Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Sahilin Terus Lantunkan Batanghari Sembilan

2 Agustus 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Malam itu Sahilin, maestro musik batanghari sembilan, tampil dengan baju batik lengan panjang, gitar bolong, dan kacamata hitam khas yang menutup matanya, yang buta sejak kecil karena cacar air. Dia tampil dalam sebuah hajatan di kawasan Lemabang, Palembang, pertengahan Juli lalu. Di sampingnya berdiri Siti Romlah, yang membalas pantun-pantun yang dilontarkan sang musisi.

Sahilin membuka pertunjukan dengan Kaos Lampu atau lebih populer dengan nama Buruk Tegantung. Pantun itu berkisah tentang seorang pemuda yang telat menikah dan menjadi bujang lapuk.

Setiap kali ganti lagu, Sahilin menyetel ulang gitarnya, sehingga menghasilkan irama yang berbeda. Dari delapan nada dasar pada gitar, dia kerap hanya mengandalkan lima nada. Nada-nada itu dipadukan secara pentatonis, mirip musik gamelan, atau ketukan perkusi yang ritmis dan agak monoton.

Tradisi berpantun bersahut-sahutan itu diperkirakan sudah hidup sejak ratusan tahun lalu, tapi hanya dinyanyikan, seperti macapat di Jawa. Gitar sebagai pengiring ditambahkan belakangan. Nama batanghari sembilan, yang berarti sembilan sungai besar, merujuk pada sungai-sungai yang mengalir dan menjadi pembagian wilayah Sumatera Selatan pada masa lampau.

Popularitas kesenian ini berpuncak pada 1970-an, yang ditandai dengan maraknya album kaset berisi lagu-lagu batanghari sembilan. Sahilin, yang sudah kondang sebagai pelantunnya sejak remaja, juga turut terangkat. Dia masuk dapur rekaman Palapa Record di Palembang dan menerbitkan beberapa album yang meledak di pasar, seperti Ratapan Mati Gadis, Tiga Serangkai, dan Serai Serumpun. Dia tak mendapat royalti, hanya honor Rp 200 ribu per album.

Sahilin biasa tampil didampingi seorang perempuan sebagai penyambut pantunnya. Pasangannya sudah berganti-ganti, seperti Robama, Layani, Zainab, Solbani, Chadijah, dan Cik Misah. Sebagian dari mereka sudah meninggal dan sebagian tak lagi berpantun karena dilarang suami atau malu dengan cucu-cucu mereka.

Lelaki kelahiran Benawe, Ogan Komering Ilir, pada 1948 itu juga mahir menggubah pantun dalam berbagai tema. Pantunnya panjang-panjang, 30-50 bait, yang kadang tercipta saat dia masih di atas panggung. Tak ada yang mencatatnya, tapi beberapa pantun sudah dihafal masyarakat. Ini jadi masalah ketika dia ingin menurunkan ilmunya, karena anak muda malas menghafalkannya.

”Itulah yang membuat aku sedih, karena mereka rata-rata lahir di Palembang, jadi kurang kalau hendak berpantun, apalagi yang panjang-panjang. Mereka bisa memetik gitar, tapi pas pantun, macet,” kata Sahilin di rumahnya, sebuah rumah kayu sederhana di daerah 35 Ilir.

Setiap kali pentas, Sahilin mematok tarif sekitar Rp 500 ribu di dalam kota dan sekitar Rp 1,5 juta di luar kota. ”Kami hanya bawa gitar dan badan,” ujar Syaidina, anak Sahilin, yang beberapa tahun terakhir setia mendampingi sang ayah.

Tapi orderan pentas tak sederas dulu, karena pesta perkawinan kini lebih banyak memakai organ tunggal. Sahilin juga tak lagi mampu begadang terlalu lama. ”Paling-paling jam 12 malam sudah pulang,” kata Syaidina.

Arif Ardiansyah (Palembang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus