Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski hampir 40 tahun Islamidar mengajarkan sam pelong kepada banyak orang, akhirnya semua pergi, termasuk anak semata wayangnya, Ahmad. ”Mereka semua lebih memilih musik yang ada organ dan musik listriknya,” kata ma estro sampelong terakhir di Sumatera Barat itu, dua pekan lalu.
Sampelong adalah alat musik mirip suling untuk mengiringi dendang. Alat itu dibuat dari bambu sebesar gagang sapu sepanjang 35 sentimeter. Lubangnya lima. Satu di dekat pangkal, tiga berderet agak di tengah, dan terakhir di ujung. Lubang pertama sebagai sumber nada. Tiga lubang lain untuk mengatur nada dasar rendah, menengah, dan tinggi. Lubang kelima membuat nada tertinggi.
Sampelong dimainkan untuk mengiringi pantun-pantun rakyat. ”Koto tinggi kubang balambok/Padi ditumbuak luluh ju/Bacan kini baa la awak/Ati batukuak rusuh ju (Kota tinggi kubangan basah/Padi ditumbuk hancur juga/Seperti saat ini bagaimana pula saya/Hati didiamkan tetap galau juga),” Islamidar pun bersyair di rumahnya di Dusun Kubu Noneh, Jorong Tolang, Nagari Talang Maua, Kecamatan Mungka, Kabupaten Lima Puluh Koto.
Lelaki kelahiran 1941 di Nagari Talang Maua ini juga menguasai talempong, alat musik dari keluarga gong, dan basijobang, dendang dengan iring an musik entakan korek api. Ada beberapa jenis pertunjukan talempong. Talempong duduak berupa permain an talempong sambil duduk, talempong pacik dimainkan tiga-empat orang sambil berdiri atau berjalan, dan talempong goyang, yang dipadukan dengan musik modern seperti keyboard.
Islamidar dan Sanggar Talang Pitunang yang dipimpinnya kini lebih sering memainkan talempong goyang yang lebih populer di hajatan perkawinan. Dengan memainkan musik tradisional itulah ia menghidupi istri dan lima anaknya.
Peran penting Islamidar adalah melepaskan sampelong dari tradisi mistik. Dulu sampelong dimainkan untuk manggasiang tangkurak ( menggasing tengkorak), yang menggunakan gasing dari tulang manusia, sampelong, dan kemenyan. Alat-alat ini dimainkan saat orang menujumkan mantra hitam untuk menenung korban.
Tentu saja tidak ada yang berani memainkan sampelong sembarangan. Islamidar pun semula takut mendengar suara sampelong, tapi belakangan malah terpikat. Etek Rabiah, bibi nya yang pemain rebana, mengajarinya pertama kali bermain sampelong secara sem bunyi-sembunyi karena dilarang orang tuanya. Bersama sang bibi pula, Isla midar mengubah syair hitam itu menjadi pantun bertema macam-macam, termasuk humor dan ajaran kebajikan.
Rabiah sering mengajak Islamidar pentas di berbagai acara. Dalam suatu hajatan perkawinan pada 1957, Islamidar mendapat izin tuan rumah untuk memainkan sampelong dengan syair barunya. Pertunjukan perdana ini membuat heboh seluruh kampung dan namanya pun jadi buah bibir.
Sejak itu, undangan untuknya meng alir terus. Seniman yang hanya lulus sekolah rakyat ini pun unjuk kebolehan di tingkat daerah hingga berbagai negara, seperti Yunani, Italia, Prancis, Spanyol, Belanda, dan Jerman. Dia juga diangkat sebagai penjaga sekolah di Sekolah Dasar Negeri 01 Talang Maur. ”Tapi tugas utama saya adalah mengajar anak-anak SD, SMP, dan SMA di Kecamatan Mungka untuk memainkan musik tradisional, seperti talempong dan rebana, terutama sampelong,” katanya.
Namun waktu menggerogotinya. Tiga tahun terakhir ini kakinya sudah sukar digerakkan. Matanya juga sudah kabur. Tapi yang paling dia khawatirkan adalah tiadanya ahli waris sampelong. Tiga orang berbakat yang dididiknya secara pribadi Yasrizal, Helmi, dan Ahmad Yuskim malah memilih jadi petani. Praktis Islamidar jadi pemain sampelong terakhir di tanah Minang.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Barat James Heliward mengatakan ada ratusan jenis seni tradisional di daerah itu. ”Data pasti nya saya lupa, tapi umumnya sudah raib atau sangat jarang dipertunjukkan, termasuk sampelong dan saluang,” katanya.
Pemerintah, kata James, berusaha menghidupkannya melalui berbagai lomba dan sanggar seni; bekerja sama dengan pelaksana pariwisata, seperti hotel-hotel, untuk menampilkan seni tradisional; dan memberikan bantuan alat musik tradisional kepada kelompok seni.
Yang terpenting, kata James, adalah kerja samanya dengan Dinas Pendidikan Nasional untuk memasukkan kesenian tradisional setempat menjadi mata pelajaran di sekolah. ”Sebagian program muatan lokal ini sudah berjalan,” katanya.
Tapi para seniman menganggap upaya pemerintah untuk seni tradisi ini nyaris tidak ada. ”Malah seni tradi sional ini dijadikan obyek kepentingan ekonomi dan politik untuk popularitas, bukan untuk menghidupkannya,” kata Muhammad Ibrahim Ilyas, Sekretaris Dewan Kesenian Sumatera Barat.
Jupernalis Samosir (Lima Puluh Koto)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo