Buku ilmiah semakin banyak di pasaran. Karena penulis lokal yang baik sangat sedikit, buku terjemahan menjadi andalan. BUKU Bisnis dan Politik masih terpajang di barisan buku baru. Toko buku Gramedia di Jalan Matraman, Jakarta, misalnya -- dan juga toko buku lainnya -- - menjajarkan buku karya Yahya A. Muhaimin itu, bersama buku baru lainnya, yang sebagian adalah buku ilmiah. Buku mengenai masalah ekonomi politik yang pernah menjadi hit karena disomasi pengusaha Probosutedjo itu sempat menjadi "kacang goreng". Pada waktu koran ramai memberitakan, tak sampai seminggu toko buku Gramedia berhasil menjual 100 buah. Setelah sempat ada kekosongan tiga hari, penerbit mendrop 300 eksemplar dan langsung diserbu pembeli. Belum sempat habis, masih 30 buah, Probo dan Yahya berdamai. Pasar pun loyo lagi. Memang, penerbitnya, LP3ES, sempat menuai untung setelah "menabur buku Yahya". Dalam waktu sebulan, penerbit itu mencetak 7.500 buku dan sampai pekan lalu belum ada toko buku yang mengirim kembali. Hanya karena permintaan pengarangnya, buku itu tak dicetak ulang. Dengan demikian, urutan pertama penjualan buku ilmiah masih dipegang llmu Dalam Perspektif, bunga rampai filsafat ilmu yang diterbitkan Yayasan Obor dan Gramedia. Dalam empat tahun, sekitar 24 ribu eksemplar buku terjemahan Yuyun S. Suriasumantri itu terjual. Berbeda dengan buku populer, pengetahuan praktis, novel, atau buku anak-anak, pasar buku ilmiah termasuk terbatas. Rata-rata tiap penerbit mencetak 3.000 sampai 5.000 eksemplar per judul. Hanya yang benar-benar laris, buku ilmiah itu dicetak ulang. "Sebenarnya, minat baca ada, tapi daya beli belum mendukung," kata Rozali Usman, Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi). Secara nasional, menurut catatan Ikapi, jumlah buku yang diterbitkan tampak menurun. "Tahun 1988 kami berani mengatakan ada 4.500 sampai 5.000 judul baru tetapi tahun ini hanya 3.000 sampai 4.000 judul," kata Rozali. Jumlah penerbit pun susut, dari 302 buah tahun 1989 menjadi 235 buah pada 1990. Tiap penerbit pun mengerem pencetakan. LP3ES hanya berani mencetak rata-rata 3.000 dari 5.000 eksemplar tahun-tahun sebelumnya. "Dan, buku baru itu umumnya baru habis dalam waktu satu setengah tahun," kata Maruto, Wakil Direktur Penerbitan LP3ES. Namun, ia masih beruntung bisa mencapai omset Rp 700 juta tiap tahun dari 174 judul yang diterbitkan selama ini. LP3ES yang menerbitkan buku ilmu -- baik ilmu sosial maupun teknologi -- - agaknya tak melangkah sendiri. Beberapa penerbit ikut meramaikan pasaran. Rajawali Pers, sejak berdiri 1980, memang bertekad hanya menerbitkan buku-buku politik. "Sejak zaman orde baru, sedikit buku politik diterbitkan. Padahal, masyarakat membutuhkan. Nah, itu kan kesempatan," kata Zubaidi, Direktur Produksi dan Promosi Rajawali Pers. Untuk menutup biaya, ia juga membuat buku teks untuk perguruan tinggi. Strategi yang sama juga ditempuh Erlangga, yang menerbitkan buku pelajaran sekolah dan perguruan tinggi. Dalam dunia perdagangan buku ilmiah, Erlangga menawarkan buku terjemahan. Namun, kata Herman Sinaga, editor senior Penerbit Erlangga, buku ilmiah terjemahan membutuhkan investasi tambahan. Copyright yang harus dibayar sekitar 10% atau sedikitnya US$ 500. Ongkos menerjemahkan antara Rp 4.000 dan Rp 5.000 per halaman ketik, plus honor untuk editor ahli yang menguasai isi buku. Maka harga tiap buku terjemahan lebih tinggi 20% sampai 40% dibanding penulis lokal. Agaknya, untuk memasarkan buku ilmiah bermutu, sebagian penerbit lebih suka menerjemahkan buku asing yang benar-benar lagi best seller. Langkah itu ditempuh pula oleh PT Pustaka Utama Grafiti. Tiap judul rata-rata dicetak 3.000 sampai 5.000 eksemplar. "Kami menitikberatkan buku-buku terjemahan karena naskah yang ditulis pengarang Indonesia sangat sedikit," kata A. Rahman Tolleng, Direktur Produksi PT PUG. Dan lagi, menurut Herman dari Erlangga, mencari penulis lokal yang baik sulit. "Mereka lebih suka menulis diktat," katanya. Kesulitan mencari buku karya Indonesia juga dialami Yayasan Obor Indonesia yang bergerak pada penerbitan buku ilmu sosial, lingkungan, dan budaya. "Penulis buku Indonesia sulit. Untuk membuat kata pengantar saja, kami harus menunggu enam bulan, kata Mochtar Lubis, Ketua YOI. Maka, buku yang diterbitkannya pun tak terlalu berbau komersial. "Kami menerbitkan buku-buku yang diperlukan untuk hari depan bangsa Indonesia yang tak ada di sini," katanya. Karenanya, buku ilmiah yang dicetak YOI sebagian besar karya terjemahan dengan harga paling tinggi Rp 10 ribu. Untuk menutup biaya, YOI mencari subsidi. Buku Politik Antar Bangsa karangan Hans J. Morgenthau, misalnya, mendapat subsidi Rp 5 juta dan biaya copyright US$ 800 dari United States Information Service (USIS). Tanpa subsidi, harga buku itu bisa 48% lebih tinggi dari harga jual Rp 4.200. Memang, penjualan buku ilmiah tak segegap-gempita seperti rekor yang pernah dicapai buku Mati Ketawa Cara Rusia I. Buku humor terbitan PT Pustaka Utama Grafiti yang kemudian mendorong boom buku humor tahun 1987 itu dicetak ulang empat kali atau 133.130 eksemplar. Namun, beberapa penerbit -- termasuk Gramedia dan Sinar Harapan -- setahun terakhir ini tak pernah absen mengeluarkan buku ilmu sosial dan teknologi. Mereka tampak rajin mengisi rak-rak toko buku untuk menjajakan buku ilmiah yang baru. Siapa tahu bisa menuai untung dan menabur buku ilmiah, seperti Bisnis dan Politik dari LP3ES. Liston P. Siregar dan Indrawan (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini