SURAT DARI REDAKSI UNTUK kesekian kalinya, TEMPO menjadi ajang praktek magang. Sandra M. Hamid, 28 tahun, alumni FISIP UI yang sebelumnya aktif dalam penulisan buku-buku pariwisata, sejak akhir April lalu magang di TEMPO. Sebelumnya Sandra yang bermukim di Bali itu pernah bekerja sama dengan TEMPO menyiapkan sebuah laporan utama tentang pariwisata dan Bali. Bersama Sandra, ada pula tiga mahasiswa Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) Jakarta. Mereka akan "bertugas" selama tiga bulan bersama kami. Bila suatu waktu reporter magang itulah yang kami tugasi mewawancarai Anda, maka Anda tak perlu ragu-ragu menerimanya. Mereka yang dari LPDS: Susilawati Suryana, 25 tahun. Putri Cianjur ini, sebelum kuliah di LPDS, pernah mengajar di pelbagai tempat: SMP, SMA, dan dosen perguruan tinggi swasta di Jakarta. Sarjana Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Atma Jaya ini pernah menjadi guru, kemudian berhenti sebab ingin menjadi wartawan. Setelah sebulan magang di TEMPO, Susi berkata "Wartawan TEMPO muda-muda dan cuek." Ia mengaku tambah bergairah untuk menjadi wartawan. Kedua, Lenah Susianty, 26 tahun. Sarjana Satra Inggris Universitas Kristen Indonesia, dan lulusan program D-4 Sastra Prancis UI itu, secara jujur mengaku tertarik menjadi wartawan, "karena dengan profesi itu, dimungkinkan bisa keliling dunia." Lenah merasa senang bila diberi kesempatan menjadi wartawan beneran di TEMPO. "Menjadi wartawan TEMPO capek, tapi saya senang," katanya. Terakhir, Sri Raharti Hadiningrum, 25 tahun. Bagi alumnus Fakultas llmu Komunikasi Unpad itu, memperoleh kesempatan magang di TEMPO adalah obsesinya sejak masih kuliah dahulu. "TEMPO bagi saya adalah kawah candradimuka, sebuah tempat di mana saya bisa mempraktekkan teori yang diperoleh di bangku kuliah," ujarnya. Dengan magang di TEMPO, Sri Raharti menjadi lebih tahu betapa kerasnya kehidupan wartawan. "Rasanya, waktu tujuh hari dalam seminggu tidak cukup untuk mengejar berita," ujarnya. Tapi Sri mengaku suasana itu mengasyikkannya. "Apalagi kalau laporan saya dimuat, rasanya senang sekali. Ada kepuasan batin yang sulit dilukiskan." LPDS, sebagai lembaga untuk mendidik orang menjadi wartawan, lahir atas prakarsa Dewan Pers. Banyak tokoh pers nasional yang ikut membidani kelahirannya. Antara lain Jakob Oetama, Zulharmans, dan Goenawan Mohamad. Pada 1990, untuk pertama kali LPDS menerima mahasiswa baru, yang kesemuanya sudah sarjana. Lama pendidikannya setahun, di bawah koordinasi Prof. R.E. Stannard Jr., bekas wartawan UPI yang pernah bertugas di beberapa negara Asia. Goenawan Mohamad, Ed Zoelverdi, Slamet Djabarudi, dan Susanto Pudjomartono turut jadi pengajar di sana. Keterlibatan orang kami di situ amat relevan. Kehadiran lembaga seperti LPDS ini diharapkan bisa mencetak wartawan jadi. Setidaknya mereka yang bergabung dengan LPDS adalah orang yang sudah bertekad ingin menjadi wartawan. Pengalaman kami menunjukkan betapa sulit mencari orang yang benar-benar ingin jadi wartawan, bukan sekadar mencari pekerjaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini