup,” ujarnya.

Keberlangsungan dulmuluk juga tanpa harapan. Dari 21 grup yang dia bina selama ini, hanya satu-dua yang bertahan. Anggotanya hanya bermain sekadar untuk hobi dan setelah menikah biasanya mundur. ”Dua orang anak saya ikut meneruskan kesenian ini. Keduanya juga sudah punya grup,” kata Saidi.

Kini Saidi sudah jarang tampil dan napasnya pun sudah ngos-ngosan. Dia tak kuat lagi mengimbangi para pemain muda atau menjadi raja yang gagah. Kalaupun memerankan raja, dia hanya menjadi raja yang kerjanya duduk dan memerintah-merintah.

Arif Ardiansyah (Palembang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus